Rabu, 30 September 2015

G 30 S (2)

G 30 S yang kedua ialah Gempa 30 Semptember. JIka memakai garis miring (/), kata selanjutnya ialah SB atau Sumatera Barat.

Tahun 2015 merupakan tahun ke-6 peristiwa tersebut berlalu. Karena besarnya gempa kala itu, sekitar 7,6 SR, yang mampu meluluh lantakkan sebagian daerah di Sumbar, masyarakat seakan terus terngiang akan peristiwa ini di tanggal yang sama pada setiap tahunnya.

Tangis dan teriak susul menyusul, istighfar dan takbir berkumandang kala itu. Bagaimana tidak, semua tergoncang, gedung-gedung banyak yang ambruk. Sebagian ada yang rumahnya menorehkan sejarah berupa retak-retak pada tembok. Sampai sekarang masih ada yang tetap menjaganya. Namun, ingat atau tidak pada penyebab jejak keretakan itu, tiada yang tahu.

Jika keretakan rumah tidak bisa diingat, mungkin orang-orang juga tidak ingat bahwa mereka pernah istighfar minta ampun pada Yang Maha Pengampun pada saat kejadian. Namun, tak tahu pula pada yang hanya bisa teriak ketakutan menangis tanpa tahu sebabnya, atau yang takut kehilangan harta.

Jika pun orang-orang ingat tapi hanya sebagai catatan sejarah, hmmm, ada yang hilang dari setiap peristiwa yang Allah turunkan kepada manusia. Apa itu? Hikmah, atau pelajaran. Artinya, ketika hikmah atau pelajaran hilang, saat itulah orang-orang kehilangan akal sehatnya.

Mungkin memang demikian yang terjadi. Sebagai warga yang hidup di Kota Padang sejak lahir sampai usia 18 tahun sejak tahun 1991 kemudian merantau dan pulang sekitar minimal sekali setahun hingga tahun 2015, saya merasakan hanya sedikit hikmah yang tersisa di negeri ini. Saya menilai Kota Padang, sebagai salah satu wilayah yang cukup luluh lantak.

Enam tahun berlalu, warga kota ini pun kembai seperti dulu. Bahkan, mereka lebih buruk dari masa itu. Memang, tenda ceper yang disebut sebagai sarana mesum di pinggir pantai tidak ada lagi. Namun, pergaulan muda-mudi semakin memperlihatkan kekacauan. Tak perlu disebut secara detil, di antaranya seks bebas, narkoba, hedonisme, dan pakaian yang cenderung terbuka. Wajah Minangkabau semakin suram.

Apa yang salah? Menurut saya, keterpurukan ekonomi pasca kehancuran negeri ini membuat banyak yang kufur. Di otak mereka hanyalah memperbaiki ekonomi, tanpa memikirkan lagi perangai yang semakin memburuk. Banyak warung, restaurant atau cafe yang dibuka, seolah memberi angin segar terhadap perekonomian. Namun, apa yang mereka jual? Beberapa di antaranya menghadirkan minuman beralkohol secara bebas. Itukah wajah Sumatera Barat pasca G30S 2009?

G30S, G30S, G30S....

Kalau mengingat masa itu, orang-orang Sumbar pasti takut. Tentu saja mereka takut hal tersebut terjadi lagi. Termasuk, penulis sendiri. Tapi, sampai di mana ketakutan mereka? Takut harta habis? atau takut sekedar traumatis belaka?

Jika ketakutan yang ada hanya berupa traumatis belaka, maka masyarakat Sumbar harus selalu bersiap untuk dipermainkan oleh media dan orang-orang yang berkuasa. Mental orang Sumbar harus kuat, jika mereka tak ingin masuk rumah sakit jiwa.

Adakah yang taku dalam kesadaran yang penuh? Ada. Tapi, mereka tak tahu harus berbuat apa.

Sebagai anak muda yang belakangan dicap banyak berwacana, saya hanya bisa memberi sebuah gagasan kepada kara tetua untuk kembali memperhatikan para pemuda. Jika para tetua sadar akan kerusakan yang ada, bimbinglah para pemuda. Ingat, bimbing mereka, bukan hardik mereka. Ikuti cara main mereka, kemudian ajak mereka bermain bersama, untuk bisa ikut menjadi dewasa. Sederhana, tapi rentan jadi wacana.

G 30 S (1)

G 30 S, seolah menjadi sebuah kode unik di negara ini. Saat ini, saya mengenal ada dua G30S, namun ini tak berlaku bagi semua orang.
G30S pertama, tentu saja Gerakan 30 September, yang di ujungnya diimbuhi garismiring (/) PKI (Partai Komunis Indonesia). Ini yang dikenal rakyat Indonesia pada umumnya. Menurut sejarah yang tertulis oleh para sejarawan secara dominant, peristiwa ini menceritakan kudeta berdarah oleh PKI dan pengikutnya. Saat itu terjadi banyak pembantaian, termasuk pembantaian hak keturunan orang-orang PKI, sebagai hukuman yang dianggap setimpal.
Sampai sekarang, ternyata hal ini belum tuntas. Kami yang dulu tidak peka terhadap kode yang tertera pada buku sejarah ini sekarang bertanya-tanya,”Loh, ada apa lagi?”. Rekan sezaman yang sudah membaca atau sudah mengetahuinya kemudian pada umumnya akan menjawab sebuah kisah pemutarbalikan fakta yang sedang diupayakan lagi untuk diputarbalikkan kembali. Mereka berdalih, “sejarah telah dimainkan”.
Sebagian orang yang memang tidak tahu akhirnya tahu. Kemudian, yang tadinya cuek terhadap sejarah tapi merasa punya nilai kemanusiaan, akhirnya melek sejarah dan peduli akan hal ini. Selanjutnya mereka pun ikut membantu menyuarakan.
Sementara saya, saya justru semakin tak percaya pada sejarah yang ada. Pertanyaannya, “Sejarah mana yang benar?”. Hasil penelitian? Setiap catatan sejarah ada penelitiannya, tapi kembali kepada keabsahannya. Saksi? Setiap sisi pendapat memiliki saksinya masing-masing. Apa lagi?
Selasa, 29 September 2015, saya menonton tayangan siaran langsung Indonesian Lawyers Club (ILC) di TV One, sebuah sajian diskusi hingga debat yang semula diisi oleh para pengacara namun kini sesekali diramaikan juga oleh para banci kamera. Namun, meski kala itu minim pengacara, saya suka tayangan ini. ILC mengangkat persoalan G30S, terutama soal rencana negara untuk minta maaf dengan tujuan rekonsiliasi.
Singkat kata, yang ingin saya tarik ialah, ternyata ada fakta lain yang juga mengatakan tak ada asap kalau tak ada api. Tak mungkin tak ada alasan mengapa terjadi pembantaian dan penumpasan terhadap PKI. Banyak saksi mengatakan, PKI pun melakukan hal yang sama. Orang-orang banyak tahu soal 7 Jenderal saja, tapi ternyata tak hanya itu. Banyak warga sipil yang dihabisi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, itu tidak dibahas.
Sebelum mendapat informasi itu pun saya sempat diskusi dengan kakek yang mengaku melihat bagaimana orang sangat menakuti dan menjauhi orang-orang PKI pada waktu dulu, sebelum mereka dihabisi. Padahal, kala itu, Sumatera Barat tidak begitu ramai oleh PKI dan informasi ke Jawa tidak seperti saat ini yang sangat cepat. Kakek pun mendapat informasi dari Ayahnya mengenai PKI. Saya jadi berpikir, “lantas apa yang diprotes orang-orang terhadap PKI?”
Saya akhirnya sepakat pada kesimpulan sementara diskusi di ILC yang mengatakan, jika ingin memperkarakan, adillah. Jangan hanya melihat PKI sebagai korban, tapi lihat juga korban-korban PKI. Pada akhirnya, banyak yang meminta persoalan ini ditutup dengan saling meminta maaf dan memaafkan.

Siang 30 September 2015 pun saya mendengar berita bahwa tidak benar berita yang mengatakan negara (Jokowi) ingin minta maaf pada PKI.
Namun, ternyata juga tak sampai di sana. Orang-orang yang mengaku aktivis kemanusiaan, bersama media-media yang senantiasa mendompleng untuk mendapatkan keuntungan tetap saja mengangkat persoalan ini. Pada akhirnya, kita bisa bertaruh, tahun depan akan terjadi lagi hal seperti ini: banyak yang menuntut keadilan. Kita pun bertanya lagi: keadilan bagi siapa?

Senin, 28 September 2015

Sekolah Nasihat




“Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali yang saling menasihati dalam kebaikan dan saling menasihati dengan kesabaran”

Demikian adalah kutipan ayat Alquran surat Al-Ashr, sebuah surat pendek yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan manusia. Bahkan, ayat tersebut tak hanya berlaku untuk Muslim.

Namun, ayat tersebut patut menjadi sebuah dasar evaluasi dalam berkehidupan sosial, sejauh mana maknanya teraplikasi? Tak terpungkiri, dunia semakin kacau dengan perangai anak manusia yang semakin amburadul demi kekuasaan fana di atas muka bumi.

Siapa yang salah? Kalau mencari siapa yang salah, tentu manusialah yang salah, tak mungkin menyalahkan Allah SWT sebagai sang pencipta. Konon katanya, malaikat dulu mengkhawatirkan kehadiran manusia di atas muka bumi yang dia prediksi hanya akan menjadi perusak.

Namun, Allah mengharapkan lain, dalam sebuah ayatnya disebutkan “Setiap manusia adalah khalifah di muka bumi”. Menurut saya, ayat tersebut mengatakan bahwa manusia hadir dengan kemampuannya memimpin diri sendiri dengan akal dan hati nurani. Akan tetapi rupanya banyak manusia merugi karena tak mampu memanfaatkan dua anugerah tersebut.

Apa penyebabnya? Meskipun manusia memiliki akan dan hati nurani, Rasul sekalipun ternyata butuh bantuan makhluk lain untuk bisa memimpin dirinya menjadi lebih baik, yang kemudian memimpin kaumnya. Malaikatlah yang berandil besar akan pengaruh baik tersebut. Artinya, orang-orang terpilih pun butuh nasihat yang kemudian dia cerna dengan akal dan hati nuraninya.

Semua yang diperoleh kemudian dia sebar kepada kaum-kaum yang ditakdirkan hidup pada zamannya dengan berbagai cara, tentunya untuk kebaikan dan tingkat kesabaran tertentu. Tersebut dalam Al-Qur’an surat Huud, sejumlah nama yang dengan kesabaran membawa kaumnya kepada yang diperintahkan oleh Allah SWT. Sebut saja Nuh, Huud, Shaleh, Ibrahim, Luth, Yaqub, dan Musa, yang akhirnya orang-orang yang tak mau berpikir dan berhati nurani disisakan oleh Allah SWT untuk menjadi percontohan dan pelajaran bagi orang-orang setelahnya.

Namun, apakah ayat-ayat tersebut telah menjadi pelajaran besar bagi kita untuk berpikir, berhati nurani, dan bertindak? Ternyata belum. Ribuan kerusakan terjadi di muka bumi ternyata tak lepas dari pembiaran oleh orang-orang yang mengerti akan dampak suatu tindakan, yang tidak mampu memberi nasihat terbaik untuk kebaikan dan penuh kesabaran. Bayangkan saja, yang mendapat nasihat terus menerus saja harus tertakdir luluh lantak, bagaimana yang dibiarkan?

Perlu dipahami pula, kerusakan di muka bumi bukan hanya kerusakan alam seperti pembabatan hutan, pencemaran lingkungan, dan peristiwa lainnya, melainkan juga kerusakan akhlak manusia yang merusak hak-hak kebaikan hidupnya sendiri. Kerusakan akhlak mulai dari hal terkecil seperti berbohong hingga hal terbesar seperti berzina, korupsi, bahkan praktik genosida seperti pembantaian dan pemakaian narkoba.

Satu asumsi yang jelas, kekuatan nasihat seakan terkurung dan tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan akhlak manusia menjadi lebih baik. Bagaimana bisa? Bicara nasihat tentu berkaitan dengan pesan, yang di sana ada komunikator dan komunikan, bisa jadi dua arah ataupun hanya satu arah. Persoalan bisa terjadi di keduanya, pada komunikator atau komunikan.

Masalah pada komunikator bisa ada pada keengganan untuk menyampaikan nasihat yang dimiliki, atau ketidaksempurnaan penyampaian nasihat-nasihat tersebut. Ketidaksempurnaan penyampaian, bisa karena cara yang kurang sabar sehingga tidak efektif atau ketidaktepatan isi nasihat sehingga memunculkan interpretasi yang salah bagi komunikan, bahkan hadir sikap underestimate yang menutup pintu akal dan nurani.

Pada komunikan, masalah terbesarnya ialah ketiadaan keterbukaan hati dan pikiran untuk menerima nasihat dari orang lain. Banyak faktor penyebabnya, bisa jadi suatu karakter atau kebiasaan yang terpupuk sejak kecil. Ada pula orang yang mau mendengarkan nasihat, namun tidak ingin membuka nurani dan pikirannya untuk mencerna sebaik-baiknya agar bisa melahirkan akhlak yang jauh lebih baik.

Hal-hal tersebut wajar jadi suatu hipotesis karena semakin kemari nasihat bertambah banyak bermunculan, semakin banyak yang ingin memberi pengaruh baik, namun bertambah banyak pula yang menolak bahkan terus melakukan kerusakan pada diri sendiri serta lingkungan. Ada sejumlah ketidaksinkronan dalam pemberian dan penerimaan nasihat. Padahal, era semakin berkembang dengan sejumlah teknologi dan riset komunikasi.

Melihat semua itu, agaknya perlu ada sebuah fasilitas pendidikan singkat atau pelatihan mengenai nasihat. Beberapa tahun ke belakang beragam pelatihan dan forum pendidikan untuk kebaikan muncul, dari yang bersifat motivasi atau yang berbentuk praktis. Namun, bagaimana dengan nasihat? Berdasarkan pada QS Al-Ashr, menasihati bukan hanya hak dan kewajiban orang-orang cerdas ataupun yang berkekuasaan, melainkan setiap manusia yang tak ingin mendapat kerugian.

Banyak orang yang tahu perihal baik-buruk serta benar-salah menurut ajaran Al-Quran dan Sunnah, namun tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan nasihat atau pengetahuannya tersebut. Ada suatu trend perangai yang muncul di kalangan masyarakat, yang sangat mudah berprasangka buruk terhadap nasihat baik yang dimunculkan. Berniat tabayyun (kritis) tapi ternyata menghujat. Hal ini tentu menjadi faktor besar yang menyurutkan langkah setiap orang untuk menyampaikan nasihat.

Ada pula trend ketidakpercayaan diri seorang manusia untuk menyampaikan nasihat yang pernah diperolehnya dari orang lain. Padahal, bisa jadi itu adalah suatu jawaban atas kebuntuan pemahaman banyak orang atas sebuah persoalan. Bisa jadi, nasihat yang dimilikinya merupakan suatu pemaknaan terbaik untuk sebuah permasalahan, meskipun dia sendiri tidak hidup dalam kondisi yang serba berkebaikan.

Bahkan, semakin kemari ternyata justru banyak yang berbalik mengkritik orang-orang yang terus-menerus membusakan mulut untuk saling menasihati. Banyak yang ingin selamat sendiri dengan pemahaman masing-masing, beralasankan lebih pentingnya tindakan dari pada omongan. Ini menjadi tantangan yang berbeda pula.

Belum lagi fenomena media sosial dan gawai yang semakin canggih, yang menjauhkan setiap manusia untuk berinteraksi secara langsung. Kehadiran gawai canggih dengan game dan aplikasi menariknya agaknya membuat manusia terlena untuk membaca kondisi sekitar sebagai suatu ladang belajar dan mencari nasihat. Boleh jadi gawai menjadi sarana untuk saling menasihati, namun persoalan di Indonesia ternyata belum semua orang dewasa dalam bermedia sosial, bahkan belum semua memilikinya.

Kondisi seperti ini sebaiknya mendapat suatu telaah dan pengkajian yang empiris lebih lanjut, karena ada miliaran mimpi hadir bahkan bergantung pada aktivitas saling menasihati. Satu dari miliaran tersebut, sebut saja asa untuk kembali meraih kejayaan Islam di muka bumi. Agaknya, perangai beragam yang sukar memberi ruang untuk mendapat pemahaman mengenai keislaman bagi banyak pribadi yang padahal muslim juga menjadi suatu persoalan untuk meraih kejayaan. Kita tidak bisa begitu saja mengabaikan kekhawatiran Rasulullah saat beliau wafat, yang menyebut : “umatku, umatku, umatku…” berulang-ulang.

Sekolah nasihat, atau apapun bentuknya dapat menjadi solusi bagi kehidupan bersama. Butuh adaya pelatihan satu sama lain untuk bisa mendengar nasihat dari orang lain. Kemampuan dan keberanian menyampaikan nasihat harus terasah, begitupun dengan kesediaan dan kecakapan mendengarkan nasihat. Dari sana pula akan teramu dan terolah kemapanan aplikasi dari semua nasihat yang diperoleh, tentunya berdasar pada Al-Quran dan As-Sunnah. Wallahualam.

Jumat, 25 September 2015

Skeptis, atau Sinis Belaka?

Ada sebuah teori yang pernah berlaku dalam dunia komunikasi massa: Teori Jarum Hipodermik, yang bermaksud menyatakan bahwa manusia sangat pasrah atas pesan yang disampaikan oleh media massa. Namun, kian kemari teori tersebut kian tak berlaku lagi. Ada sejumlah kritik yang hadir, hingga muncul beberapa teori yang menyatakan bahwa khalayak pada umumnya telah bersikap kritis.

Ada banyak teori yang menyampaikan kesadaran khalayak terhadap pesan media massa yang diterimanya, bahkan banyak menyatakan bahwa khalayak cenderung melawan, terlebih kepada hal yang tidak sesuai dengan referensi dan pengalamannya.

Hal itu terwujud dari sikap masyarakat, terutama penikmat media massa, terutama lagi para pemerhati media massa online. Masyarakat kian kemari kian mengkritisi berbagai hal yang ditangkapnya dari televisi. Pertumbuhan media massa lah yang membuat mereka mampu bersikap kritis, karena  memiliki banyak referensi dan pengalaman yang terus meningkat.

Satu yang juga terlihat, ternyata ada banyak doktrinasi yang menganjurkan masyarakat untuk cenderung bersikap skeptis terhadap pesan yang diterima. Skeptis dapat dipahami sebagai tindakan tidak percaya begitu saja dengan pesan yang diterima dari pihak lain. Ada naluri ingin menguji ketepatan pesan yang diperoleh.

photo: ric.edu


Doktrinasi yang ada bukan sebuah ucapan langsung, melainkan tindakan-tindakan yang teraplikasi dan tercontohkan hingga menjadi referensi bagi masyarakat. Tindakan siapa? Peyton Paxson dalam bukunya Mass Communication and Media Studies (2010) mengatakan ajaran tersebut berasal dari media massa yang kian tumbuh berkembang dan berkembang biak.

Akhirnya, khalayak cenderung mengaku melibatkan sekian daya skeptisnya setiap menangkap pesan dari pihak lain, terutama media massa. Namun, kembali lagi, daya skeptis berhubungan erat dengan referensi dan pengalaman. Jika referensi dan pengalaman kurang atau lemah, daya skeptis yang ada tidak begitu kuat. Sehingga, khalayak cenderung menolak pesan atau tidak menyukai yang menurut mereka cukup menyinggung atau tidak sesuai. Padahal pengalaman setiap orang berbeda-beda, tentu saja.

Inilah yang dikritik oleh Peyton. Menurutnya, skeptis bukan berarti menolak isi pesan atau pemberitaan, atau bahkan membenci pesan dan si pemberi pesan. Skeptisme harus dibedakan dengan sinisme. Jika tindakan yang muncul berupa penolakan bahkan kebencian, itulah sikap sinis. Sedangkan skeptis, harus ditunjukkan dengan pemeriksaan kebenaran pesan yang diterima, dengan mencari referensi lainnya. Itu dilakukan secara netral hingga pesan yang sesungguhnya benar, benar-benar didapatkan.

Sungguh miris ketika melihat sejumlah rekan mengolok atau menghina rekan lainnya yang membagikan berita dari suatu media massa yang dianggap menyesatkan oleh media lain. Mereka merasa telah bertindak skeptis, namun tidak melakukan cek dan ricek yang lebih, termasuk kepada media yang menjadi referensi awalnya, yang mengatakan media lain abal-abal dan tidak kredibel.

Ada lagi yang karena hanya mengandalkan sinisme-nya, pada akhirnya tidak mempercayai semua media massa yang ada. Sedikit lucu, mereka tidak memercayai atau tidak menyukai media massa karena terpengaruh atau membaca sejumlah media lainnya. Faktanya, pesan massa kini tak hanya dari media massa, tapi juga dari media pribadi yang bisa dibaca oleh umum, yang berasal dari opini sang penulis.

Pada dasarnya sama saja, setiap pesan punya kepentingan. Termasuk yang menulis opini, sekalipun opini tersebut bersifat netral atau tidak berpihak ke pada siapapun terhadap suatu persoalan. Setidaknya, kepentingan untuk memberi pengaruh kepada banyak orang (termasuk artikel ini).

Jadi, skeptis bukanlah menolak atau bahkan membenci media massa atau pemberi pesan lainnya. Skeptis harus dimaknai sebagai upaya tidak percaya begitu saja terhadap pesan yang diterima, yang harus diuji dengan pesan lainnya yang berasal dari pihak yang berbeda, kemudian diolah lagi oleh nalar sang penerima pesan. Jauhi sinis, tingkatkan skeptis.


Senin, 21 September 2015

Komunikasi Grup Media Sosial: Ketika Pemberi Pesan Merasa Sial

Dunia komunikasi semakin berkembang dengan kemajuan teknologi komunikasi. Media sosial, menjadi sebuah bukti sekaligus faktor berkembangnya praktik komunikasi di tengah masyarakat. Faktanya, media sosial memang tercipta untuk memudahkan suatu komunikasi, terutama dengan keberadaan 'group' yang memfasilitasi sebuah kelompok. Dengan demikian obrolan bisa lebih banyak, tak harus lagi bertatap muka secara langsung, tapi bisa dengan jarak jauh. Bahkan, komunikasi kelompok pun bisa tidak dalam satu kelompok saja, tapi bisa jamak.

Namun, beberapa waktu belakangan, saya memperhatikan bahwa grup media sosial tidak lagi menunjukkan suatu keefektifan dalam komunikasi sebuah kelompok. Pada sejumlah kelompok yang saya ikuti, 7 dari sepuluh kelompok mengalami hal serupa. Banyak menyimak, sedikit menanggapi. Ada apa ini? Tidakkah kita setuju bahwa hal tersebut menghambat proses komunikasi dalam sebuah kelompok? Saya merasa demikian, dan sesuai judul, saya sering merasa sial jika mendapati hal tersebut.

Sumber: romelteamedia.com


Ada beberapa contoh kejadian memilukan dalam komunikasi kelompok grup media sosial dalam waktu mutakhir ini:

1. Hanya 'Read' dan tak ada tanggapan. Padahal, sangat jelas tertera pesan yang dilemparkan adalah sebuah pertanyaan. Contohnya: "Halo kawan-kawan, bagaimana kalau kita hari ini rapat?". Pesan lugas, singkat, padat dan jelas tersebut kemudian dibanjiri 'read' yang hanya dilihat oleh pengirimnya. Tanpa ada satupun tanggapan hingga 8 jam kemudian, sampai ada salah seorang yang merasa iba menjawab dengan irama penyesalan: "Duh, maaf Sob. Hape baru nyala, rapatnya jadi?".

2. Lebih keselnya lagi kalau sang pemulai atau pengirim pesan langsung hadir dengan pesan panjang, mulai dari Assalamualaikum yang jelas-jelas bertujuan baik untuk kelompok itu, lalu memberi banyak informasi, dan diujung meminta tanggapan. Tujuh-delapan jam kemudian tak ada tanggapan. Lalu ada pahlawan yang datang dengan mengucapkan: "Sori baru baca. Kemaren maaf juga ga sempat datang rapat. Aku ikut yang lain aja deh ya,". Tapi kemudian yang lain tak ada yang mengomentari lagi.

3. Ada lagi kasusnya, ketika mengirim sebuah pesan panjang, dengan awalan Assalamualaikum  juga, kemudian meminta tanggapan. Tanggapannya sih banyak, tapi banjir stiker. Ada stiker bermakna sepakat lah, semangat lah, sampai makna kepa*at. Setelah itu? Tak ada tanggapan, tak ada ide, akhirnya bingung realisasi.

4. Kasus lain, pesan ditulis panjang-panjang, dengan Assalamualaikum juga. Kemudian diakhiri dengan permintaan tanggapan. Wuih, tanggapannya banyak, bejibun! Bahkan, pada berdebat semua. Sang pengirim pesan akhirnya bingung mau mengikuti saran yang mana. Pikir sejenak si A bener, pikir lagi si B tak salah. Kalau tak mikir, si C jadi semena-mena. Pengirim pesan harus berbijak-bijak, walaupun sering kali pada akhirnya tak ada kesimpulan yang ditarik.

5. Dari keempat kasus tersebut, akhirnya ada yang kemudian sadar dan mencoba menjadi pahlawan. Dia berkomentar seakan tak melakukan suatu kesalahan, "Jadi bagaimana nih kawan-kawan, masa pada read doang". Atau, "Jadi, kesimpulannya bagaimana? Maaf ya ga bisa ngasih masukan apa-apa,". Setelah itu kembali ke kondisi semula, hingga tak ada komunikasi efektif, hingga tak ada logika, seperti cinta pada lagunya Agnes Monika. Tak ada hasil juga.

6. Di luar yang enam kasus itu, ada hal lain yang juga membiaskan efektifitas sebuah grup media sosial sebagai wadah komunikasi kelompok. Ada sebuah kebiasaan baru: Copy-Paste. Contohnya, seseorang bertanya pada sebuah grup: "Pada datang jam berapa?". Selang waktu kemudian pesan datang, sang penanya tadi berharap ada yang menanggapi (dengan serius). Namun, dia mendapati isi grupnya dua buah tanggapan bertuliskan: "Pada datang jam berapa?" (2) dan "Pada datang jam berapa?"(3). Dia ingin menanggapi, eh datang lagi, "Pada datang jam berapa?"(4) hingga "Pada datang jam berapa?"(10.345). Alhasil, pesan tak tersampaikan lagi dengan baik. Tak ada efektifitas.

7.Kasus Copy-Paste sangat marak terjadi, entah siapa pelaku pertamanya di atas muka bumi ini. Jika diketahui pelaku pertamanya, saya akan wawancarai habis-habisan sampai dia meminta ampun pada setiap orang yang menyukai tradisi yang dibuatnya. Bayangkan saja, ketika seorang kawan berulang tahun, kemudian ada yang mengucapkan selamat dan doa, namun ternyata doa dan salamnya diCopas hingga tengah malam besoknya lagi dengan penomoran tertentu.

Sangat dikasihankan, metode berkomunikasi Copy-Paste dalam sebuah kelompok sangatlah merugikan, bahkan ini bisa menjadi satu indikator bahwa tak ada lagi Kreativitas di kalangan anak muda dalam berkata-kata. Bahkan untuk berdoa pun tidak bisa. BERDOA DI-COPY PASTE? Bayangkan saja jika sehabis shalat, akhirnya anak muda tersebut bingung mau berdoa apa, karena tidak ada doa di atasnya yang bisa dia Copas.

8. Fenomena tersebut sering terjadi di media sosial Line. Beda kasus lagi dengan WhatsApp, dimana pada grupnya jika ada yang tengah mengetik pesan akan ketahuan. Secara psikologis, ketika membaca pemberitahuan sejenak bertuliskan 'A is typing...' sang pengirim pesan sebelumnya lebih merasa tentram, karena ada yang hendak menanggapi. Namun, hal tersebut menjadi sebuah harapan palsu jika ternyata pesan yang diketik tersebut tidak kunjung keluar. Jika penyebabnya sinyal, bisa sedikit dimaklumi. Namun, jika karena memang batal karena ragu akan pesan yang disampaikan, hal tersebut sangat menyakitkan. Pada akhirnya komunikasi kelompok pun gagal.

9. Pada grup WhatsApp atau Line yang aktif pun tidak selalu aman. Komunikasi efektif dalam sebuah kelompok kembali terancam ketika pembicaraan roaming atau tidak dapat melibatkan seluruh stakeholder dalam grup yang notabene terbentuk atas dasar kesamaan tujuan kelompok tersebut.  Ini sering terjadi pada grup yang berisikan anggota yang telah lama tercerai berai. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya, "Yang lagi di Bekasi, bagaimana kondisinya?", lalu ditanggapi juga oleh yang sedang di Bekasi juga. Selanjutnya ada yang melanjutkan diskusi dengan bertanya, "Mpek-mpek yang dijual di Bekasi itu enak kan ya? Berapa sih?" hingga pernyataan, "Iya, pemerintahan Bekasi itu memang begitu. Kemarin saja saya ngurus ini ya, eh taunya begini." Akhirnya anggota lain yang tak tahu duduk masalahnya tak dapat berkomentar apa-apa, lalu diam saja, atau left chat. Ada juga yang berjiwa besar dengan menanggapi "Oh gitu ya, gila juga ya. Semoga ga kejadian di sini."

10. Hal lebih buruk sebenarnya terjadi pada grup facebook. Beberapa kelompok masyarakat atau organisasi sebenarnya sudah jarang menggunakannya karena kehadiran Line atau WhatsApp. Namun, ada juga yang masih marak menggunakannya, bahkan ada yang kembali setelah lama menggunakan Line saja. Pada grup yang sudah tidak begitu aktif lagi penggunaan facebooknya, setiap pesan yang dikirim akan seperti batu yang dilempar pada padang tandus. Dilempar, tak ada terjadi apa-apa, ditunggu-ditunggu terus hingga waktu berlalu akhirnya bosan dan ditinggalkan saja. Facebook tidak dapat melihat siapa yang telah membaca, ataupun siapa yang hendak berkomentar. Secara psikologis, ini dapat membuat sang pengirim pesan putus asa. Komunikasi kelompok menjadi satu ajang yang sadis.

11. Lain hal dengan grup kelompok masyarakat yang memang masih menggilai facebook. Ketika sebuah pesan hadir, yang berkomentar akan sangat banyak. Hingga bingung mana yang akan ditanggapi dan diluruskan. Terutama, itu terjadi pada pesan yang kontroversial. Sebagai wadah komunikasi kelompok, grup tersebut gagal.

Dari segala bias yang terjadi dalam komunikasi kelompok tersebut, satu hal yang baru bisa saya beri saran ialah, adanya peran moderator dalam kelompok tersebut. Moderator tersebut sebelumnya dipilih oleh anggota lainnya, dengan syarat satu: BERSABAR. Dengan demikian, pesan tanpa tanggapan pun bisa mengharuskan anggota lain mau berkomentar dan memberikan saran. Kasus lainnya, hanya dapat diselesaikan dengan melibatkan kesabaran masing-masing.


NB: Menurut Deddy Mulyana (2005), kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Sementara komunikasi kelompok, menurut Anwar Arifin (1984), merupakan komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainy.

Sabtu, 19 September 2015

Mengapa Nama Tempat di Sumatera Barat Di-Indonesiakan?

Sebuah pertanyaan gratis, eh maksudnya sebuah pertanyaan yang sangat membuat penasaran. Mengapa banyak tempat di Sumatera Barat yang namanya di Indonesiakan.

Kalau mau dicontohkan, mungkin lebih dari seribu, eh mungkin hampir semuanya. Contohnya:

1. Bukiktinggi, menjadi Bukittinggi
2. Payokumbuah, menjadi Payakumbuh
3. Ampek Angkek, menjadi Empat Angkat
4. Aia Tawa, menjadi Air Tawar
5. Lubuak Buayo, menjadi Lubuk Buaya
6. Tanah Data, menjadi Tanah Datar
7. Gaduik, menjadi Gadut.
8. dll, masih banyak lagi.

sumber: diknas-padang


Mungkin hanya beberapa yang tidak diubah ke dalam bahasa Indonesia. Contohnya:

1. Padangpanjang, tidak diubah menjadi Pedangpanjang.
2. Sawahlunto, tidak diubah menjadi Sawahlunta
3. Koto nan Godang, tidak diubah menjadi Kota yang Besar
4. Koto Kociak, tidak diubah menjadi Kota Kecil
5. Pulau Angso nan Duo, tidak diubah menjadi Angsa yang Dua
6. Danau Maninjau, tidak diubah menjadi Danau Meninjau
7. dll, yang tak banyak lagi.

Ini pantas dipertanyakan, karena mengindikasikan suatu ketidakpercayaan diri masyarakat Sumatera Barat, terutama pemerintah yang melegalkan penggunaan nama-nama yang ditransformasi tersebut. Padahal, nama-nama khas bahasa Minangkabau yang semula dipakai akan sangat menjual dan menonjolkan identitas Sumatera Barat itu sendiri.

Dari penggunaan nama yang ditransformasi ini, terlihat ketidakpercayaan diri masyarakat akan hal-hal yang lain pula. Akibatnya, wajar saja bila banyak kebanggaan dan kebaikan khas Sumatera Barat yang tidak tereksplor dengan baik di ranah ini sendiri. Contohnya saja cara berpakaian, alangkah jarangnya pakaian adat minang saat ini di Sumatera Barat untuk kehidupan sehari-hari. Padahal, tentu saja ini sangat menarik dan akan memunculkan potensi wisata budaya di ranah ini. Bahkan pemerintah dan pemuka masyarakat pun tidak percaya diri untuk memunculkan kebijakan tersebut.

Masyarakat juga menjadi tidak percaya diri untuk bertutur kata yang baik yang sesuai kaidah pepatah petitih yang dulu sempat berlaku di Minangkabau. Ini juga berdampak pada sistem kehidupan khas budaya dan adat Minangkabau yang penuh akan kebaikan masyarakat, yang tidak lagi jadi suatu hal yang dibanggakan oleh seluruh elemen masyarakat. Ini semua karena kurangnya kepercayaan pada diri sendiri.

Kembali ke nama-nama tadi, kita harus belajar pada daerah lain di Indonesia, yang masih percaya diri akan kekhasannya. Contohnya saja budaya dan ranah Sunda. Bayangkan bila mereka mengganti nama Cibereum menjadi Sungai Merah, atau Cikole menjadi Sungai Kole. Lihat juga nama-nama daerah di Jawa Tengah, mereka tetap menggunakan Wonosobo, Purworejo, Sukoharjo, dll. Mereka masih percaya diri, dan nama-nama tersebut melekat sebagai identitas mereka.

Kepercayaan diri pada identitas, selagi itu tidak hal yang buruk lebih baik dipertahankan. Itulah yang menunjukkan jati diri kita, dan itulah yang akan membantu menguatkan kebersamaan nanti.

Bayangkan jika terwujud zona bebas Asean nanti, mungkin nama-nama daerah di Sumatera Barat akan naik level menjadi: High-Hills, Long-Sword, Crocodile-Pool, Cage-Stone, dll.


Jumat, 18 September 2015

Pemimpin Ibarat Sopir

Jangan remehkan sopir. Sopir bukanlah suatu pekerjaan yang patut direndahkan, melainkan harus dibanggakan. Tanpa sopir, mobil tak akan berjalan. Sekalipun itu mobil otomatis (tanpa pengemudi) yang tengah dikembangkan oleh sejumlah pihak, harus ada kebijakan yang dikerahkan oleh sang pemilik kendaraan.

Sopir merupakan suatu pekerjaan yang hebat, sopir selalu terdepan dan memiliki pengikut di belakang. Sopir lebih menguasai medan perjalanan dan tahu kondisi yang dilaluinya, sopir lebih cerdas. Sekalipun memenuhi permintaan penumpang, sopir tahu kemana harus melangkah, dan itu diikuti oleh penumpang. Begitu hebatnya sopir.

Tentu saja, sopir juga harus hati-hati akan kehebatannya tersebut. Kelalaiannya akan mengakibatkan kelalaian pengikutnya. Sikap buruknya dalam berkendara akan berdampak buruk pula pada penumpang. Bayangkan saja saat mobil berjalan berbelok ke kanan, penumpang akan mengikuti sopir memberatkan badannya ke arah kiri. Begitu juga kala rem dadakan, penumpang akan mencondongkan badan ke depan, mengikuti yang dilakukan sopir.

Satu hal yang perlu dipahami sopir dari itu semua: harus siap dibentak, siap dikritik, siap dianggap tak becus, siap dilaporkan hingga kehilangan tahta sebagai sopir. Sopir harus siap akan itu semua, jika ada hal yang tak disenangi penumpang.

