Selasa, 20 Oktober 2015

Padang, Andai Saja 'Perbedaan' dapat Hidup di Sini...

Padang kota tercinta, kujaga dan kubela. Itu lirik lagu yang menjadi doktrinasi  bagi anak-anak sekolahan. Eh, itu dulu, enam tahun lalu saat saya masih jadi anak cupu berseragam putih abu-abu. Sekarang masih cupu sih. Dan, gak tau sekarang gimana, masih dinyanyikan atau tidak.


(foto dari beritasatu.com)

Ketika harus merantau untuk kuliah, ternyata memang lagu itu memberi doktrin kuat bagi sebagian orang. Buktinya, banyak yang rela tiap tahun, atau tiap semester, atau tiap bulan pulang ke Padang dari tanah Jawa (kaya amat ya).

Selain itu, ada juga yang akhirnya membulatkan tekad ingin membangun kota ini suatu saat. Salah satunya, saya.

Pulang ke Padang sekali setahun memberi saya inspirasi harus diapakan kota ini, karena melihat perbedaan dengan kota lain, kekurangannya apa, dan kesesuaiannya apa untuk menjadi kota yang…. tak perlu maju, tapi cukup menyenangkan, hingga nanti perekonomiannya menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia.

Namun, beberapa tahun terakhir, saya menyaksikan perkembangan pesat kota ini. Hmmm, secara konotatif dan denotatif, kota ini menyerupai BANDUNG. Semua bisa dilihat dari kreativitas para muda-mudi di sini.

Apa lagi, ada banyak kafe yang katanya bisa jadi tempat nongkrong seperti di Bandung, tapi nyatanya tidak, beberapa pelayan kafe sering memberi tanda kalau pelanggannya sudah kelamaan di sana, dan akhirnya pelanggan hanya menggunakan kafe cantik itu sebagai tempat berselfie lalu mempromosikan tempat itu. (itu kalimat panjang banget, gak efektif, pahami saja yah).

A Create Padang, menjadi salah satu simbol yang memperlihatkan perkembangan kota ini di tangan muda-mudi, terutama kreativitasnya. Dulu, saya sudah mengenal gemerlap dan sedikit kekerenan kota ini dengan banyaknya mususi muda yang mampu memainkan lagu-lagu rock band metal seperti musisi aslinya, termasuk saya, ehm (gak lah, becanda). Sekarang, semua merambah ke banyak kreativitas lagi.

Acara tersebut menunjukkan banyak muda mudi kreatif, baik di dunia musik, desain grafis, lukisan, karya visual 3D, sinematografi, fotogragi, enterpreneurship berupa pakaian dan minuman, dan beberapa yang lainnya. Saat itu, di sana, Padang bagaikan Bandung, mirip Bandung. Di sana saya memuji karya ini, namun menyayangkan hal ini belum didukung oleh pemerintah.

Ada apa gerangan? Saya perhatikan semua hal yang ada di venue tersebut dan memikirkan apa yang ada di pikiran pemerintah dan masyarakat, serta muda-mudi lainnya?

Kemudian saya berhipotesis, yang saya tumpahkan dalam judul tulisan ini, yaitu ternyata Padang, belum menerima perbedaan. Mengapa demikian?

Tempat yang menyajikan kreativitas anak muda tersebut pada siang itu hanya dipenuhi oleh anak muda yang ngikutin trend kekinian. Hampir semua menggunakan gaya pakaian yang sama, atau setidaknya punya gaya kelompok masing-masing yang juga ngikutin gaya orang lain di luar sana. Contoh kecilnya, saya menemukan sedikit orang menggunakan sendal, seperti yang saya lakukan saat itu.

Contoh lainnya, dikatakan cinta Padang, tapi mereka tidak satupun yang mencoba berpakaian adat Minangkabau. Ribet? Tidak, ada yang sederhana pemakaiannya. Bahkan musik yang dimainkan dominan pada rock kekinian penuh nada pemberontakan yang katanya semangat. Ada sih ‘pop lunak’, tapi masih ngikutin tren nasional dan internasional.

Satu lagi, bertajuk A Create, sebenarnya ada baiknya jika mengikut sertakan komunitas lain yang juga bergerak untuk bidang sosial lainnya, termasuk perhatian kepada anak-anak dan budaya.
Dari contoh-contoh tersebut, saya secara sepihak menjustifikasi, bahwa perbedaan belum bisa diterima secara baik di kota ini. Dominasi kelompok untuk mengatakan mereka yang paling oke masih kuat, yang beda masih tersisihkan dalam kesendirian (assik, galau amat).

Cemoohan yang tak mendidik masih kuat sana sini. Cemooh itu penting, untuk menjaga masyarakat dari norma-norma yang tidak baik. Namun kini cemooh yang bertujuan positif terkikis, dan muncul cemooh yang menjatuhkan orang-orang yang ingin berkreasi untuk kota tercintanya itu. Hasilnya, perbedaan susah diterima.

Barangkali itu juga yang membuat pemeritah setempat belum terketuk hatinya untuk mendukung penuh kreativitas anak-anak muda di acara yang digelar di Lanud Padang tersebut. Jika dia mendukung, tentu akan ada tindak lanjut yang mumpuni (mantap!).

Padang, dari dulu kota ini punya jutaan orang dengan isi kepala masing-masing, passion masing-masing, dan kreasi masing-masing. Tapi semua diam dan angkuh di dalam kemasing-masingannya, hingga enggan untuk mengeksplor lebih jauh, dikarenakan adanya kesulitan untuk menerima perbedaan di kota ini.

Andai semua terkoordinasi dengan baik, terfasilitasi dengan baik, dan terapresiasi dengan baik oleh masyarakat, termasuk para pihak yang punya pemikiran masing-masing itu, tentu Padang sudah jauh lebih maju dari sekarang.

Lalu, bagaimana cara mengubah hal tersebut? Saran sederhana dari saya: pertama tindakan dari pemerintah, kedua konsistensi dari para pemikir dan anak-anak muda yang kreatif untuk terus berkarya, ketiga doktrinasi melalui berbagai media yang dapat mengubah cara berpikir dan berprilaku masyarakat yang hidup ‘setengah sadar’ itu perlahan-lahan.

Sekian, ini hanya ocehan, kalau terinspirasi sangat diperbolehkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger