Jumat, 23 Oktober 2015

Membangkit Ekonomi dengan Film, Mampukah?

Kondisi nilai tukar rupiah yang semakin terpuruk terhadap dollar Amerika Serikat membuat masyarakat sangat kalang kabut. Segala aktivitas perekonomian menjadi goyah dan melemahkan ekonomi itu sendiri. Jika ditunggu, pemerintah sendiri tidak dapat memastikan kapan rupiah akan memperlihatkan titik kebangkitannya untuk kembali memanjakan ekonomi masyarakat.
Jelas, menunggu bukanlah jawaban. Sebaiknya ada banyak rencana dan langkah yang ditempuh oleh masyarakat terutama pemegang kebijakan perekonomian. Perencanaan dan langkah tersebut tidak serta merta dilakukan oleh pusat, tapi bisa dimulai oleh pemerintah daerah dengan menggalakkan berbagai inovasi kebijakan. 

Salah satu film karya anak Minangkabau teranyar

 Ada banyak peluang yang mesti dilirik dan dikembangkan. Di Sumatera Barat, salah satu potensi yang dapat dilajukan ialah perfilman. Aktivitas ini bagaikan anak emas yang harus mencari kehidupan sendiri karena diabaikan oleh orangtuanya. Perfilman dibiarkan berjalan sendiri. Perfilman merupakan harta karun terpendam di ranah Minangkabau.
Darimana kita bisa melihat potensi perfilman di Sumatera Barat? Banyak yang dapat dijadikan acuan. Sila akses situs Youtube, di sana banyak beredar film berdurasi panjang maupun pendek (mini film) yang merupakan karya anak Minangkabau dan berlatar di ranah Sumatera Barat. Belum lama ini, beredar pula film yang sangat menunjukkan adat budaya Minangkabau, berjudul ‘Salisiah Adaik’, karya sineas asli Minangkabau.
Satu hal lagi yang perlu disadari, sejumlah film nasional yang beredar di Nusantara beberapa tahun terakhir dibuat berlatar belakang Minangkabau. Sebut saja Merantau, yang kental dengan budaya terutama seni bela diri Miangkabau. Jauh lebih luar biasa, ada Di Balik Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang naskahnya sendiri berasal dari buku karangan putra ternama MInangkabau, Buya Hamka. Sangat terbukti, sineas nusantara menaruh nilai lebih pada Sumatera Barat atau Minangkabau.
Hendaknya hal ini dipahami bahwa Sumatera Barat bisa juga membesarkan hal tersebut secara mandiri. Berbagai ide cerita dari kisah-kisah tambo dan legenda banyak yang bisa diangkat oleh sineas Minangkabau. Semua bisa dikemas menarik dan sangat menjual di kalangan nusantara. Film yang terbangung menjadi sangat kaya, ada pesan dan ada pedapatan.
Nah, bicara pendapatan, memanglah sebuah fakta bahwa film mampu membuka kebangkitan perekonomian. Bukti nyata dilakukan oleh Amerika Serikat. Menurut sejarahnya, kebangkitan Negara adi daya ini pada masa pasca Perang Dunia II disokong kuat oleh industri perfilman. Berbagai genre film terutama komedi, drama dan petualangan ditingkatkan kemudian dipasarkan.
Tak hanya itu, sejarah tersebut terulang pada tahun 2008, masa-masa di mana ekonomi AS mengalami keterpurukan. Berkisar pada 2008-2009, AS kembali menggenjot industri perfilmannya yang berpusat pada Hollywood. Memang tak tanggung-tanggung, mereka membuat karya film dengan cerita dan kualitas gambar yang luar biasa. Bahkan, mereka membuat sejumlah film animasi hebat.
Dari 2008 hingga 2015, hal itulah yang digalakkan AS. Dengan film, ternyata AS memfasilitasi pemasaran terselubung untuk produk-produk asal Negara tersebut. Pada kisaran tahun inilah dimulainya pengiklanan secara unik yang membuatnya terpampang hebat dalam jalannya cerita film. Film-film Hollywood mengundang berbagai produk untuk beriklan dalam film. Praktik ini pun diterapkan oleh beberapa film di Indonesia.
Tak ada masalah jika hal tersebut juga dilakukan di Sumatera Barat. Dengan potensi yang besar, bukan suatu hal yang mustahil perfilman Sumatera Barat mampu menjadi jauh lebih berkembang dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Apa lagi, sudah banyak pemuda yang memulai industri kreatif ini.
Bayangkan saja pada film-film karya anak Sumatera Barat tersebut ada berbagai produk lokal asli buatan masyarakat. Ini tentu akan menjadi suatu simbiosis mutualisme di antara berbagai pihak. Setidaknya, produk-produk industri atau usaha kecil dan menengah lokal bisa dikenal di seluruh wilayah Sumatera Barat. Masyarakat pun dimanjakan dengan pampangan sejumlah barang yang meningkatkan keinginan untuk memilikinya. Ini juga akan meningkatkan daya saing dan kreativitas para produsen.
Tak hanya itu, sejumlah seniman selain filmmaker seperti musisi dan perancang busana pun bisa turut andil bekerja sama dalam pembuatan film. Hasil karya mereka pun ikut terpromosikan dalam setiap film. Begitu juga dengan pemilik tempat-tempat (venue) shooting yang kemudian akan tereferensi pada film yang telah siap dipertontonkan. Sejumlah tempat wisata pun bisa ikut terjual.
Bukan satu hal yang mustahil pula produk-produk yang terpajang pada setiap film hadir sampai ke ranah nasional, bahkan internasional. Film-film yang dihasilkan bisa perlahan menuju jenjang perluasan jangkauan tersebut. Setiap elemen mendapatkan keuntungan, baik filmmaker maupun produsen.
Begaimana semua hal tersebut bisa terwujud? Semua butuh sistem, jelas. Namun, satu hal yang harus dilakukan ialah memulai dari yang kecil. Setiap elemen yang ingin bergerak sangat dipersilakan bergerak tanpa terus termenung menunggu bantuan atau dukungan pemerintah. Mulai dari produksi film berdurasi sekitar 15 detik-1 menit, hingga film panjang bahkan film sequel.
Seperti yang dimulai oleh para pelajar dari program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di bawah bimbingan Devy Kurnia Alamsyah selaku pengajar di kampus tersebut. Para mahasiswa dari kampus ini beberapa waktu lalu melakukan pembuatan beberapa film pendek yang kemudian akan disajikan untuk umum dalam kumpulan film yang disebut ‘omnibus’. Sekitar enam film segera ditampilkan di salah satu bioskop ternama di Kota Padang dengan tarif yang sangat terjangkau.
Karya-karya tersebut pantas untuk mendapat apresiasi. Terlepas dari penilaian hasil karya penonton setelah menyaksikan setiap detik pada film tersebut, hal yang paling patut diapresiasi dan didukung secara positif ialah kemampuan untuk memulai. Memulai ialah suatu hal yang cukup berat, untuk kemudian melanjutkan dan menginsipirasi banyak pihak.
Karya anak muda tersebut menjadi suatu titik terang bagi Sumatera Barat untuk terus berkembang dan maju, terutama mewujudkan impian menjadi basis perfilman Indonesia yang terinisiasi oleh sebuah grup Facebook bertajuk ‘PadariamWood’. Belakangan ini ‘PadariamWood’ hadir sebagai grup yang menampung aspirasi dan semangat masyarakat untuk perfilman Sumatera Barat, untuk bisa bersanding dengan Hollywood dan Bollywood.
Bukan suatu mimpi besar yang berupa bualan semata pula, karena sejarahnya perfilman Indonesia memang ditumbuh-kembangkan oleh orang asal Sumatera Barat. Dialah Djamaludin Malik, pria kelahiran Padang, 13 Februari 1917 yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Industri Film Indonesia. Dialah penggagas Festival Film Indonesia.
Jadi, tidak mustahil pula jika tangan dingin pria yang menghadirkan keindahan perfilman di Nusantara tersebut terulang kembali dari tanah kelahirannya. Semangat kreativitasnya di masa lalu dapat menjadi sebuah inspirasi untuk terus berinovasi. Tunggu apa lagi? Kita punya banyak sejarah, kita bisa belajar dari sejarah, kita bisa membuat sejarah. Setelah itu, kemajuan perfilman juga segera pengaruhi kebangkitan perekonomian.

Selasa, 20 Oktober 2015

Padang, Andai Saja 'Perbedaan' dapat Hidup di Sini...

Padang kota tercinta, kujaga dan kubela. Itu lirik lagu yang menjadi doktrinasi  bagi anak-anak sekolahan. Eh, itu dulu, enam tahun lalu saat saya masih jadi anak cupu berseragam putih abu-abu. Sekarang masih cupu sih. Dan, gak tau sekarang gimana, masih dinyanyikan atau tidak.


(foto dari beritasatu.com)

Ketika harus merantau untuk kuliah, ternyata memang lagu itu memberi doktrin kuat bagi sebagian orang. Buktinya, banyak yang rela tiap tahun, atau tiap semester, atau tiap bulan pulang ke Padang dari tanah Jawa (kaya amat ya).

Selain itu, ada juga yang akhirnya membulatkan tekad ingin membangun kota ini suatu saat. Salah satunya, saya.

Pulang ke Padang sekali setahun memberi saya inspirasi harus diapakan kota ini, karena melihat perbedaan dengan kota lain, kekurangannya apa, dan kesesuaiannya apa untuk menjadi kota yang…. tak perlu maju, tapi cukup menyenangkan, hingga nanti perekonomiannya menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia.

Namun, beberapa tahun terakhir, saya menyaksikan perkembangan pesat kota ini. Hmmm, secara konotatif dan denotatif, kota ini menyerupai BANDUNG. Semua bisa dilihat dari kreativitas para muda-mudi di sini.

Apa lagi, ada banyak kafe yang katanya bisa jadi tempat nongkrong seperti di Bandung, tapi nyatanya tidak, beberapa pelayan kafe sering memberi tanda kalau pelanggannya sudah kelamaan di sana, dan akhirnya pelanggan hanya menggunakan kafe cantik itu sebagai tempat berselfie lalu mempromosikan tempat itu. (itu kalimat panjang banget, gak efektif, pahami saja yah).

A Create Padang, menjadi salah satu simbol yang memperlihatkan perkembangan kota ini di tangan muda-mudi, terutama kreativitasnya. Dulu, saya sudah mengenal gemerlap dan sedikit kekerenan kota ini dengan banyaknya mususi muda yang mampu memainkan lagu-lagu rock band metal seperti musisi aslinya, termasuk saya, ehm (gak lah, becanda). Sekarang, semua merambah ke banyak kreativitas lagi.

Acara tersebut menunjukkan banyak muda mudi kreatif, baik di dunia musik, desain grafis, lukisan, karya visual 3D, sinematografi, fotogragi, enterpreneurship berupa pakaian dan minuman, dan beberapa yang lainnya. Saat itu, di sana, Padang bagaikan Bandung, mirip Bandung. Di sana saya memuji karya ini, namun menyayangkan hal ini belum didukung oleh pemerintah.

Ada apa gerangan? Saya perhatikan semua hal yang ada di venue tersebut dan memikirkan apa yang ada di pikiran pemerintah dan masyarakat, serta muda-mudi lainnya?

Kemudian saya berhipotesis, yang saya tumpahkan dalam judul tulisan ini, yaitu ternyata Padang, belum menerima perbedaan. Mengapa demikian?

Tempat yang menyajikan kreativitas anak muda tersebut pada siang itu hanya dipenuhi oleh anak muda yang ngikutin trend kekinian. Hampir semua menggunakan gaya pakaian yang sama, atau setidaknya punya gaya kelompok masing-masing yang juga ngikutin gaya orang lain di luar sana. Contoh kecilnya, saya menemukan sedikit orang menggunakan sendal, seperti yang saya lakukan saat itu.

Contoh lainnya, dikatakan cinta Padang, tapi mereka tidak satupun yang mencoba berpakaian adat Minangkabau. Ribet? Tidak, ada yang sederhana pemakaiannya. Bahkan musik yang dimainkan dominan pada rock kekinian penuh nada pemberontakan yang katanya semangat. Ada sih ‘pop lunak’, tapi masih ngikutin tren nasional dan internasional.

Satu lagi, bertajuk A Create, sebenarnya ada baiknya jika mengikut sertakan komunitas lain yang juga bergerak untuk bidang sosial lainnya, termasuk perhatian kepada anak-anak dan budaya.
Dari contoh-contoh tersebut, saya secara sepihak menjustifikasi, bahwa perbedaan belum bisa diterima secara baik di kota ini. Dominasi kelompok untuk mengatakan mereka yang paling oke masih kuat, yang beda masih tersisihkan dalam kesendirian (assik, galau amat).

Cemoohan yang tak mendidik masih kuat sana sini. Cemooh itu penting, untuk menjaga masyarakat dari norma-norma yang tidak baik. Namun kini cemooh yang bertujuan positif terkikis, dan muncul cemooh yang menjatuhkan orang-orang yang ingin berkreasi untuk kota tercintanya itu. Hasilnya, perbedaan susah diterima.

Barangkali itu juga yang membuat pemeritah setempat belum terketuk hatinya untuk mendukung penuh kreativitas anak-anak muda di acara yang digelar di Lanud Padang tersebut. Jika dia mendukung, tentu akan ada tindak lanjut yang mumpuni (mantap!).

Padang, dari dulu kota ini punya jutaan orang dengan isi kepala masing-masing, passion masing-masing, dan kreasi masing-masing. Tapi semua diam dan angkuh di dalam kemasing-masingannya, hingga enggan untuk mengeksplor lebih jauh, dikarenakan adanya kesulitan untuk menerima perbedaan di kota ini.

Andai semua terkoordinasi dengan baik, terfasilitasi dengan baik, dan terapresiasi dengan baik oleh masyarakat, termasuk para pihak yang punya pemikiran masing-masing itu, tentu Padang sudah jauh lebih maju dari sekarang.

Lalu, bagaimana cara mengubah hal tersebut? Saran sederhana dari saya: pertama tindakan dari pemerintah, kedua konsistensi dari para pemikir dan anak-anak muda yang kreatif untuk terus berkarya, ketiga doktrinasi melalui berbagai media yang dapat mengubah cara berpikir dan berprilaku masyarakat yang hidup ‘setengah sadar’ itu perlahan-lahan.

Sekian, ini hanya ocehan, kalau terinspirasi sangat diperbolehkan.

Jumat, 16 Oktober 2015

Generasi 90-an, Generasi Gagal!



Zaman terus melaju, generasi terus berkembang setiap tahunnya, setiap bulan, dan setiap hari. Perkembangan generasi tak menutupi kemungkinan perbedaan yang terjadi di setiap masanya antara satu generasi dengan generasi.

Beberapa tahun ke belakang, terdapat hal yang lumrah terdengar di telinga saya perihal perbandingan generasi. Dengan berbagai landasan yang ada, generasi 90-an, demikian sekelompok orang menyebutnya, dianggap sebagai generasi terbaik terutama oleh orang-orang yang lahir atau tumbuh pada rentang waktu tersebut.

Sejumlah nostalgia masa kecil dimunculkan untuk mengenang indahnya masa-masa pertumbuhan generasi 90-an yang secara narsis mengatakan itulah hal terbaik yang hendaknya dilakukan anak-anak. Mereka membandingkan dengan generasi setelahnya, generasi 2000-an dan 2010 ke atas, dengan dominan mengacu kenikmatan masa kini yang tidak indah, sebut saja gadget yang memanjakan.

Orang-orang generasi 90-an secara tidak sengaja juga membandingkan diri mereka dengan generasi sebelumnya, yang hampir dikatakan sangat ketinggalan akan kehadiran teknologi. Dengan kata lain, generasi 90-an mendapatkan dua kenikmatan yang seimbang: teknologi dan tradisional. Ini dianggap sebagai pemicu besar keindahan yang dielu-elukan, yang berdampak pada proses pemikiran para personel generasi tersebut.

Memang, jika membandingkan generasi 90-an dengan generasi 2000-an ke atas, ada satu gap yang sangat memilukan. Anak-anak zaman kini terlalu dimanjakan teknologi yang semakin canggih dan hidup dalam gegap gempita media massa yang tak mendidik. Hasilnya memang buruk, banyak anak yang bersikap sangat manja, gap perekonomian terlihat signifikan, dan kecerdasan cenderung menurun, terutama dalam bersosial. Sementara generasi 90-an merasa paling kreatif.

Akan tetapi, sadarkah bahwa di balik narsisme generasi 90-an dan perbandingan dengan generasi setelahnya itu terdapat sebuah kegagalan? Ya, generasi 90-an adalah generasi yang gagal. Kenikmatan nostalgia dan indahnya masa lalu membuat mereka terlalu bangga, hingga lupa harus bertindak apa. Mereka tak mampu berbuat banyak untuk bisa mewariskan kenikmatan tersebut kepada generasi setelahnya.

Berbagai upaya memang telah dilakukan seperti sindiran-sindiran atau hal lainnya yang berupaya menyadarkan akan kenikmatan tersebut, tapi mereka lupa bahwa generasi 2000-an bahkan tidak membayangkan di mana letak nikmatnya hal-hal tersebut. Mereka tidak mengalaminya, wajar mereka tidak mengerti. Apa lagi, dominasi komunikasi dengan teknologi membuat mereka cenderung sulit memahami bahasa sindiran.

Pasalnya, kebanyakan atau setidaknya sebagian generasi 90-an tentu memiliki adik atau sepupu yang bisa ditularkan bagaimana indahnya masa mereka dulu. Mereka bisa bermain bersama. Selain itu, generasi 90-an yang cenderung lebih dewasa dan lebih paham berteknologi dibanding generasi sebelumnya harusnya bisa memberi masukan akan dampak-dampak yang akan muncul.

Ya, kesimpulannya, generasi 90-an seharusnya menjadi lakon perbaikan tingkah laku generasi setelah mereka, bukan terhanyut dalam nostalgia penuh kebanggaan dengan embel-embel kata-kata "DULU KITA BEGINI YA, MEREKA SEKARANG..." atau "ANAK-ANAK SEKARANG EMANG GITU YA, BEDA SAMA KITA". Setidaknya, jangan menjustifikasi mereka jika tidak dapat berbuat banyak untuk membawa mereka ke arah kebaikan.

Tulisan ini tak lain juga menjadi catatan tersendiri bagi penulis (yang juga generasi 90-an) yang belum bisa apa-apa selain rasa iba pada adik-adik generasi pasca 90-an. Semoga suatu saat kita yang sadar bisa membuat pergerakan untuk melakukan perbaikan, atau setidaknya bekerja sama dengan generasi pasca 90-an untuk membentuk generasi yang lebih baik.


Sabtu, 10 Oktober 2015

Melawan Potensi Pengalihan Isu

Halaman depan Republika (8/9/2015)


Salah satu problem media massa saat ini ialah tidak adanya kuda-kuda yang kuat dalam menerapkan salah satu elemen jurnalisme 'komitmen kepada masyarakat dan kepentingan publik'. Kelemahan kuda-kuda tersebut terwujud pada sikap yang mengikuti kemana arah angin berhembus, semata-mata hanya ingin mengejar popularitas dengan kecepatan menyajikan berita.

Buruknya, berita baru yang dikejar akan terus diburu sedalam-dalamnya dengan batasan kehadiran isu baru yang lebih panas lagi. Akibatnya, berita yang tadinya dipanaskan tidak berujung pada suatu 'pendinginan otot-otot' atau sejenis konklusi yang mampu menggiring masyarakat untuk membawa ke pemikiran positif. Khalayak digantung pada banjir informasi yang membuat mereka bingung mau melakukan apa. Ini menyebabkan pesimisme karena melihat banyak persoalan dan tidak tahu harus membereskan mulai dari mana.

Inilah karakter yang dominan pada media-media massa di Indonesia saat ini. Kebaruan selalu dikejar membabi-buta, tanpa proporsional dengan berita-berita sebelumnya yang butuh tindak lanjut dari masyarakat dan pemerintah, namun tidak mendapatkannya.

Menurut pantauan penulis kala pernah mengalami sebagai wartawan, hal tersebut lumrah terjadi pada wartawan Indonesia karena yang tertanam di benak mereka ialah kecepatan akses informasi, seiring meningkatnya kompetensi antar media massa, terutama dengan media massa online. Kecepatan pemberitaan menjadi dewa dalam jurnalisme dewasa ini, sehingga wartawan cenderung mengikuti keberadaan berita baru, di manapun mereka berada dan apapun kondisi mereka.

Hasilnya, media massa menjadi sasaran empuk dan alat ampuh untuk menggiring opini serta pengalihan isu bagi pihak berkepentingan. Media massa merupakan salah satu elemen komunikasi politik, sudah sewajarnya, memang, media massa dimanfaatkan oleh para pelaku politik. Peranannya sebagai salah satu elemen komunikasi politik tersebut hendaknya dipahami agar tidak serta merta mengikuti nafsu dan akal bulus para politisi.

Setiap pemahaman teoretis yang membalut dunia jurnalisme semestinya berkaitan dan sistematis, dengan kata lain satu rusak yang lain juga akan terganggu. Begitu juga dengan poin elemen jurnalisme yang disampaikan di awal, dengan peranan media massa dalam komunikasi politik, karena politik juga berkaitan dengan khalayak (masyarakat). Namun, kondisinya saat ini, faktanya tidak semua wartawan atau pegiat media massa di Indonesia memiliki pemahaman dan sikap teoretis tersebut. Kecenderungan pada praktis membuat mereka harus (hanya bisa) mengikuti setiap pergerakan yang ada.

Meski demikian, tidak semua media massa memiliki kecenderingan mengikuti pengalihan isu yang dilakukan oleh para pelaku politik yang entah siapa itu dan di mana mereka berada. Masih ada media yang berusaha mengambil jalur berbeda untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Masih ada yang konsisten membahas suatu persoalan secara proporsional dengan berita baru lainnya. Semua itu butuh pemilahan dan agenda setting yang baik.

Media massa yang cenderung melakukan perlawanan terhadap pengalihan isu biasanya ada pada majalah, karena mereka butuh kedalaman dalam pembahasan sebelum menyebarkan berita kepada khalayak. Salah satu yang paling kuat melakukan hal tersebut ialah majalah Tempo, yang kebanyakan edisinya tidak sesuai dengan isu yang panas dibicarakan oleh media lain. Agenda setting dilakukan sedemikian rupa untuk menjaga identitas dan kepuasan konsumen.

Beberapa surat kabar dan media elektronik pun banyak mencoba hal yang sama. Namun, pada umumnya usaha dilakukan pada framing berita yang disesuaikan dengan ideologi media masing-masing. Kontra-hegemoni yang dilakukan dominan berbentuk tulisan, yang membuat salah satu atau salah dua dari mereka terlihat berbeda. Akibatnya, terjadi perang pemahaman antara para mainstream dan si antimainstream lewat tulisan.

Sayangnya, perang tulisan tersebut tidak melulu dipahami oleh pembaca. Pasalnya, surat kabar dewasa ini begitu banyak dan membanjiri mata masyarakat. Masyarakat pun harus memilih, tak mungkin mereka membaca semua. Yang dipilih pun, haruslah yang menurut kebanyakan orang beritanya bagus, aktual, tajam dan terpercaya, yang jika sudah demikian susah untuk memperbarui referensi serta pengalaman kepada media lain. Ini menyebabkan tidak ada perbandingan di mata masyarakat. Lagi pula, tidak semua masyarakat ingin membandingkan isi berita, kecuali mereka pengamat media massa atau pemerhati dunia komunikasi.

