Zaman terus melaju, generasi terus berkembang setiap tahunnya, setiap bulan, dan setiap hari. Perkembangan generasi tak menutupi kemungkinan perbedaan yang terjadi di setiap masanya antara satu generasi dengan generasi.
Beberapa tahun ke belakang, terdapat hal yang lumrah terdengar di telinga saya perihal perbandingan generasi. Dengan berbagai landasan yang ada, generasi 90-an, demikian sekelompok orang menyebutnya, dianggap sebagai generasi terbaik terutama oleh orang-orang yang lahir atau tumbuh pada rentang waktu tersebut.
Sejumlah nostalgia masa kecil dimunculkan untuk mengenang indahnya masa-masa pertumbuhan generasi 90-an yang secara narsis mengatakan itulah hal terbaik yang hendaknya dilakukan anak-anak. Mereka membandingkan dengan generasi setelahnya, generasi 2000-an dan 2010 ke atas, dengan dominan mengacu kenikmatan masa kini yang tidak indah, sebut saja gadget yang memanjakan.
Orang-orang generasi 90-an secara tidak sengaja juga membandingkan diri mereka dengan generasi sebelumnya, yang hampir dikatakan sangat ketinggalan akan kehadiran teknologi. Dengan kata lain, generasi 90-an mendapatkan dua kenikmatan yang seimbang: teknologi dan tradisional. Ini dianggap sebagai pemicu besar keindahan yang dielu-elukan, yang berdampak pada proses pemikiran para personel generasi tersebut.
Memang, jika membandingkan generasi 90-an dengan generasi 2000-an ke atas, ada satu gap yang sangat memilukan. Anak-anak zaman kini terlalu dimanjakan teknologi yang semakin canggih dan hidup dalam gegap gempita media massa yang tak mendidik. Hasilnya memang buruk, banyak anak yang bersikap sangat manja, gap perekonomian terlihat signifikan, dan kecerdasan cenderung menurun, terutama dalam bersosial. Sementara generasi 90-an merasa paling kreatif.
Akan tetapi, sadarkah bahwa di balik narsisme generasi 90-an dan perbandingan dengan generasi setelahnya itu terdapat sebuah kegagalan? Ya, generasi 90-an adalah generasi yang gagal. Kenikmatan nostalgia dan indahnya masa lalu membuat mereka terlalu bangga, hingga lupa harus bertindak apa. Mereka tak mampu berbuat banyak untuk bisa mewariskan kenikmatan tersebut kepada generasi setelahnya.
Berbagai upaya memang telah dilakukan seperti sindiran-sindiran atau hal lainnya yang berupaya menyadarkan akan kenikmatan tersebut, tapi mereka lupa bahwa generasi 2000-an bahkan tidak membayangkan di mana letak nikmatnya hal-hal tersebut. Mereka tidak mengalaminya, wajar mereka tidak mengerti. Apa lagi, dominasi komunikasi dengan teknologi membuat mereka cenderung sulit memahami bahasa sindiran.
Pasalnya, kebanyakan atau setidaknya sebagian generasi 90-an tentu memiliki adik atau sepupu yang bisa ditularkan bagaimana indahnya masa mereka dulu. Mereka bisa bermain bersama. Selain itu, generasi 90-an yang cenderung lebih dewasa dan lebih paham berteknologi dibanding generasi sebelumnya harusnya bisa memberi masukan akan dampak-dampak yang akan muncul.
Ya, kesimpulannya, generasi 90-an seharusnya menjadi lakon perbaikan tingkah laku generasi setelah mereka, bukan terhanyut dalam nostalgia penuh kebanggaan dengan embel-embel kata-kata "DULU KITA BEGINI YA, MEREKA SEKARANG..." atau "ANAK-ANAK SEKARANG EMANG GITU YA, BEDA SAMA KITA". Setidaknya, jangan menjustifikasi mereka jika tidak dapat berbuat banyak untuk membawa mereka ke arah kebaikan.
Tulisan ini tak lain juga menjadi catatan tersendiri bagi penulis (yang juga generasi 90-an) yang belum bisa apa-apa selain rasa iba pada adik-adik generasi pasca 90-an. Semoga suatu saat kita yang sadar bisa membuat pergerakan untuk melakukan perbaikan, atau setidaknya bekerja sama dengan generasi pasca 90-an untuk membentuk generasi yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngomong aja..