Musibah asap yang hampir melanda seluruh Indonesia sepertinya
perlahan berkurang. Semoga saja itu pertanda bahwa: jika itu azab,
berarti dosa umat di Indonesia sedikit terampuni; jika itu ujian,
berarti sejumlah umat perlahan semakin kuat imannya.
Namun, ada yang perlu dicermati dari kejadian baru-baru ini. Apa itu? Yakni, satu hal yang memancing pertanyaan besar bagi saya, “Mengapa orang-orang ramai mempersoalkan Jokowi dan Suku Anak Dalam?”. Kunci utamanya memanglah ada yang bertujuan mencerca Jokowi, ada yang bertujuan membela Jokowi.
Namun, saya memikirkan satu hal yang beda. Saya mengilustrasikannya dengan dialog berikut.
A: Yang shalat Istiqa makin banyak, hujan perlahan banyak turun.
Asap perlahan hilang.
B: Wah iya, Jokowi tak lagi disalahkan, tak lagi jadi perhatian utama.
A: Ini bisa gawat, perhatian akan teralihkan pada lahan yang sudah terbebaskan.
B: Lalu bagaimana? Ada ide. Kita harus mengalihkannya lagi.
A: Saya kemaren lihat Jokowi foto dengan suku anak dalam. Kita bisa mengolahnya.
B: Mantap!
(Beberapa hari kemudian)
A: Lihat ini, sudah ada yang mempersoalkan.
B: Keren. Sekarang sajikan foto-foto dan fakta lain yang bisa membuat mereka berdebat.
A: Siap.
(Beberapa jam kemudian)
A: Wah keren, ada yang membela! Mereka berdebat!
B: Bagus. Lanjutkan langkah kita selanjutnya lahan ini harus segera jadi, hingga mereka mengakui potensi ini.
A: Setelah semua terlihat indah, maka kita akan terbela.
B: GREAT!
Itu hanya ilustrasi. Ini bukan sebuah fakta tentunya, dan bukan berarti saya suuzon. Inihanya sedikit dugaan bahwa sepertinya demikian yang terjadi. Hujan semakin banyak, asap semakin berkurang, kita bisa segera usut persoalan kebakaran hutan lebih lanjut, bukankah itu yang kita inginkan kemarin-kemarin? Tapi sekarang kita malah memperdebatkan suku anak dalam, hingga memuaskan hasrat untuk mengkritik dan membela Jokowi secara buta. Sehingga, perhatian hanya untuk ini semata.
Saya pun sadar, mungkin ini pula pola yang diterapkan pada kasus-kasus sebelumnya. Jika benar, kasihan Jokowi, selain dicaci terus, dia juga menjadi bahan pengalihan perhatian dengan segala bentuk skenario.
Tapi jangan dipercaya dulu, ini hanya suatu pandangan pribadi yang....husnuzon dengan cara suuzon. Maksudnya, saya berpikir buruk terhadap orang lain agar saya bisa berpikiran baik terhadap satu persoalan yang harusnya bisa teratasi dengan baik.
Namun, ada yang perlu dicermati dari kejadian baru-baru ini. Apa itu? Yakni, satu hal yang memancing pertanyaan besar bagi saya, “Mengapa orang-orang ramai mempersoalkan Jokowi dan Suku Anak Dalam?”. Kunci utamanya memanglah ada yang bertujuan mencerca Jokowi, ada yang bertujuan membela Jokowi.
Namun, saya memikirkan satu hal yang beda. Saya mengilustrasikannya dengan dialog berikut.
A: Yang shalat Istiqa makin banyak, hujan perlahan banyak turun.
Asap perlahan hilang.
B: Wah iya, Jokowi tak lagi disalahkan, tak lagi jadi perhatian utama.
A: Ini bisa gawat, perhatian akan teralihkan pada lahan yang sudah terbebaskan.
B: Lalu bagaimana? Ada ide. Kita harus mengalihkannya lagi.
A: Saya kemaren lihat Jokowi foto dengan suku anak dalam. Kita bisa mengolahnya.
B: Mantap!
(Beberapa hari kemudian)
A: Lihat ini, sudah ada yang mempersoalkan.
B: Keren. Sekarang sajikan foto-foto dan fakta lain yang bisa membuat mereka berdebat.
A: Siap.
(Beberapa jam kemudian)
A: Wah keren, ada yang membela! Mereka berdebat!
B: Bagus. Lanjutkan langkah kita selanjutnya lahan ini harus segera jadi, hingga mereka mengakui potensi ini.
A: Setelah semua terlihat indah, maka kita akan terbela.
B: GREAT!
Itu hanya ilustrasi. Ini bukan sebuah fakta tentunya, dan bukan berarti saya suuzon. Inihanya sedikit dugaan bahwa sepertinya demikian yang terjadi. Hujan semakin banyak, asap semakin berkurang, kita bisa segera usut persoalan kebakaran hutan lebih lanjut, bukankah itu yang kita inginkan kemarin-kemarin? Tapi sekarang kita malah memperdebatkan suku anak dalam, hingga memuaskan hasrat untuk mengkritik dan membela Jokowi secara buta. Sehingga, perhatian hanya untuk ini semata.
Saya pun sadar, mungkin ini pula pola yang diterapkan pada kasus-kasus sebelumnya. Jika benar, kasihan Jokowi, selain dicaci terus, dia juga menjadi bahan pengalihan perhatian dengan segala bentuk skenario.
Tapi jangan dipercaya dulu, ini hanya suatu pandangan pribadi yang....husnuzon dengan cara suuzon. Maksudnya, saya berpikir buruk terhadap orang lain agar saya bisa berpikiran baik terhadap satu persoalan yang harusnya bisa teratasi dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngomong aja..