![]() |
Halaman depan Republika (8/9/2015) |
Salah satu problem media massa saat ini ialah tidak adanya kuda-kuda yang kuat dalam menerapkan salah satu elemen jurnalisme 'komitmen kepada masyarakat dan kepentingan publik'. Kelemahan kuda-kuda tersebut terwujud pada sikap yang mengikuti kemana arah angin berhembus, semata-mata hanya ingin mengejar popularitas dengan kecepatan menyajikan berita.
Buruknya, berita baru yang dikejar akan terus diburu sedalam-dalamnya dengan batasan kehadiran isu baru yang lebih panas lagi. Akibatnya, berita yang tadinya dipanaskan tidak berujung pada suatu 'pendinginan otot-otot' atau sejenis konklusi yang mampu menggiring masyarakat untuk membawa ke pemikiran positif. Khalayak digantung pada banjir informasi yang membuat mereka bingung mau melakukan apa. Ini menyebabkan pesimisme karena melihat banyak persoalan dan tidak tahu harus membereskan mulai dari mana.
Inilah karakter yang dominan pada media-media massa di Indonesia saat ini. Kebaruan selalu dikejar membabi-buta, tanpa proporsional dengan berita-berita sebelumnya yang butuh tindak lanjut dari masyarakat dan pemerintah, namun tidak mendapatkannya.
Menurut pantauan penulis kala pernah mengalami sebagai wartawan, hal tersebut lumrah terjadi pada wartawan Indonesia karena yang tertanam di benak mereka ialah kecepatan akses informasi, seiring meningkatnya kompetensi antar media massa, terutama dengan media massa online. Kecepatan pemberitaan menjadi dewa dalam jurnalisme dewasa ini, sehingga wartawan cenderung mengikuti keberadaan berita baru, di manapun mereka berada dan apapun kondisi mereka.
Hasilnya, media massa menjadi sasaran empuk dan alat ampuh untuk menggiring opini serta pengalihan isu bagi pihak berkepentingan. Media massa merupakan salah satu elemen komunikasi politik, sudah sewajarnya, memang, media massa dimanfaatkan oleh para pelaku politik. Peranannya sebagai salah satu elemen komunikasi politik tersebut hendaknya dipahami agar tidak serta merta mengikuti nafsu dan akal bulus para politisi.
Setiap pemahaman teoretis yang membalut dunia jurnalisme semestinya berkaitan dan sistematis, dengan kata lain satu rusak yang lain juga akan terganggu. Begitu juga dengan poin elemen jurnalisme yang disampaikan di awal, dengan peranan media massa dalam komunikasi politik, karena politik juga berkaitan dengan khalayak (masyarakat). Namun, kondisinya saat ini, faktanya tidak semua wartawan atau pegiat media massa di Indonesia memiliki pemahaman dan sikap teoretis tersebut. Kecenderungan pada praktis membuat mereka harus (hanya bisa) mengikuti setiap pergerakan yang ada.
Meski demikian, tidak semua media massa memiliki kecenderingan mengikuti pengalihan isu yang dilakukan oleh para pelaku politik yang entah siapa itu dan di mana mereka berada. Masih ada media yang berusaha mengambil jalur berbeda untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Masih ada yang konsisten membahas suatu persoalan secara proporsional dengan berita baru lainnya. Semua itu butuh pemilahan dan agenda setting yang baik.
Media massa yang cenderung melakukan perlawanan terhadap pengalihan isu biasanya ada pada majalah, karena mereka butuh kedalaman dalam pembahasan sebelum menyebarkan berita kepada khalayak. Salah satu yang paling kuat melakukan hal tersebut ialah majalah Tempo, yang kebanyakan edisinya tidak sesuai dengan isu yang panas dibicarakan oleh media lain. Agenda setting dilakukan sedemikian rupa untuk menjaga identitas dan kepuasan konsumen.
Beberapa surat kabar dan media elektronik pun banyak mencoba hal yang sama. Namun, pada umumnya usaha dilakukan pada framing berita yang disesuaikan dengan ideologi media masing-masing. Kontra-hegemoni yang dilakukan dominan berbentuk tulisan, yang membuat salah satu atau salah dua dari mereka terlihat berbeda. Akibatnya, terjadi perang pemahaman antara para mainstream dan si antimainstream lewat tulisan.
Sayangnya, perang tulisan tersebut tidak melulu dipahami oleh pembaca. Pasalnya, surat kabar dewasa ini begitu banyak dan membanjiri mata masyarakat. Masyarakat pun harus memilih, tak mungkin mereka membaca semua. Yang dipilih pun, haruslah yang menurut kebanyakan orang beritanya bagus, aktual, tajam dan terpercaya, yang jika sudah demikian susah untuk memperbarui referensi serta pengalaman kepada media lain. Ini menyebabkan tidak ada perbandingan di mata masyarakat. Lagi pula, tidak semua masyarakat ingin membandingkan isi berita, kecuali mereka pengamat media massa atau pemerhati dunia komunikasi.
Perbedaan yang dimunculkan oleh suatu media lewat tulisannya pun cenderung menjadi konsumsi sebagian konsumen setia yang dengan mudah percaya pada yang ditampilkan. Kebanyakan konsumen pun tidak memahami ada suatu pertarungan penyuguhan dan pemeliharaan isu pada media massa, sebelum diingatkan oleh orang-orang yang senantiasa memperhatikan.
Namun, ternyata pekan lalu ada suatu fenomena yang memberi banyak pesan tersirat, terutama pada keberlangsungan pertarungan penggiringan opini di antara media massa. Pekan lalu, ada suatu proses perlawanan terhadap pengalihan isu yang tidak dilakukan dengan tulisan lagi, melainkan dengan visual yang tak diduga-duga dan tentunya menggemparkan perhatian masyarakat.
Republika, Kamis, 8 Oktober 2015 lalu menghadirkan suatu yang berbeda. Masyarakat seakan ditampar untuk menyadari keberadaannya yang kala itu mencoba mengalahkan potensi pengalihan isu. 'Harga Solar Turun' harusnya menjadi judul berita headline serta pembahasan yang membuat khalayak pembaca terayun pada arah angin yang berubah lagi. Pembahasan yang sama juga terjadi pada media massa surat kabar lainnya.
Surat kabar ini dengan nekat menghadirkan sebuah ide yang gila dan aneh, yakni menutup judul berita yang diharapkan menjadi suatu hal yang penting tersebut. Tiga perempat halaman depan tersebut dibuat buram dengan warna abu-abu khas asap, menyisakan sebagian kecil di bawah dengan tampilan seorang anak bersepeda dan mengenakan masker, bak berusaha keras keluar dari selimut asap.
Sontak tindakan Republika ini mengundang perhatian khalayak masyarakat. Berita turunnya harga solar yang bisa membolak hati masyarakat seakan menjadi tak berguna. Republika menuai banyak pujian karena berusaha konsisten terhadap upayanya mengingatkan masyarakat lain bahwa kabut asap terus membelenggu dan semakin buruk, serta menerapkan peranannya sebagai pengontrol pemerintah. Republika berusaha menyadarkan banyak pihak.
Mungkin ini merupakan suatu uji coba terhadap sikap yang berbeda. Tak disangka, ternyata hal berbeda tetap dapat menampung perhatian, bahkan menariknya lebih banyak. Dalam konteks komoditas, Republika bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Barangkali, sikap surat kabar yang satu ini bisa menjadi inspirasi dan menyadarkan media lainnya, bahwa inovasi dalam menarik simpatik tidak hanya dari konten berita yang kemudian sering mendapat bumbu-bumbu berlebihan.
Dengan demikian, semua patut memahami dalam mendapatkan perhatian dan bertarung mengalahkan pengalihan isu tidak serta merta hanya dengan tulisan atau konten. Ada banyak elemen di media massa yang bisa dieksplor, terutama dalam tampilan visual, dan yang lainnya, termasuk kebijakan finansial.
Sikap Republika ini juga menjadi bukti bahwa ketika tulisan tidak lagi berdaya dan berkutik untuk perubahan, ada sarana lain yang menunggu untuk diutak-atik seperti desain grafis. Pasalnya, desain grafis atau karya grafis lainnya sering kali lebih menyadarkan orang-orang ketimbang tulisan dan konten fotografi atau video yang lebih gamblang. Karya grafis menjadi sarana penyampaian pesan yang cenderung abstrak, namun membuat orang bertanya-tanya. Di saat ada pertanyaan itulah, perhatian segera menghampiri dan membanjiri.
Satu kesan buat Republika: Salut! Semoga media massa lain juga bisa berkreasi dan mengeksplor berbagai ide dalam menyampaikan pesan. Dunia komunikasi ialah dunia kreativitas tanpa batas meskipun harus punya pemahaman terhadap berbagai batasan-batasan.
Kendati demikian, tidak serta merta setiap berita dianggap khalayak sebagai suatu pengalihan isu, sekalipun mereka memahami hal demikian. Ada juga yang yang memahaminya sebagai suatu kewajaran dalam industri komunikasi. Ada juga yang tidak mengakui adanya terminologi 'pengalihan isu', karena terkesan negatif.
batua banaaa joonn!!!
BalasHapus