Perbedaan yang dimunculkan oleh suatu media lewat tulisannya pun cenderung menjadi konsumsi sebagian konsumen setia yang dengan mudah percaya pada yang ditampilkan. Kebanyakan konsumen pun tidak memahami ada suatu pertarungan penyuguhan dan pemeliharaan isu pada media massa, sebelum diingatkan oleh orang-orang yang senantiasa memperhatikan.

Namun, ternyata pekan lalu ada suatu fenomena yang memberi banyak pesan tersirat, terutama pada keberlangsungan pertarungan penggiringan opini di antara media massa. Pekan lalu, ada suatu proses perlawanan terhadap pengalihan isu yang tidak dilakukan dengan tulisan lagi, melainkan dengan visual yang tak diduga-duga dan tentunya menggemparkan perhatian masyarakat.

Republika, Kamis, 8 Oktober 2015 lalu menghadirkan suatu yang berbeda. Masyarakat seakan ditampar untuk menyadari keberadaannya yang kala itu mencoba mengalahkan potensi pengalihan isu. 'Harga Solar Turun' harusnya menjadi judul berita headline serta pembahasan yang membuat khalayak pembaca terayun pada arah angin yang berubah lagi. Pembahasan yang sama juga terjadi pada media massa surat kabar lainnya.

Surat kabar ini dengan nekat menghadirkan sebuah ide yang gila dan aneh, yakni menutup judul berita yang diharapkan menjadi suatu hal yang penting tersebut. Tiga perempat halaman depan tersebut dibuat buram dengan warna abu-abu khas asap, menyisakan sebagian kecil di bawah dengan tampilan seorang anak bersepeda dan mengenakan masker, bak berusaha keras keluar dari selimut asap.

Sontak tindakan Republika ini mengundang perhatian khalayak masyarakat. Berita turunnya harga solar yang bisa membolak hati masyarakat seakan menjadi tak berguna. Republika menuai banyak pujian karena berusaha konsisten terhadap upayanya mengingatkan masyarakat lain bahwa kabut asap terus membelenggu dan semakin buruk, serta menerapkan peranannya sebagai pengontrol pemerintah. Republika berusaha menyadarkan banyak pihak.

Mungkin ini merupakan suatu uji coba terhadap sikap yang berbeda. Tak disangka, ternyata hal berbeda tetap dapat menampung perhatian, bahkan menariknya lebih banyak. Dalam konteks komoditas, Republika bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Barangkali, sikap surat kabar yang satu ini bisa menjadi inspirasi dan menyadarkan media lainnya, bahwa inovasi dalam menarik simpatik tidak hanya dari konten berita yang kemudian sering mendapat bumbu-bumbu berlebihan.

Dengan demikian, semua patut memahami dalam mendapatkan perhatian dan bertarung mengalahkan pengalihan isu tidak serta merta hanya dengan tulisan atau konten. Ada banyak elemen di media massa yang bisa dieksplor, terutama dalam tampilan visual, dan yang lainnya, termasuk kebijakan finansial.

Sikap Republika ini juga menjadi bukti bahwa ketika tulisan tidak lagi berdaya dan berkutik untuk perubahan, ada sarana lain yang menunggu untuk diutak-atik seperti desain grafis. Pasalnya, desain grafis atau karya grafis lainnya sering kali lebih menyadarkan orang-orang ketimbang tulisan dan konten fotografi atau video yang lebih gamblang. Karya grafis menjadi sarana penyampaian pesan yang cenderung abstrak, namun membuat orang bertanya-tanya. Di saat ada pertanyaan itulah, perhatian segera menghampiri dan membanjiri.

Satu kesan buat Republika: Salut! Semoga media massa lain juga bisa berkreasi dan mengeksplor berbagai ide dalam menyampaikan pesan. Dunia komunikasi ialah dunia kreativitas tanpa batas meskipun harus punya pemahaman terhadap berbagai batasan-batasan.

Kendati demikian, tidak serta merta setiap berita dianggap khalayak sebagai suatu pengalihan isu, sekalipun mereka memahami hal demikian. Ada juga yang yang memahaminya sebagai suatu kewajaran dalam industri komunikasi. Ada juga yang tidak mengakui adanya terminologi 'pengalihan isu', karena terkesan negatif. 
Powered By Blogger