Rabu, 30 September 2015

G 30 S (2)

G 30 S yang kedua ialah Gempa 30 Semptember. JIka memakai garis miring (/), kata selanjutnya ialah SB atau Sumatera Barat.

Tahun 2015 merupakan tahun ke-6 peristiwa tersebut berlalu. Karena besarnya gempa kala itu, sekitar 7,6 SR, yang mampu meluluh lantakkan sebagian daerah di Sumbar, masyarakat seakan terus terngiang akan peristiwa ini di tanggal yang sama pada setiap tahunnya.

Tangis dan teriak susul menyusul, istighfar dan takbir berkumandang kala itu. Bagaimana tidak, semua tergoncang, gedung-gedung banyak yang ambruk. Sebagian ada yang rumahnya menorehkan sejarah berupa retak-retak pada tembok. Sampai sekarang masih ada yang tetap menjaganya. Namun, ingat atau tidak pada penyebab jejak keretakan itu, tiada yang tahu.

Jika keretakan rumah tidak bisa diingat, mungkin orang-orang juga tidak ingat bahwa mereka pernah istighfar minta ampun pada Yang Maha Pengampun pada saat kejadian. Namun, tak tahu pula pada yang hanya bisa teriak ketakutan menangis tanpa tahu sebabnya, atau yang takut kehilangan harta.

Jika pun orang-orang ingat tapi hanya sebagai catatan sejarah, hmmm, ada yang hilang dari setiap peristiwa yang Allah turunkan kepada manusia. Apa itu? Hikmah, atau pelajaran. Artinya, ketika hikmah atau pelajaran hilang, saat itulah orang-orang kehilangan akal sehatnya.

Mungkin memang demikian yang terjadi. Sebagai warga yang hidup di Kota Padang sejak lahir sampai usia 18 tahun sejak tahun 1991 kemudian merantau dan pulang sekitar minimal sekali setahun hingga tahun 2015, saya merasakan hanya sedikit hikmah yang tersisa di negeri ini. Saya menilai Kota Padang, sebagai salah satu wilayah yang cukup luluh lantak.

Enam tahun berlalu, warga kota ini pun kembai seperti dulu. Bahkan, mereka lebih buruk dari masa itu. Memang, tenda ceper yang disebut sebagai sarana mesum di pinggir pantai tidak ada lagi. Namun, pergaulan muda-mudi semakin memperlihatkan kekacauan. Tak perlu disebut secara detil, di antaranya seks bebas, narkoba, hedonisme, dan pakaian yang cenderung terbuka. Wajah Minangkabau semakin suram.

Apa yang salah? Menurut saya, keterpurukan ekonomi pasca kehancuran negeri ini membuat banyak yang kufur. Di otak mereka hanyalah memperbaiki ekonomi, tanpa memikirkan lagi perangai yang semakin memburuk. Banyak warung, restaurant atau cafe yang dibuka, seolah memberi angin segar terhadap perekonomian. Namun, apa yang mereka jual? Beberapa di antaranya menghadirkan minuman beralkohol secara bebas. Itukah wajah Sumatera Barat pasca G30S 2009?

G30S, G30S, G30S....

Kalau mengingat masa itu, orang-orang Sumbar pasti takut. Tentu saja mereka takut hal tersebut terjadi lagi. Termasuk, penulis sendiri. Tapi, sampai di mana ketakutan mereka? Takut harta habis? atau takut sekedar traumatis belaka?

Jika ketakutan yang ada hanya berupa traumatis belaka, maka masyarakat Sumbar harus selalu bersiap untuk dipermainkan oleh media dan orang-orang yang berkuasa. Mental orang Sumbar harus kuat, jika mereka tak ingin masuk rumah sakit jiwa.

Adakah yang taku dalam kesadaran yang penuh? Ada. Tapi, mereka tak tahu harus berbuat apa.

Sebagai anak muda yang belakangan dicap banyak berwacana, saya hanya bisa memberi sebuah gagasan kepada kara tetua untuk kembali memperhatikan para pemuda. Jika para tetua sadar akan kerusakan yang ada, bimbinglah para pemuda. Ingat, bimbing mereka, bukan hardik mereka. Ikuti cara main mereka, kemudian ajak mereka bermain bersama, untuk bisa ikut menjadi dewasa. Sederhana, tapi rentan jadi wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger