Kondisi
nilai tukar rupiah yang semakin terpuruk terhadap dollar Amerika Serikat
membuat masyarakat sangat kalang kabut. Segala aktivitas perekonomian menjadi
goyah dan melemahkan ekonomi itu sendiri. Jika ditunggu, pemerintah sendiri
tidak dapat memastikan kapan rupiah akan memperlihatkan titik kebangkitannya
untuk kembali memanjakan ekonomi masyarakat.
Jelas, menunggu
bukanlah jawaban. Sebaiknya ada banyak rencana dan langkah yang ditempuh oleh
masyarakat terutama pemegang kebijakan perekonomian. Perencanaan dan langkah
tersebut tidak serta merta dilakukan oleh pusat, tapi bisa dimulai oleh
pemerintah daerah dengan menggalakkan berbagai inovasi kebijakan.
![]() |
Salah satu film karya anak Minangkabau teranyar |
Ada
banyak peluang yang mesti dilirik dan dikembangkan. Di Sumatera Barat, salah
satu potensi yang dapat dilajukan ialah perfilman. Aktivitas ini bagaikan anak
emas yang harus mencari kehidupan sendiri karena diabaikan oleh orangtuanya. Perfilman
dibiarkan berjalan sendiri. Perfilman merupakan harta karun terpendam di ranah
Minangkabau.
Darimana
kita bisa melihat potensi perfilman di Sumatera Barat? Banyak yang dapat
dijadikan acuan. Sila akses situs Youtube, di sana banyak beredar film
berdurasi panjang maupun pendek (mini film) yang merupakan karya anak
Minangkabau dan berlatar di ranah Sumatera Barat. Belum lama ini, beredar pula
film yang sangat menunjukkan adat budaya Minangkabau, berjudul ‘Salisiah
Adaik’, karya sineas asli Minangkabau.
Satu
hal lagi yang perlu disadari, sejumlah film nasional yang beredar di Nusantara
beberapa tahun terakhir dibuat berlatar belakang Minangkabau. Sebut saja Merantau, yang kental dengan budaya
terutama seni bela diri Miangkabau. Jauh lebih luar biasa, ada Di Balik Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang
naskahnya sendiri berasal dari buku karangan putra ternama MInangkabau, Buya
Hamka. Sangat terbukti, sineas nusantara menaruh nilai lebih pada Sumatera
Barat atau Minangkabau.
Hendaknya
hal ini dipahami bahwa Sumatera Barat bisa juga membesarkan hal tersebut secara
mandiri. Berbagai ide cerita dari kisah-kisah tambo dan legenda banyak
yang bisa diangkat oleh sineas Minangkabau. Semua bisa dikemas menarik dan
sangat menjual di kalangan nusantara. Film yang terbangung menjadi sangat kaya,
ada pesan dan ada pedapatan.
Nah,
bicara pendapatan, memanglah sebuah fakta bahwa film mampu membuka kebangkitan
perekonomian. Bukti nyata dilakukan oleh Amerika Serikat. Menurut sejarahnya,
kebangkitan Negara adi daya ini pada masa pasca Perang Dunia II disokong kuat
oleh industri perfilman. Berbagai genre film terutama komedi, drama dan petualangan
ditingkatkan kemudian dipasarkan.
Tak
hanya itu, sejarah tersebut terulang pada tahun 2008, masa-masa di mana ekonomi
AS mengalami keterpurukan. Berkisar pada 2008-2009, AS kembali menggenjot
industri perfilmannya yang berpusat pada Hollywood. Memang tak
tanggung-tanggung, mereka membuat karya film dengan cerita dan kualitas gambar
yang luar biasa. Bahkan, mereka membuat sejumlah film animasi hebat.
Dari
2008 hingga 2015, hal itulah yang digalakkan AS. Dengan film, ternyata AS
memfasilitasi pemasaran terselubung untuk produk-produk asal Negara tersebut.
Pada kisaran tahun inilah dimulainya pengiklanan secara unik yang membuatnya
terpampang hebat dalam jalannya cerita film. Film-film Hollywood mengundang
berbagai produk untuk beriklan dalam film. Praktik ini pun diterapkan oleh
beberapa film di Indonesia.
Tak
ada masalah jika hal tersebut juga dilakukan di Sumatera Barat. Dengan potensi
yang besar, bukan suatu hal yang mustahil perfilman Sumatera Barat mampu
menjadi jauh lebih berkembang dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Apa
lagi, sudah banyak pemuda yang memulai industri kreatif ini.
Bayangkan
saja pada film-film karya anak Sumatera Barat tersebut ada berbagai produk
lokal asli buatan masyarakat. Ini tentu akan menjadi suatu simbiosis mutualisme
di antara berbagai pihak. Setidaknya, produk-produk industri atau usaha kecil
dan menengah lokal bisa dikenal di seluruh wilayah Sumatera Barat. Masyarakat
pun dimanjakan dengan pampangan sejumlah barang yang meningkatkan keinginan
untuk memilikinya. Ini juga akan meningkatkan daya saing dan kreativitas para
produsen.
Tak
hanya itu, sejumlah seniman selain filmmaker
seperti musisi dan perancang busana pun bisa turut andil bekerja sama dalam
pembuatan film. Hasil karya mereka pun ikut terpromosikan dalam setiap film.
Begitu juga dengan pemilik tempat-tempat (venue)
shooting yang kemudian akan
tereferensi pada film yang telah siap dipertontonkan. Sejumlah tempat wisata
pun bisa ikut terjual.
Bukan
satu hal yang mustahil pula produk-produk yang terpajang pada setiap film hadir
sampai ke ranah nasional, bahkan internasional. Film-film yang dihasilkan bisa
perlahan menuju jenjang perluasan jangkauan tersebut. Setiap elemen mendapatkan
keuntungan, baik filmmaker maupun
produsen.
Begaimana
semua hal tersebut bisa terwujud? Semua butuh sistem, jelas. Namun, satu hal
yang harus dilakukan ialah memulai dari yang kecil. Setiap elemen yang ingin
bergerak sangat dipersilakan bergerak tanpa terus termenung menunggu bantuan
atau dukungan pemerintah. Mulai dari produksi film berdurasi sekitar 15 detik-1
menit, hingga film panjang bahkan film sequel.
Seperti
yang dimulai oleh para pelajar dari program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, di bawah bimbingan Devy Kurnia Alamsyah selaku pengajar
di kampus tersebut. Para mahasiswa dari kampus ini beberapa waktu lalu
melakukan pembuatan beberapa film pendek yang kemudian akan disajikan untuk
umum dalam kumpulan film yang disebut ‘omnibus’. Sekitar enam film segera
ditampilkan di salah satu bioskop ternama di Kota Padang dengan tarif yang
sangat terjangkau.
Karya-karya
tersebut pantas untuk mendapat apresiasi. Terlepas dari penilaian hasil karya
penonton setelah menyaksikan setiap detik pada film tersebut, hal yang paling
patut diapresiasi dan didukung secara positif ialah kemampuan untuk memulai.
Memulai ialah suatu hal yang cukup berat, untuk kemudian melanjutkan dan
menginsipirasi banyak pihak.
Karya
anak muda tersebut menjadi suatu titik terang bagi Sumatera Barat untuk terus
berkembang dan maju, terutama mewujudkan impian menjadi basis perfilman
Indonesia yang terinisiasi oleh sebuah grup Facebook bertajuk ‘PadariamWood’.
Belakangan ini ‘PadariamWood’ hadir sebagai grup yang menampung aspirasi dan
semangat masyarakat untuk perfilman Sumatera Barat, untuk bisa bersanding
dengan Hollywood dan Bollywood.
Bukan
suatu mimpi besar yang berupa bualan semata pula, karena sejarahnya perfilman
Indonesia memang ditumbuh-kembangkan oleh orang asal Sumatera Barat. Dialah
Djamaludin Malik, pria kelahiran Padang, 13 Februari 1917 yang kemudian
dinobatkan sebagai Bapak Industri Film Indonesia. Dialah penggagas Festival
Film Indonesia.
Jadi,
tidak mustahil pula jika tangan dingin pria yang menghadirkan keindahan
perfilman di Nusantara tersebut terulang kembali dari tanah kelahirannya.
Semangat kreativitasnya di masa lalu dapat menjadi sebuah inspirasi untuk terus
berinovasi. Tunggu apa lagi? Kita punya banyak sejarah, kita bisa belajar dari
sejarah, kita bisa membuat sejarah. Setelah itu, kemajuan perfilman juga segera
pengaruhi kebangkitan perekonomian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngomong aja..