Rabu, 19 Oktober 2016

Kelas Kesombongan

Ada pelajaran baru lagi, yang sebenarnya bukan pelajaran baru. Mungkin sejak kecil sudah saya pelajari, tapi baru ini saya tuliskan di blog. Makanya, ini jadi pelajaran baru.

Apa itu? Kesombongan. Lebih detilnya, kesombongan akan pendidikan yang dicapai.

Tepat malam ini, saya bertanya-tanya apakah ada mata pelajaran, mata kuliah, jurusan atau bidang keilmuan tentang kesombongan?

Saya bertanya-tanya, mengapa orang-orang  yang katanya berpendidikan justru jadi menyombongkan di mana dia belajar, dan merendahkan orang yang belajar di tempat tertentu, atau orang yang hanya sampai pada satu tingkatan tertentu?

Padahal, saya punya banyak pengalaman menemui orang-orang sukses dan mampu berkontribusi banyak, justru dari kondisi pendidikan yang mungkin saja jadi konten pandangan sebelah mata bagi mereka yang mengaku berpendidikan.

Ada orang yang SD saja tidak lulus, tapi bisa jadi profesor. Ada orang yang dikeluarkan dari kampusnya, tapi justru mampu memberi dana beasiswa untuk belajar di universitas ternama. Ada orang yang lulusan SMP tapi bisa menguasai IT dan menolong orang-orang membuka lahan pekerjaan melalui website. Ada orang yang... seperti Mark Zuckerberg.

Apalah arti pendidikan, jika hanya jadi bahan untuk menyombongkan pola pikir, hafalan teori serta kajian-kajian yang katanya ilmiah dan empiris. Mereka mungkin lupa, siapa Pemilik Sejati otak-otak tersebut.

Mereka harusnya malu, bila strata pendidikan yang mereka sombongkan tidak bisa berbuah apa-apa untuk perubahan menuju hidup yang lebih baik. Tiada satu teoripun yang berdampak baik bagi orang lain. Malulah pada orang yang bisa bermanfaat di mana-mana dengan pola pikir yang baik, meskipun tak mengenyam bangku pendidikan yang disombongkan banyak orang.

Lalu, mengapa bisa terjadi kesombongan pada orang-orang yang menyombongkan keberpendidikannya tersebut? Apakah mereka telah mengambil mata kuliah ekstra di Kelas Kesombongan seusai masa pendidikan mereka?

Kelas Kesombongan, salah satu kelas luas di atas muka bumi ini, yang menyebabkan para pelajarnya melupakan siapa Pencipta permukaan bumi tersebut. Kelas ini terbagi dua konsentrasi, konsentrasi kritis, dan konsentrasi konstruktif. 

Selasa, 18 Oktober 2016

Melawan Si Botak Yang Melawan Arus




Ini cerita tadi malam, saat saya diantar teman ke tempat pencarian angkot untuk pulang ke rumah.

Setibanya di lokasi (bukan terminal, tapi tempat terdekat yang dilalui angkot), saya turun dari mobil. Sehabis pamit saya jalan mengambil langkah ke sisi jalan untuk menyeberang dan melalui sisi belakang mobil.

Saat tiba akan menyeberang, tiba-tiba seseorang dengan sepeda motornya lewat di depan saya secara mengejutkan dan kecepatan tinggi. Dia melawan arus, tapi tetap memakai helm, helm alami (botak pelontos). Beruntung saya yang sudah belajar ilmu ninja berdetik-detik dengan menonton televisi bisa bergerak cepat.

Karena terkejut, saya sedikit kesal, sepersekian detik saat orang tersebut berhasil melintas di depan saya, saya merespon dengan nada kesal bercampur kaget dengan mengatakan "MANTAP!"

Lalu apa yang terjadi?

Bapak tersebut berhenti, dan memanggil saya. Saya pun menoleh dan mendatanginya. Singat cerita, berikut percakapan saya dengannya:

B = Botak
G = Ganteng

B: Anggota Kau? Ha? Anggota Kau?
G: Anggota? Bukan, Ambo warga biaso Pak!
B: Trus ngapai sebut-sebut "MANTAP!"? Kurang ajar Kau.
G: Loh, Ambo dek ndak suko Apak lewat melawan arus, dan membahayakan urang. (Loh Saya memang karena tidak suka Bapak jalan melawan arus, ini membahayakan orang)
B: Emang kanai? Ndak kan? (Emang kena? Tidak kan?)
G: Emang ndak, tapi iko salah, dan bahayo Pak. (Emang tidak, tapi ini salah dan berbahaya Pak)
B: Ya terus ngapain sebut-sebut "MANTAP"?
G: Lah itu kan ekspresi saya, saya terkejut!
B: Ekspresi-ekspresi kata Kau! Bikin masalah aja Kau.
G: Loh Apak yang salah melawan arus! (Loh Bapak yang salah, melawan arus)
B: Berani Kau? Tanding ajo lah kito satu-satu di sini

Dia bergerak ingin menepikan motornya dan akan turun. Saya langsung merespon.

G: Alah Pak, stop! Awak ndak nio kalau mode tu, awak laporkan Apak beko lai? Awak warga sipil bisa melapor Pak! (Sudah Pak, Stop! Saya tidak suka cara begitu. Bapak mau saya laporkan? Saya warga sipil, bisa melaporkan Bapak!)
B: Yolah pergi kau sana!
G: Oke Pak!!

Saya pun perlahan menyeberang, sementara Bapak tersebut menuju sebuah kafe yang menjual nasi goreng. Sepertinya dia mau membeli shushi.

Ini kesekian kalinya saya ribut dengan orang yang lebih tua di jalanan. Dan kali ini, sepertinya dia militer. Tak masalah, sebelumnya saya sering ribut dengan polantas. Dan itu menyenangkan.

Mengapa menyenangkan? Mereka lucu ketika emosi, saya pun tertawa dengan cara saya membantah dan berakting, barangkali jika ada kawan yang menonton, dia pun menertawakan saya.

Tujuannya sederhana, saya ingin melawan kesemena-menaan akibat kesombongan karena merasa lebih hebat, dan kedua saya ingin melampiaskan emosi akibat lelah berkegiatan sehari-hari, sambil melatih retorika.

Namun, saya hanya sering melakukannya kepada orang yang lebih tua. Karena mereka jadi lucu ketika sudah jelas-jelas salah, tapi masih ingin terlihat benar dan salah, di depan orang yang lebih muda. Padahal sebenarnya, mengakui kesalahan jauh lebih dewasa dan bijaksana. Saya pun begitu kepada orang yang lebih muda. Alangkah malunya jika terpergok salah oleh yang lebih muda, tapi lebih malu lagi jika berbalik memarahi mereka. Sebaliknya, kepada yang lebih muda, jika mereka salah, saya lebih memilih mengajak diskusi.

Sekian. Terima kasih.

(Ini cuma blog, bukan website pemerintah. Jika ada yang kurang tepat, jangan laporkan apalagi didemo, sampaikan saja di kolom komen yang tersedia)

Sabtu, 15 Oktober 2016

Sederhananya Perihal Ahok

Akhirnya saya memutuskan untuk menulis di blog pribadi, karena menyimak banyaknya rekan-rekan yang mengeluhkan isi home facebook mereka, terkait sejumlah share-share-an berita yang katanya jauh dari kata ketenteraman. Salah satunya mungkin perihal Ahok, salah banyaknya ada juga.

Saya putuskan untuk menulis di blog saja, berharap teman-teman di Facebook bisa memilih, akan membaca tulisan saya ini atau tidak. Karena, nantinya akan saya share juga, tapi tentu yang muncul hanyalah judul dan paragraf awalnya. Jika ingin baca, persiapkan mental yang baik. Jika tak sengaja membuka, mungkin bisa belajar memahami sedikit demi sedikit. Jika benar-benar tak ingin membaca, ya silakan, asal jangan justru menebar ketidaksukaan pula pada orang yang dicap menebar ketidaksukaan.

Di sini saya hanya ingin membahas sedikit perihal Ahok yang sepekan ke belakang namanya semakin ramai disoraki warga sekampung Indonesia, karena omongannya yang tak terjaga. Lain kali mungkin saya bisa bahas sederhananya persoalan yang lain dari sudut pandang saya sendiri.

Persoalan terkait Ahok sebenarnya sangat sederhana, tapi banyak orang merumitkannya, terutama yang tidak mengerti dan tak mau mengerti. Pertama, hal ini disampaikan oleh Aa Gym dalam obrolannya di program Hitam Putih, yaitu Surat Al-Maidah 51 merupakan ayat yang menyerukan umat Islam untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin (sebagian orang memilih tafsiran awliya sebagai teman, tapi esensinya tak jauh beda jika dikaji lagi).

Karena ini bersumber dari Alquran, jelas ada hukum yang berlaku. Sejauh yang saya pelajari (saya tak akan cantumkan sumber referensinya, karena lupa dan malas mencari), apa yang tercantum di Al-Quran mengandung perintah dan larangan, yang artinya di sini ada perihal halal dan haram.

Dengan demikian, seluruh muslim harus paham dan sadar, larangan memakan babi yang tercantum dalam Al-Quran sama dengan larangan lainnya, statusnya sama-sama larangan. Yang berbeda ialah intensitas Allah menyebutkan larangan tersebut yang tercantum di dalam Al-Quran.

Jika dikaji lagi, larangan itu sama dengan perintah untuk tidak melakukan. Kesamaannya dengan shalat 5 waktu ialah sama-sama perintah. Yang satu perintah untuk shalat 5 waktu sehari semalam, yang kedua perintah untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin. Artinya, hal tersebut harus dipatuhi oleh umat Islam. Itu kuncinya.

Kondisinya sekarang, banyak orang yang seperti tidak mengetahui keberadaan ayat tersebut, saudara kita yang sesama muslim tersebut dengan senang hati mendukung dan ingin memilih Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Maka dari itu, banyak pihak yang mengingatkan perihal ayat tersebut. Dan ternyata, bukan hanya A-Maidah ayat 51 yang memerintahkan untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin.

Seruan dari banyak pihak itulah yang diinterpretasikan oleh banyak orang yang sepertinya tidak mengetahui, bahkan Ahok sendiri sebagai sebuah cara-cara yang tidak menyenangkan untuk tidak memilih pria asal Belitung tersebut. Sehingga ada omongan yang tidak terkontrol, yang mengandung buruk sangka terhadap orang-orang yang menyerukan.

Perlu dipahami lagi, adalah penting bagi sesama muslim untuk saling mengingatkan. Dan, banyak yang mengingatkan perihal ayat tersebut. Sementara Ahok dengan sempit menginterpretasikan bahwa penyuaraan ayat tersebut hanyalah trik orang-orang tertentu untuk membohongi warga, agar tidak memilihnya menjadi gubernur kembali. Dia menggeneralisasikan sejumlah banyak individu, yang padahal banyak yang menyuarakan juga, tapi sama sekali tidak ingin ikut dalam Pemilu (Artinya dia tidak ada afiliasi partai atau calon tertentu).

Maka, ketika Ahok menggeneralisasikan satu persoalan dengan menujukannya pada orang lain, wajar ada banyak yang marah dan kemudian mengekspresikan kemarahannya yang mungkin tertahan selama ini kepada Ahok karena sikap-sikapnya yang lain (yang mungkin masih bisa dimaafkan dengan kesabaran).

Di samping perintah dan larangan yang merupakan landasan yang bersumber langsung pada azas Ketuhanan (Tauhid), ada landasan logis yang juga dipakai muslim lain untuk tidak memilihnya karena faktor agama. Sebagaimana yang juga disampaikan oleh Aa Gym, ada kekhawatiran bagi muslim mayoritas jika Ahok atau siapapun gubernur non-muslim yang terpilih tidak memahami kebutuhan umat muslim secara ritual dan spiritual.

Barangkali nanti memang ada bantuan berupa fasilitas, tapi warga menyangsikan bila ada kegiatan penting yang mendukung ketaqwaan mereka tidak mendapat ruang kebebasan oleh sang gubernur non-muslim. Hal ini sudah terbukti dengan dilarangnya pawai-pawai perayaan Hari Besar Islam dengan alasan-alasan tertentu, sementara acara hura-hura lain dipersilakan dengan segala kebijakan.

Wah, penjelasan sederhananya ternyata panjang. :D

Tapi sebenarnya memang sederhana, jika Ahok tidak melontarkan kata-kata yang blunder tersebut (yang katanya diedit untuk mempermainkan impression dan interpretation khalayak). Sederhana, karena orang-orang menyuarakan (mengingatkan) kepada sesama muslim, agar tidak memilih Ahok, karena faktor agamanya.

Ingat, dan perlu digarisbawahi, orang-orang baru mengingatkan untuk tidak mendukung dan memilih Ahok. Mereka belum menyerang dan menuntut Ahok untuk tidak mencalonkan diri, atau KPU untuk tidak menerima pencalonan Ahok, atau bahkan meneror muslim yang telah mendeklarasikan mendukung Ahok. Artinya, tidak ada pemaksaan di sana.

Ahok silakan mencalonkan diri, dan yang seiman dengannya silakan memilihnya. Itu wajar dan tak ada larangan. Tapi bagi muslim, ada satu perintah yang tersurat jelas. Dan, ini merupakan satu pengimplemntasian ajaran Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Tapi, mengapa banyak yang meneriakkan bahwa ada politisasi agama? Setelah dikaji, siapa yang sebenarnya mempolitisasi agama?

Warga justru hanya menuruti apa yang dimaknai oleh Pancasila sila pertama, yaitu perihal ketuhanan, dan mereka memutuskan untuk mengimplementasikannya dengan mematuhi ajaran agamanya, yakni tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai muslim, dan mengingatkan sesama muslim Salahkah mereka? Adakah politisasi di sana?

Ketika ada orang yang mengkaji hal tersebut sebagai aksi yang bersifat politis, apakah orang itu bebas dari politisasi? Tentu tidak, dia telah mempolitisasi ketidakberagamaan untuk kepentingannya dan kelompoknya.

Demikianlah,tulisan ini dibuat hanya sambil bersiul, dan semoga bisa rutin menulis di sini saja. Meskipun pembacanya kemudian segmentatif, saya masih berharap ada banyak orang yang mau belajar, dan melihat sudut pandang yang dibagikan oleh saudaranya sebagai sebuah nasihat untuk kemudian dipelajarinya, serta mencari cara terbaik untuk kemudian dia ikut berbagi nasihat. Bukan justru ikut meredam semangat dengan menampilkan ketidaksukaan pada cara yang dilakukan saudaranya, tanpa menyerap esensi yang ada.

Powered By Blogger