Jumat, 23 Oktober 2015

Membangkit Ekonomi dengan Film, Mampukah?

Kondisi nilai tukar rupiah yang semakin terpuruk terhadap dollar Amerika Serikat membuat masyarakat sangat kalang kabut. Segala aktivitas perekonomian menjadi goyah dan melemahkan ekonomi itu sendiri. Jika ditunggu, pemerintah sendiri tidak dapat memastikan kapan rupiah akan memperlihatkan titik kebangkitannya untuk kembali memanjakan ekonomi masyarakat.
Jelas, menunggu bukanlah jawaban. Sebaiknya ada banyak rencana dan langkah yang ditempuh oleh masyarakat terutama pemegang kebijakan perekonomian. Perencanaan dan langkah tersebut tidak serta merta dilakukan oleh pusat, tapi bisa dimulai oleh pemerintah daerah dengan menggalakkan berbagai inovasi kebijakan. 

Salah satu film karya anak Minangkabau teranyar

 Ada banyak peluang yang mesti dilirik dan dikembangkan. Di Sumatera Barat, salah satu potensi yang dapat dilajukan ialah perfilman. Aktivitas ini bagaikan anak emas yang harus mencari kehidupan sendiri karena diabaikan oleh orangtuanya. Perfilman dibiarkan berjalan sendiri. Perfilman merupakan harta karun terpendam di ranah Minangkabau.
Darimana kita bisa melihat potensi perfilman di Sumatera Barat? Banyak yang dapat dijadikan acuan. Sila akses situs Youtube, di sana banyak beredar film berdurasi panjang maupun pendek (mini film) yang merupakan karya anak Minangkabau dan berlatar di ranah Sumatera Barat. Belum lama ini, beredar pula film yang sangat menunjukkan adat budaya Minangkabau, berjudul ‘Salisiah Adaik’, karya sineas asli Minangkabau.
Satu hal lagi yang perlu disadari, sejumlah film nasional yang beredar di Nusantara beberapa tahun terakhir dibuat berlatar belakang Minangkabau. Sebut saja Merantau, yang kental dengan budaya terutama seni bela diri Miangkabau. Jauh lebih luar biasa, ada Di Balik Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang naskahnya sendiri berasal dari buku karangan putra ternama MInangkabau, Buya Hamka. Sangat terbukti, sineas nusantara menaruh nilai lebih pada Sumatera Barat atau Minangkabau.
Hendaknya hal ini dipahami bahwa Sumatera Barat bisa juga membesarkan hal tersebut secara mandiri. Berbagai ide cerita dari kisah-kisah tambo dan legenda banyak yang bisa diangkat oleh sineas Minangkabau. Semua bisa dikemas menarik dan sangat menjual di kalangan nusantara. Film yang terbangung menjadi sangat kaya, ada pesan dan ada pedapatan.
Nah, bicara pendapatan, memanglah sebuah fakta bahwa film mampu membuka kebangkitan perekonomian. Bukti nyata dilakukan oleh Amerika Serikat. Menurut sejarahnya, kebangkitan Negara adi daya ini pada masa pasca Perang Dunia II disokong kuat oleh industri perfilman. Berbagai genre film terutama komedi, drama dan petualangan ditingkatkan kemudian dipasarkan.
Tak hanya itu, sejarah tersebut terulang pada tahun 2008, masa-masa di mana ekonomi AS mengalami keterpurukan. Berkisar pada 2008-2009, AS kembali menggenjot industri perfilmannya yang berpusat pada Hollywood. Memang tak tanggung-tanggung, mereka membuat karya film dengan cerita dan kualitas gambar yang luar biasa. Bahkan, mereka membuat sejumlah film animasi hebat.
Dari 2008 hingga 2015, hal itulah yang digalakkan AS. Dengan film, ternyata AS memfasilitasi pemasaran terselubung untuk produk-produk asal Negara tersebut. Pada kisaran tahun inilah dimulainya pengiklanan secara unik yang membuatnya terpampang hebat dalam jalannya cerita film. Film-film Hollywood mengundang berbagai produk untuk beriklan dalam film. Praktik ini pun diterapkan oleh beberapa film di Indonesia.
Tak ada masalah jika hal tersebut juga dilakukan di Sumatera Barat. Dengan potensi yang besar, bukan suatu hal yang mustahil perfilman Sumatera Barat mampu menjadi jauh lebih berkembang dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Apa lagi, sudah banyak pemuda yang memulai industri kreatif ini.
Bayangkan saja pada film-film karya anak Sumatera Barat tersebut ada berbagai produk lokal asli buatan masyarakat. Ini tentu akan menjadi suatu simbiosis mutualisme di antara berbagai pihak. Setidaknya, produk-produk industri atau usaha kecil dan menengah lokal bisa dikenal di seluruh wilayah Sumatera Barat. Masyarakat pun dimanjakan dengan pampangan sejumlah barang yang meningkatkan keinginan untuk memilikinya. Ini juga akan meningkatkan daya saing dan kreativitas para produsen.
Tak hanya itu, sejumlah seniman selain filmmaker seperti musisi dan perancang busana pun bisa turut andil bekerja sama dalam pembuatan film. Hasil karya mereka pun ikut terpromosikan dalam setiap film. Begitu juga dengan pemilik tempat-tempat (venue) shooting yang kemudian akan tereferensi pada film yang telah siap dipertontonkan. Sejumlah tempat wisata pun bisa ikut terjual.
Bukan satu hal yang mustahil pula produk-produk yang terpajang pada setiap film hadir sampai ke ranah nasional, bahkan internasional. Film-film yang dihasilkan bisa perlahan menuju jenjang perluasan jangkauan tersebut. Setiap elemen mendapatkan keuntungan, baik filmmaker maupun produsen.
Begaimana semua hal tersebut bisa terwujud? Semua butuh sistem, jelas. Namun, satu hal yang harus dilakukan ialah memulai dari yang kecil. Setiap elemen yang ingin bergerak sangat dipersilakan bergerak tanpa terus termenung menunggu bantuan atau dukungan pemerintah. Mulai dari produksi film berdurasi sekitar 15 detik-1 menit, hingga film panjang bahkan film sequel.
Seperti yang dimulai oleh para pelajar dari program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di bawah bimbingan Devy Kurnia Alamsyah selaku pengajar di kampus tersebut. Para mahasiswa dari kampus ini beberapa waktu lalu melakukan pembuatan beberapa film pendek yang kemudian akan disajikan untuk umum dalam kumpulan film yang disebut ‘omnibus’. Sekitar enam film segera ditampilkan di salah satu bioskop ternama di Kota Padang dengan tarif yang sangat terjangkau.
Karya-karya tersebut pantas untuk mendapat apresiasi. Terlepas dari penilaian hasil karya penonton setelah menyaksikan setiap detik pada film tersebut, hal yang paling patut diapresiasi dan didukung secara positif ialah kemampuan untuk memulai. Memulai ialah suatu hal yang cukup berat, untuk kemudian melanjutkan dan menginsipirasi banyak pihak.
Karya anak muda tersebut menjadi suatu titik terang bagi Sumatera Barat untuk terus berkembang dan maju, terutama mewujudkan impian menjadi basis perfilman Indonesia yang terinisiasi oleh sebuah grup Facebook bertajuk ‘PadariamWood’. Belakangan ini ‘PadariamWood’ hadir sebagai grup yang menampung aspirasi dan semangat masyarakat untuk perfilman Sumatera Barat, untuk bisa bersanding dengan Hollywood dan Bollywood.
Bukan suatu mimpi besar yang berupa bualan semata pula, karena sejarahnya perfilman Indonesia memang ditumbuh-kembangkan oleh orang asal Sumatera Barat. Dialah Djamaludin Malik, pria kelahiran Padang, 13 Februari 1917 yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Industri Film Indonesia. Dialah penggagas Festival Film Indonesia.
Jadi, tidak mustahil pula jika tangan dingin pria yang menghadirkan keindahan perfilman di Nusantara tersebut terulang kembali dari tanah kelahirannya. Semangat kreativitasnya di masa lalu dapat menjadi sebuah inspirasi untuk terus berinovasi. Tunggu apa lagi? Kita punya banyak sejarah, kita bisa belajar dari sejarah, kita bisa membuat sejarah. Setelah itu, kemajuan perfilman juga segera pengaruhi kebangkitan perekonomian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger