Sabtu, 19 Januari 2013

Kabaret ‘Mahabaratha', Untuk Siswa agar Mengenal Budaya




Apa yang Anda ketahui tentang kisah Pandawa Lima? Mayoritas masyarakat mengenal Pandawa Lima sebagai tokoh-tokoh yang gagah berani dengan kekuatan khususnya masing-masing. Namun, bagaimana jika Pandawa Lima ternyata mengocok perut masyarakat yang mengikuti kisah mereka? 

Hal itulah yang terjadi di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat. Perjuangan Pandawa Lima dalam panggung kabaret yang mengangkat kisah Mahabarata membuat para penonton tak malu memperlihatkan tawa bahagianya. Tak hanya tertawa, para pelajar juga memeperlihatkan kekaguman kepada Pandawa Lima. Decak kagum tertuang dalam riuh tepuk tangan ketika para legenda tersebut berhasil merebut kembali kerajaan Astina dari tangan Kurawa.

Kabaret Mahabarata yang diselenggarakan oleh Event Organizer Badalohor Broadcast and Entertainment memang disajikan penuh kelucuan dan keharuan. Pertarungan Pandawa dan Kurawa dalam perang Barathayudha sejenak serius, sejenak penuh lelucon. Tak hanya Pandawa sebagai lakon yang mampu beraksi lucu, peran lain yang mendukung jalannya cerita juga tak kalah membuat para penonton tertawa.

Ketika diperhatikan, tawa yang ‘bergemuruh’ di gedung tersebut merupakan tawa penonton yang ternyata siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Ya, kabaret tersebut melibatkan banyak pelajar, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, baik sebagai penampil maupun penonton. Target utama kabaret ini memang pelajar. Oleh karena itulah kabaret tersebut dibuat lucu dan ringan, agar dipahami pelajar pada umumnya. Hal tersebut diakui oleh Windi Ruswandi, Pimpinan Produksi Badalohor Broadcast and Entertainment, ketika diwawancarai setelah pementasan pada Rabu (16/1), hari kedua jadwal pementasan.

Pada hari kedua pagelaran, bangku penonton dipadati siswa SD Lugina Sari I, Lugina Sari II, dan Sukagalih VII. Dari tiga sekolah dasar yang terletak satu kompleks tersebut, siswa-siswa yang ikut merupakan siswa kelas IV,V,dan VI. Merekalah yang menyemarakkan gedung pagelaran tersebut dengan memberikan reaksi terhadap aksi-aksi para penampil.

Satu hal yang patut dibanggakan dari keikutsertaan siswa-siswa tersebut adalah mereka yang meminta pada guru untuk hadir menonton pertunjukan. Guru-guru di sekolah tersebut juga tak mau menghambat minat siswa-siswa mereka. Menurut Windresna, guru di SD Lugina Sari, guru-guru membawa mereka ke pertunjukan sebagai bentuk pembelajaran luar sekolah. “Mereka setelah diberi tugas menceritakan kembali apa yang mereka tonton,untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia,” ujarnya ketika diwawancarai setelah menonton pertunjukan. Namun, ternyata keinginan siswa tersebut juga harus diiringi tanggung jawab masing-masing membeli tiket seharga Rp 15.000 untuk masuk menonton pertunjukan.

Berbeda dengan tiga SD tersebut, SMP Pelita Nusantara justru memang membawa siswanya sebagai agenda sekolah tersebut. Agenda itu dinamakan Outing Program yang bertujuan mengenalkan kegiatan di luar. Kegiatan yang bersifat tematik tersebut pada hari itu membawa siswa-siswa kelas VIII menonton kabaret Mahabaratha. Untuk kelas VII dan IX akan dibawa pada hari lain. Hal yang sama dengan tiga SD sebelumnya, SMP Pelita Nusantara juga memberikan tugas Bahasa Indonesia, yaitu menganalisis unsur instrinsik kabaret tersebut.

Windi mengatakan, pemilihan kisah Mahabaratha untuk kabaret ini juga merupakan hasil survei kepada siswa sebagai target. Lebih jelas ia mengatakan, “Kami melakukan survei pada siswa, dan banyak siswa tidak mengetahui tentang budaya.” Mereka kemudian memilih Mahabaratha dengan mencari kisah yang mengandung unsur budaya, yang sarat makna sosial.

Windi menjelaskan lebih lanjut, setelah menentukan kisah Mahabaratha mereka mengumpulkan berbagai versi cerita yang beredar. Cerita-cerita tersebut mereka bandingkan untuk digabungkan menjadi kisah yang utuh versi Badalohor. Ia mengatakan, kisah Mahabaratha yang dipilih kemudian disajikan penuh dengan perseteruan baik dan buruk, kepahlawanan dan sifat rela berkorban.

Untuk penampil, Badalohor jelas melibatkan banyak siswa se-Kota Bandung dan Cimahi. Windi dan rekan-rekannya memilih siswa-siswa dari 13 sekolah. Lima di antaranya sekolah menengah pertama (SMP), sisanya sekolah menengah atas (SMA).

Dalam persiapannya, para anggota event organizer tersebut disebar ke 13 sekolah tersebut sebagai pelatih. “Ibaratnya mereka itu sedang ujian di sekolah,” kata Windi menjelaskan posisi anggota Badalohor yang menjadi pelatih. Para pelatih melatih masing-masing sekolah dengan sedikit garapan yang berbeda di setiap sekolah. “Yang berbeda hanya beberapa garapan seperti audio, disesuaikan dengan karakteristik sekolah. Untuk cerita dan kostum, semua sama,” katanya.

Setelah siswa-siswa 13 Sekolah tersebut telah menyelesaikan waktu latihannya selama 2 bulan, mereka tampil dengan jadwal yang diatur sedemikian rupa. Pada penampilannya, para pelatih juga ikut tampil bersama penampil dari masing-masing sekolah. Selain penampilan masing-masing sekolah dengan cara aktingnya masing-masing, para pelatih juga meramaikan jadwal pagelaran dengan menampilkan kabaret yang dimainkan oleh mereka semua. Kabaret yang diisi oleh para pelatih tersebut ditampilkan pada Rabu (16/1).

Para siswa yang bermain peran dalam kabaret tersebut ternyata diambil dari ekstrakurikuler teater di sekolahnya masing-masing. Dalam ekstrakurikuler, siswa kemudian akan diberi penilaian berdasarkan aktivitas mereka masing-masing. Hal itulah yang membuat mereka mau ikut terlibat dalam penampilan kabaret tersebut , yang juga memudahkan Badalohor mencari dan melatih pemain.

Terbukti, para peserta ekstrakurikuler teater tersebut mampu menyajikan kabaret yang tak kalah baik dibanding yang ditampilkan pelatihnya. Bagaimana Arjuna memperlihatkan ketangguhannya memanah, bagaimana Abiasa memperlihatkan kesombongannya hingga ia mati di akhir cerita, atau bagaimana Arimba bersikap marah dan menyeramkan, diperankan dengan baik oleh siswa-siswa tersebut.
           
     Pertunjukan yang berlangsung selama 59 menit 23 detik tersebut memang diakui sangat menarik oleh para penonton. Perina, guru SMP Pelita Nusantara dengan singkat memberi pandangan terhadap kabaret tersebut, “Well Prepare!”. Selain itu Fahri dan Rian, siswa kelas 4 SD Sukagalih 7 mengaku paham dan suka pada alur cerita kabaret tersebut. Satu yang disayangkan, usaha dan keberhasilan Badalohor mengangkat budaya belum terakomodasi dengan baik oleh pemerintah. 
           
         Pementasan Kabaret tersebut diselenggarakan mulai tanggal 15 hingga 20 Januari 2013. Kabaret yang  direncanakan sejak Juli 2012 ini seharusnya diselenggarakan pada November 2012. Penundaan hingga Januari 2013 dikarenakan gedung pementasan direnovasi saat itu.

Kawah Putih, Indah namun Penuh Keluhan


“Semuanya ada di Jawa Barat,” ungkapan yang dinyanyikan Sule dalam iklan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk pariwisata tersebut memang benar adanya. Tak usah jauh-jauh, cukup datang ke ibukota Jawa Barat, Bandung wisatawan dalam dan luar negeri akan menemukan beberapa tempat wisata alam yang mengesankan.

Kawah Putih menjadi salah satu pilihan wisatawan yang ingin membuktikan nyanyian Sule tersebut. Dengan menampilkan alam pegunungan dan iklim yang dingin, Kawah Putih mampu membuat pengunjungnya terkagum-kagum. Tempat wisata yang satu ini masih berada di Kabupaten Bandung, tepatnya Ciwidey, sekitar 46 kilometer ke arah selatan pusat kota Bandung. Jadi, Kawah Putih menjadi salah satu pilihan terdekat pengunjung kota Bandung yang ingin melihat keindahan alamnya.

Secara geografis, Kawah Putih berada di area gunung Patuha. Menurut sejarah, gunung Patuha disebut-sebut masyarakat sebagai wilayah angker, karena tak ada satupun hewan yang berani mendekat. Hingga suatu saat, wilayah ini ditemukan oleh peneliti dari Belanda. Wilayah ini ditemukan dengan kandungan zat belerang, yang diduga menjadi penyebab hewan tak ada yang berani mendekat. “Penemunya bernama Junghuhn, seorang Belanda keturunan Jerman. Ia menemukan bahwa Kawah Putih terbentuk akibat letusan gunung Patuha pada abad 12,” jelas Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jawa Barat Ahmad Djumarma Wirakusumah.

Pengunjung Kawah Putih memang mengakui sangat terguguah dan senang ketika melihat hamparan alam tersebut. Rini, salah seorang pengunjung yang berasal dari Jakarta mengaku baru kali ini dapat melihat keindahan alam seperti di Kawah Putih tanpa harus menapaki jalanan setapak yang terjal seperti menuju puncak gunung. “Saya tidak harus capek-capek mendaki gunung untuk melihat kawah seperti ini. Saya juga belum pernah mendaki gunung. Di sini saya dan orang tua cukup mengendarai mobil ke sini, lalu naik kendaraan umum di sini,” ungkap Rini memperlihatkan rasa kagumnya.

Di Kawah Putih pengunjung dapat melihat hamparan pasir putih bersih. Pasir tersebut menjadi lahan berpijak pengunjung untuk melihat keindahan kawah yang menjadi tujuan utama. Kawah putih menyerupai danau tersebut mengelurakan gumpalan-gumpalan uap yang merupakan panas karena zat belerang dalam kawah tersebut. Layaknya air mendidih, kawah tersebut senantiasa mengundang rasa penasaran pengunjung untuk menyentuh airnya. Tak hanya menyentuh, mereka juga mencoba untuk mencium bau zat tersebut, bahkan menjilati untuk mengetahui rasanya. Padahal, di sana telah terpampang papan himbauan untuk tidak menyentuh air kawah.

Selain itu, di sekitar kawah tersebut, pada pasir putih tersebut tumbuh banyak pohon yang beberapa di antaranya menggugurkan daunnya. Hal tersebut menjadikan tempat tersebut seperti daratan Eropa yang sedang mengalami musim gugur. Beberapa pengunjung tampak menikmati suasana pepohonan yang menggugurkan daun tersebut dengan mengambil foto diri mereka sendiri di depan pohon-pohon tersebut. Hasil fotonya, memperlihatkan mereka seperti sedang berada di daratan Eropa yang sedang dalam musim gugur.

Di samping kawah yang menjadi tujuan utama, terdapat sebuah goa. Goa tersebut berukuran cukup besar, pas untuk badan manusia yang ingin memasukinya. Namun, goa tersebut ditutup. Bahkan pengunjung dilarang untuk berdiri di depan goa tersebut terlalu lama. Menurut Ahmad Djumarma Wirakusumah, goa tersebut merupakan goa peninggalan Belanda. Mengenai mengapa goa tersebut ditutup, Ahmad juga tidak mengetahui penyebabnya.

Keindahan alam Kawah Putih masih tetap bisa dinikmati meskipun dalam kondisi hujan. Uap yang dihasilkan kawah menjadi seakan berkabut dan membentuk keindahan yang berbeda di Kawah Putih. Yang menjadi kendala hanyalah susahnya mengambil foto dan iklim yang semakin dingin.

Untuk dapat memuaskan hasrat rekreasi di Kawah Putih, pengunjung harus mengeluarkan biaya yang tergolong mahal untuk sekelas pariwisata alam, yakni Rp 17.000 per orang. Kemahalan biaya tersebut telah beberapa kali diungkapkan oleh wisatawan yang telah berkunjung. Khairul, pengunjung yang berasal Sumatera Barat, mengakui hal tersebut ketika diwawancarai oleh reporter Republika. “Jika dibandingkan wisata alam di kampung saya, Kawah Putih tergolong mahal. Belum lagi ongkos jasa angkutannya,” ujarnya mengeluhkan. Keluhan pengunjung tersebut ternyata juga diakui oleh Penasehat Asosiasi Travel Agen Wisata (Asita) Jabar, Hilwan Saleh. “Mahalnya harga tiket Kawah Putih memang sudah banyak dikomplain oleh wisatawan,” katanya ketika diwawancarai di kantornya, Jl. Tamblong No.8 Bandung. Harga tiket tersebut juga bisa sewaktu-waktu naik, sesuai kondisi waktu saat itu, waktu liburan atau tidak.

Selain biaya, hal yang dikeluhkan oleh pengunjung adalah angkutan umum menuju kawasan utama Kawah Putih dari tempat parkir di gerbang bawah. Angkutan yang dinamakan “Ontang-anting” tersebut dikeluhkan karena ugal-ugalan. Selain itu “Ontang-anting” tidak berpintu rapat atau bisa dikatakan terbuka. “Ontang-anting” hanya berpintukan jendela plastik yang bisa digulung ke atas. Hal ini dapat mengakibatkan kecelakaan, yaitu pengunjung atau barang bawaannya yang jatuh.

Sebenarnya, untuk angkutan menuju kawasan utama ada dua. Jika membawa mobil pribadi, pengunjung bisa menuju ke Kawah Putih dengan mobil tersebut. Namun, pengunjung dikenakan biaya yang cukup besar, yaitu Rp 150.000 per mobil, tetap ditambahkan dengan biaya masuk Rp 17.000 per orang. Mahalnya biaya masuk tersebut membuat pengunjung memilih menggunakan sarana “Ontang-anting” yang memungut biaya Rp 10.000 per orang dengan sistem antar-jemput.

Namun, meskipun mahal, Kawah Putih cukup menyediakan fasilitas yang baik untuk pengunjung. Selain Ontang-anting, juga disediakan tempat parkir kendaraan yang cukup aman, meskipun harus membayar Rp 5000 untuk motor, dan Rp 6000 untuk mobil. Kamar mandi dan tempat shalat juga tersedia di kawasan utama Kawah Putih. Selain itu, di kawasan utama juga terdapat jasa penyewaan payung ketika hujan, dan jasa pemotretan oleh masyarakat sekitar. Satu hal yang menjadi keluhan dan menjadi kekurangan fasilitas di sana ialah jaringan yang susah dijangkau. Ini menjadi usulan kepada pemerintah atau jaringan provider untuk memperkuat jaringan di kawasan utama Kawah Putih.

Segala keluhan yang diungkapkan pengunjung tersebut telah disampaikan kepada pemerintah dalam berbagai bentuk. Jika mencari internet, akan banyak ditemukan tulisan mengenai Kawah Putih berikut dengan komplainnya. Selain itu juga ada yang menyampaikan lewat media massa cetak Jawa Barat. Namun, hingga sekarang segala bentuk keluhan belum dapat ditangani oleh pemerintah. 
  
Untuk bisa sampai pada tempat wisata Kawah Putih, pengunjung dapat menempuh beberapa jalan alternatif. Jika mengendarai mobil, pengunjung dari Jakarta bisa lewat jalan Tol Kopo, terus menuju Soreang, hingga nanti memasuki daerah Ciwidey. Untuk yang berangkat dari Bandung juga bisa menempuh jalan tol, yaitu masuk jalan tol Pasteur, kemudian keluar di pintu tol Kopo untuk mengarungi jalur yang sama. Selain itu juga bisa lewat jalan biasa. Jika dari daerah Dago, bisa melalui jalan Pajajaran, masuk ke Cimahi, melewati Jalan Raya Nanjung, masuk Kopo kemudian Soreang, hingga terus ke Ciwidey. Jalur tersebut juga bisa ditempuh dengan sepeda motor. Jika menggunakan alternatif Jalan Soekarno-Hatta, pengunjung bisa terus menyusuri jalan itu hingga perempatan Margahayu, belok kiri menuju daerah Kopo, terus ke Soreang, lalu ke Ciwidey. Memasuki daerah Ciwidey, pengunjung terus menyusuri jalan tersebut hingga medapati tugu besar bertuliskan “Kawah Putih”.

Selasa, 08 Januari 2013

Sebuah Penjelasan atas Kritik dan Protes terhadap Film "Cinta tapi Beda"

Bolehkah saya ikut berklarifikasi menjelaskan masalah yang dipermasalahkan untuk film "Cinta Tapi Beda" karya Hanung yang diproduseri keluarga Punjabi?

Kalau boleh, singkatnya begini saja.

Ada tuntutan dari beberapa kelompok masyarakat Minang atas film tersebut. Tuntutannya adalah "Penghinaan" terhadap Minangkabau, terkait tokoh Diana sebagai gadis Padang namun beragama Katholik.

Saya jabarkan dahulu premisnya:


1. Padang itu kota, Minangkabau itu suku bangsa dengan segala adat budayanya.
2. Minangkabau, memiliki falsafah hidup "Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang terpatri pada perjanjian Bukik Marapalam.
3. Dari sana terpatri adat budaya bahwa Orang Minang asli, yang asli dengan adat dan budayanya, tentu harus beragama Islam. Di luar agama Islam, ia bukan orang Minangkabau.
Kota Padang, diisi oleh banyak suku bangsa, meskipun didominasi suku Minangkabau.
4. Orang Padang, pada kenyataannya, orang non Minang menganggap orang Padang itu sama dengan orang Minang (menurut pengalaman saya).
5. Hanung menokohkan Diana sebagai orang Padang, besar kemungkinan orang non-Minang menafsirkan Diana adalah orang Minang.
6. Pada filmnya (menurut yang sudah nonton), tidak dijelaskan bahwa Ranah Minang, tempat bernaungnya mayoritas adat budaya Minangkabau bersendikan agama Islam.

Jadi permasalahannya adalah:

1. Orang Padang yang biasanya dikenal oleh orang non-Minang dan orang awam lainnya sebagai orang Minang disajikan beragama non-Islam pada film tersebut.
2. Artinya, orang awam bisa menilai bahwa Orang Minang itu ada yang beragama selain agama Islam.
3. Padahal, SECARA ADAT, orang Minangkabau, haruslah beragama ISLAM. Keluar dari agama Islam, ke-Minang-annya hilang.

Jadi,


1. Itulah yang diprotes oleh mayoritas orang Minangkabau. Yakni penyajian Orang Minang yang bukan beragama Islam. Secara ADAT, itu tidak sesuai.
2. Satu yang harus ditekankan, yang memprotes bukanlah menghina balik agama non-Islam yang dikisahkan dalam film tersebut.

Begitulah. Saya harap tidak ada kesalahpahaman antara orang Minang dengan orang yang beragama non-Islam. Islam adalah agama yang indah, agama yang damai. :)

Ada kritikan? :)
Powered By Blogger