Demikian pula pemimpin. Pemimpin ibarat sopir. Mulai dari ketua kelas hingga presiden sebuah negara. Kekacauan yang dihasilkan oleh pemimpin akan diikuti oleh yang dipimpin sekian persen. Sebaliknya, prestasi yang diraih pemimpin juga akan menggiring yang terpimpin untuk bekerja lebih baik lagi.

Wajar bila presiden yang bobrok akan diikuti oleh kabinet yang rusak pula, sekalipun para penjabat kabinet tersebut dinobatkan publik sebagai orang mulia yang hebat dan dapat diharapkan. Ketidakbijaksanaan sikap dan omongan akan menjadi jurang dan jebakan bagi presiden karena akan membingungkan langkah para menteri. Tak hanya itu, atitud presiden pun akan menular pada anggota kabinet. Keteledoran pejabat bisa jadi karena ketidakpositifan sikap presiden.

Tak hanya kabinet, tapi juga masyarakat umum. Tak hanya kebijakan, tapi juga karakter. Ada banyak fakta yang bermunculan mengenai hal ini. Letakkan saja contohnya pada presiden Indonesia dua periode terakhir: SBY dan Jokowi.

Masa kehadiran SBY selaku presiden Republik Indonesia menjadi masa-masa kelahiran suatu sikap yang tadinya disenangi dan tak disadari orang, sekarang menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai dan dihujani kritik: pencitraan. SBY merupakan pejabat dan kemudian presiden yang hadir dengan pencitraan yang mantap. Mulai dari penampilan, hingga sikap berkomunikasi dengan pihak lain: tegas, gagah, tapi tetap santun dan terkesan penyayang.

Demikian tertular pada masyarakat dengan mencoba berkomunikasi secara lembut tapi tegas agar menuai perhatian dan cinta dari orang lain terutama lawan jenis. Gaya SBY pun jelas dipakai juga oleh para pengisi jabatan kabinet. Tutur kata penuh sopan santun dan terjaga. Ini juga menular pada sejumlah elit yang berada pada posisi pemimpin, termasuk di kampus-kampus.

Beberapa waktu berlalu, kritik mulai menetas. Ada yang mulai tak suka, hingga muncullah terminologi "pencitraan doang". Meskipun kritik mulai bermunculan, ternyata susah untuk tidak mengadopsi gaya kepemimpinan SBY, sekalipun yang mengadopsi tak menyukai sosok tersebut. Karena, zamannya memang menjadi begitu. SBY merupakan 'sopirnya', meskipun penumpang tak suka, sopir bisa membuat penumpang memberatkan badannya ke arah kiri tanpa paksaan ketika sopir berkehendak.

Lihat pula beda gaya Jokowi. Lahir kontroversial dengan gaya yang sedikit nyeleneh dan simpel dari jabatan wali kota dan gubernur, sosok Jokowi menjadi sebuah panutan baru. Orang-orang yang benci dengan "pencitraan doang" menyukai perangai Jokowi yang langsung bertindak dan bekerja tanpa banyak obrol dan omongan santun penuh citra baik. Keluguan dan kelugasannya dicintai banyak orang. Masyarakat pun bangga mencontohnya, sekalipun itu pemimpin organisasi kemahasiswaan yang harusnya penuh kritik.

Layaknya SBY, aksi Jokowi pun tetap berpengaruh pada masyarakat kendati sudah mulai banyak yang sadar akan "pencitraan doang" dan mulai mengkritik. Banyak masyarakat yang masih mengadopsi gaya kepemimpnan semi-bebas gaya Jokowi. Mereka menilainya itu merakyat. Akhirnya gayanya diadopsi.

Namun, semua menjadi lucu ketika kebobrokan kebijakan pemerintahan Jokowi juga terjadi pada organisasi pemuda. Pernyataan yang tumpang tindih dan tidak bertanggung jawab banyak bermunculan pada pemuda sebagai penggerak perubahan. Senantiasa bekerja tapi minim diskusi ternyata banyak menyesatkan gaya kerja organisasi pemuda. Ini pun terasa menyusahkan bagi penumpang pemerintahan.

Sayangnya, banyak pemimpin termasuk presiden tidak sadar akan posisinya yang strategis dan berdampak pada pengaruh terhadap kebiasaan masyarakat. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia adalah 'sopir' yang membawa penumpang ke sana ke mari dengan berbagai ketentuan dan tetap tidak sombong. Selayaknya sopir, seorang pemimpin harus mampu mengemudi dengan baik dan menjaga komunikasi. JIka ingin kencang atau lambat, beri tanda-tanda dulu kepada penumpang.

Demikianlah, sopir memang tak pantas direndahkan. Bayangkan jika sopir nanti ternyata memberi dampak ynh buruk di perjalanan, penumpang pun mau tidak mau akan terlibat. Jadi, seorang sopir harus menjaga komunikai dan menjaga wibawanya agar tak serta merta menjadi contoh. Untuk itu, mari kita hargai sopir, karena hanya sopir yang berani menentukan dan mengendalikan mobil di mana penumpang mau. Hanya sopir SBY yang mampu membawa mantan presiden tersebut berkeliling-keliling hingga ke tempat yang tepat. Hanya sopir Jokowi yang dipatuhi oleh Jokowi sebagai pemimpin yang membawanya ke arah tempat yang diiminta.
Powered By Blogger