Sabtu, 28 Januari 2017

Social Learning di Balik Ikan ‘Tongkol’


Video itu tak hentinya menjadi bahan pembicaraan netizen, tak sedikit pula yang berulang-ulang menontonnya dan kembali tertawa terbahak-bahak. Viral di media sosial, nama sebuah ikan pun menjadi tenar dan menjadi alat percandaan masyarakat hampir semua kalangan. 

Memang, tanpa memikirkan apa-apa terlalu berat dan mendalam, video anak yang salah menyebutkan nama ikan ketika ditanya oleh Presiden Joko Widodo di sebuah panggung tersebut sangat kocak. Apa lagi didukung oleh pembawaan Presiden RI yang sangat santai menanggapi apa yang disampaikan siswa sekolah dasar tersebut. 

Namun, jika kita sedikit ingin merenung dan berpikir, kata-kata yang tersampaikan itu sangat jauh dari nilai akhlak dan norma positif yang semestinya ditanamkan dalam proses pendidikan. Pertama, kata-kata tersebut sangat vulgar. Kedua, disampaikan di hadapan umum, bahkan kepada seorang presiden. Ketiga, disampaikan oleh seorang siswa sekolah dasar. 

Menurut Philip Atkinson (1969), moralitas adalah pemahaman dan keyakinan mengenai mana yang benar (apa yang sebaiknya dilakukan) dan mana yang salah (apa yang jangan dilakukan), sehingga dapat mengendalikan setiap tindakan yang dilakukan. 

Kemudian menurut Undang-undang no. 20 tahun 2003 pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Di samping itu pada pasal 31 ayat 3, dalam undang-undang yang telah diamandemen juga menuturkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 

Di sana jelas bahwa pendidikan bertujuan luhur membentuk dan memelihara akhlak atau moral mulia setiap manusia Indonesia, yang artinya ada keyakinan dan pemahaman untuk bertindak dengan pemilahan mana yang baik mana yang salah. Terkait video tersebut, dapat kita pahami bahwa kata-kata yang terlompat tidak sengaja oleh anak tersebut tidak pantas dan menyalahi akhlak mulia serta moralitas yang seharusnya dididik di sekolahnya. 

Namun mengapa bias terjadi hal yang mengejutkan tersebut? Mengapa anak seusianya dengan lancar dan lugas menyebutkan nama alat kelamin laki-laki tersebut ketimbang nama ikan yang semestinya menjadi bagian dari objek yang diajarkan di sekolahnya? Tentu saja, kata-kata ‘porno’ dan kasar tersebut tidak diajarkan oleh gurunya di sekolah. 

Pembangunan karakter anak tidaklah ampuh dengan cara tunggal di sekolahnya saja. Selain proses belajar mengajar di sekolah, dia juga menempuh banyak zona yang perlahan mengonstruksi kepribadian dan perilakunya. Dia punya lingkungan tempat tinggal, lingkungan pertemanan, hingga media yang dinikmatinya sejak dini, seperti televisi dan media sosial. Bahkan, orang tuanya sendiri pun menjadi faktor pembangunan karakternya. 

Albert Bandura dengan teori Pembelajaran Sosial yang dikemukakannya menyebutkan bahwa hampir semua manusia belajar dengan mengamati secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari teori ini adalah pemodelan, yang menjadi salah satu langkah penting dalam pembelajaran. 

Oleh karena itu, video yang mengundang tawa tersebut jika disaksikan secara cermat semestinya menyadarkan bahwa ada proses pembelajaran yang tidak tepat tengah menimpa anak yang menjawab pertanyaan presiden tersebut. Patut diduga bahwa dia sudah terbiasa menyebut kata-kata vulgar tersebut dalam kesehariannya. 

Tak dapat dipungkiri lagi, berbagai fenomena dunia nyata dan dunia maya dewasa ini memang sedang mengarahkan generasi seusianya kepada hal yang tak diharapkan. Sengaja atau tidak. 

Bisa kita lihat di media sosial seperti Instagram yang dapat diakses oleh orang usia berapapun, meskipun ada aturan usia yang ditetapkan oleh pengelolanya, yang dapat dengan mudah dikelabui oleh siapapun. Media sosial ini semakin liar menyajikan gambar-gambar serta kata-kata yang menjadi pembelajaran bagi generasi muda. 

Kalaupun tidak langsung menyerang pikiran anak-anak, ada proses lain yang terjadi di mana generasi remaja awal lah yang menjadi tak terkontrol dalam berpikir dan bertindak akibat terlalu sering menyimak konten-konten vulgar tersebut. Dalam interaksi langsung, merekalah yang memberi pengaruh buruk pada adik-adiknya.

Hendaknya video tersebut menyadarkan kita semua, dan tentu saja masih ada pesan lain yang dapat kita serap dan pahami jika mampu mencermatinya lebih baik lagi. Masih ingat slogan Presiden Joko Widodo? “Revolusi Mental!”, maka seharusnya kita berharap mental-mental pikiran porno pada anak usia dini juga dapat dimusnahkan.

Rabu, 19 Oktober 2016

Kelas Kesombongan

Ada pelajaran baru lagi, yang sebenarnya bukan pelajaran baru. Mungkin sejak kecil sudah saya pelajari, tapi baru ini saya tuliskan di blog. Makanya, ini jadi pelajaran baru.

Apa itu? Kesombongan. Lebih detilnya, kesombongan akan pendidikan yang dicapai.

Tepat malam ini, saya bertanya-tanya apakah ada mata pelajaran, mata kuliah, jurusan atau bidang keilmuan tentang kesombongan?

Saya bertanya-tanya, mengapa orang-orang  yang katanya berpendidikan justru jadi menyombongkan di mana dia belajar, dan merendahkan orang yang belajar di tempat tertentu, atau orang yang hanya sampai pada satu tingkatan tertentu?

Padahal, saya punya banyak pengalaman menemui orang-orang sukses dan mampu berkontribusi banyak, justru dari kondisi pendidikan yang mungkin saja jadi konten pandangan sebelah mata bagi mereka yang mengaku berpendidikan.

Ada orang yang SD saja tidak lulus, tapi bisa jadi profesor. Ada orang yang dikeluarkan dari kampusnya, tapi justru mampu memberi dana beasiswa untuk belajar di universitas ternama. Ada orang yang lulusan SMP tapi bisa menguasai IT dan menolong orang-orang membuka lahan pekerjaan melalui website. Ada orang yang... seperti Mark Zuckerberg.

Apalah arti pendidikan, jika hanya jadi bahan untuk menyombongkan pola pikir, hafalan teori serta kajian-kajian yang katanya ilmiah dan empiris. Mereka mungkin lupa, siapa Pemilik Sejati otak-otak tersebut.

Mereka harusnya malu, bila strata pendidikan yang mereka sombongkan tidak bisa berbuah apa-apa untuk perubahan menuju hidup yang lebih baik. Tiada satu teoripun yang berdampak baik bagi orang lain. Malulah pada orang yang bisa bermanfaat di mana-mana dengan pola pikir yang baik, meskipun tak mengenyam bangku pendidikan yang disombongkan banyak orang.

Lalu, mengapa bisa terjadi kesombongan pada orang-orang yang menyombongkan keberpendidikannya tersebut? Apakah mereka telah mengambil mata kuliah ekstra di Kelas Kesombongan seusai masa pendidikan mereka?

Kelas Kesombongan, salah satu kelas luas di atas muka bumi ini, yang menyebabkan para pelajarnya melupakan siapa Pencipta permukaan bumi tersebut. Kelas ini terbagi dua konsentrasi, konsentrasi kritis, dan konsentrasi konstruktif. 

Selasa, 18 Oktober 2016

Melawan Si Botak Yang Melawan Arus




Ini cerita tadi malam, saat saya diantar teman ke tempat pencarian angkot untuk pulang ke rumah.

Setibanya di lokasi (bukan terminal, tapi tempat terdekat yang dilalui angkot), saya turun dari mobil. Sehabis pamit saya jalan mengambil langkah ke sisi jalan untuk menyeberang dan melalui sisi belakang mobil.

Saat tiba akan menyeberang, tiba-tiba seseorang dengan sepeda motornya lewat di depan saya secara mengejutkan dan kecepatan tinggi. Dia melawan arus, tapi tetap memakai helm, helm alami (botak pelontos). Beruntung saya yang sudah belajar ilmu ninja berdetik-detik dengan menonton televisi bisa bergerak cepat.

Karena terkejut, saya sedikit kesal, sepersekian detik saat orang tersebut berhasil melintas di depan saya, saya merespon dengan nada kesal bercampur kaget dengan mengatakan "MANTAP!"

Lalu apa yang terjadi?

Bapak tersebut berhenti, dan memanggil saya. Saya pun menoleh dan mendatanginya. Singat cerita, berikut percakapan saya dengannya:

B = Botak
G = Ganteng

B: Anggota Kau? Ha? Anggota Kau?
G: Anggota? Bukan, Ambo warga biaso Pak!
B: Trus ngapai sebut-sebut "MANTAP!"? Kurang ajar Kau.
G: Loh, Ambo dek ndak suko Apak lewat melawan arus, dan membahayakan urang. (Loh Saya memang karena tidak suka Bapak jalan melawan arus, ini membahayakan orang)
B: Emang kanai? Ndak kan? (Emang kena? Tidak kan?)
G: Emang ndak, tapi iko salah, dan bahayo Pak. (Emang tidak, tapi ini salah dan berbahaya Pak)
B: Ya terus ngapain sebut-sebut "MANTAP"?
G: Lah itu kan ekspresi saya, saya terkejut!
B: Ekspresi-ekspresi kata Kau! Bikin masalah aja Kau.
G: Loh Apak yang salah melawan arus! (Loh Bapak yang salah, melawan arus)
B: Berani Kau? Tanding ajo lah kito satu-satu di sini

Dia bergerak ingin menepikan motornya dan akan turun. Saya langsung merespon.

G: Alah Pak, stop! Awak ndak nio kalau mode tu, awak laporkan Apak beko lai? Awak warga sipil bisa melapor Pak! (Sudah Pak, Stop! Saya tidak suka cara begitu. Bapak mau saya laporkan? Saya warga sipil, bisa melaporkan Bapak!)
B: Yolah pergi kau sana!
G: Oke Pak!!

Saya pun perlahan menyeberang, sementara Bapak tersebut menuju sebuah kafe yang menjual nasi goreng. Sepertinya dia mau membeli shushi.

Ini kesekian kalinya saya ribut dengan orang yang lebih tua di jalanan. Dan kali ini, sepertinya dia militer. Tak masalah, sebelumnya saya sering ribut dengan polantas. Dan itu menyenangkan.

Mengapa menyenangkan? Mereka lucu ketika emosi, saya pun tertawa dengan cara saya membantah dan berakting, barangkali jika ada kawan yang menonton, dia pun menertawakan saya.

Tujuannya sederhana, saya ingin melawan kesemena-menaan akibat kesombongan karena merasa lebih hebat, dan kedua saya ingin melampiaskan emosi akibat lelah berkegiatan sehari-hari, sambil melatih retorika.

Namun, saya hanya sering melakukannya kepada orang yang lebih tua. Karena mereka jadi lucu ketika sudah jelas-jelas salah, tapi masih ingin terlihat benar dan salah, di depan orang yang lebih muda. Padahal sebenarnya, mengakui kesalahan jauh lebih dewasa dan bijaksana. Saya pun begitu kepada orang yang lebih muda. Alangkah malunya jika terpergok salah oleh yang lebih muda, tapi lebih malu lagi jika berbalik memarahi mereka. Sebaliknya, kepada yang lebih muda, jika mereka salah, saya lebih memilih mengajak diskusi.

Sekian. Terima kasih.

(Ini cuma blog, bukan website pemerintah. Jika ada yang kurang tepat, jangan laporkan apalagi didemo, sampaikan saja di kolom komen yang tersedia)

Sabtu, 15 Oktober 2016

Sederhananya Perihal Ahok

Akhirnya saya memutuskan untuk menulis di blog pribadi, karena menyimak banyaknya rekan-rekan yang mengeluhkan isi home facebook mereka, terkait sejumlah share-share-an berita yang katanya jauh dari kata ketenteraman. Salah satunya mungkin perihal Ahok, salah banyaknya ada juga.

Saya putuskan untuk menulis di blog saja, berharap teman-teman di Facebook bisa memilih, akan membaca tulisan saya ini atau tidak. Karena, nantinya akan saya share juga, tapi tentu yang muncul hanyalah judul dan paragraf awalnya. Jika ingin baca, persiapkan mental yang baik. Jika tak sengaja membuka, mungkin bisa belajar memahami sedikit demi sedikit. Jika benar-benar tak ingin membaca, ya silakan, asal jangan justru menebar ketidaksukaan pula pada orang yang dicap menebar ketidaksukaan.

Di sini saya hanya ingin membahas sedikit perihal Ahok yang sepekan ke belakang namanya semakin ramai disoraki warga sekampung Indonesia, karena omongannya yang tak terjaga. Lain kali mungkin saya bisa bahas sederhananya persoalan yang lain dari sudut pandang saya sendiri.

Persoalan terkait Ahok sebenarnya sangat sederhana, tapi banyak orang merumitkannya, terutama yang tidak mengerti dan tak mau mengerti. Pertama, hal ini disampaikan oleh Aa Gym dalam obrolannya di program Hitam Putih, yaitu Surat Al-Maidah 51 merupakan ayat yang menyerukan umat Islam untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin (sebagian orang memilih tafsiran awliya sebagai teman, tapi esensinya tak jauh beda jika dikaji lagi).

Karena ini bersumber dari Alquran, jelas ada hukum yang berlaku. Sejauh yang saya pelajari (saya tak akan cantumkan sumber referensinya, karena lupa dan malas mencari), apa yang tercantum di Al-Quran mengandung perintah dan larangan, yang artinya di sini ada perihal halal dan haram.

Dengan demikian, seluruh muslim harus paham dan sadar, larangan memakan babi yang tercantum dalam Al-Quran sama dengan larangan lainnya, statusnya sama-sama larangan. Yang berbeda ialah intensitas Allah menyebutkan larangan tersebut yang tercantum di dalam Al-Quran.

Jika dikaji lagi, larangan itu sama dengan perintah untuk tidak melakukan. Kesamaannya dengan shalat 5 waktu ialah sama-sama perintah. Yang satu perintah untuk shalat 5 waktu sehari semalam, yang kedua perintah untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin. Artinya, hal tersebut harus dipatuhi oleh umat Islam. Itu kuncinya.

Kondisinya sekarang, banyak orang yang seperti tidak mengetahui keberadaan ayat tersebut, saudara kita yang sesama muslim tersebut dengan senang hati mendukung dan ingin memilih Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Maka dari itu, banyak pihak yang mengingatkan perihal ayat tersebut. Dan ternyata, bukan hanya A-Maidah ayat 51 yang memerintahkan untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin.

Seruan dari banyak pihak itulah yang diinterpretasikan oleh banyak orang yang sepertinya tidak mengetahui, bahkan Ahok sendiri sebagai sebuah cara-cara yang tidak menyenangkan untuk tidak memilih pria asal Belitung tersebut. Sehingga ada omongan yang tidak terkontrol, yang mengandung buruk sangka terhadap orang-orang yang menyerukan.

Perlu dipahami lagi, adalah penting bagi sesama muslim untuk saling mengingatkan. Dan, banyak yang mengingatkan perihal ayat tersebut. Sementara Ahok dengan sempit menginterpretasikan bahwa penyuaraan ayat tersebut hanyalah trik orang-orang tertentu untuk membohongi warga, agar tidak memilihnya menjadi gubernur kembali. Dia menggeneralisasikan sejumlah banyak individu, yang padahal banyak yang menyuarakan juga, tapi sama sekali tidak ingin ikut dalam Pemilu (Artinya dia tidak ada afiliasi partai atau calon tertentu).

Maka, ketika Ahok menggeneralisasikan satu persoalan dengan menujukannya pada orang lain, wajar ada banyak yang marah dan kemudian mengekspresikan kemarahannya yang mungkin tertahan selama ini kepada Ahok karena sikap-sikapnya yang lain (yang mungkin masih bisa dimaafkan dengan kesabaran).

Di samping perintah dan larangan yang merupakan landasan yang bersumber langsung pada azas Ketuhanan (Tauhid), ada landasan logis yang juga dipakai muslim lain untuk tidak memilihnya karena faktor agama. Sebagaimana yang juga disampaikan oleh Aa Gym, ada kekhawatiran bagi muslim mayoritas jika Ahok atau siapapun gubernur non-muslim yang terpilih tidak memahami kebutuhan umat muslim secara ritual dan spiritual.

Barangkali nanti memang ada bantuan berupa fasilitas, tapi warga menyangsikan bila ada kegiatan penting yang mendukung ketaqwaan mereka tidak mendapat ruang kebebasan oleh sang gubernur non-muslim. Hal ini sudah terbukti dengan dilarangnya pawai-pawai perayaan Hari Besar Islam dengan alasan-alasan tertentu, sementara acara hura-hura lain dipersilakan dengan segala kebijakan.

Wah, penjelasan sederhananya ternyata panjang. :D

Tapi sebenarnya memang sederhana, jika Ahok tidak melontarkan kata-kata yang blunder tersebut (yang katanya diedit untuk mempermainkan impression dan interpretation khalayak). Sederhana, karena orang-orang menyuarakan (mengingatkan) kepada sesama muslim, agar tidak memilih Ahok, karena faktor agamanya.

Ingat, dan perlu digarisbawahi, orang-orang baru mengingatkan untuk tidak mendukung dan memilih Ahok. Mereka belum menyerang dan menuntut Ahok untuk tidak mencalonkan diri, atau KPU untuk tidak menerima pencalonan Ahok, atau bahkan meneror muslim yang telah mendeklarasikan mendukung Ahok. Artinya, tidak ada pemaksaan di sana.

Ahok silakan mencalonkan diri, dan yang seiman dengannya silakan memilihnya. Itu wajar dan tak ada larangan. Tapi bagi muslim, ada satu perintah yang tersurat jelas. Dan, ini merupakan satu pengimplemntasian ajaran Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Tapi, mengapa banyak yang meneriakkan bahwa ada politisasi agama? Setelah dikaji, siapa yang sebenarnya mempolitisasi agama?

Warga justru hanya menuruti apa yang dimaknai oleh Pancasila sila pertama, yaitu perihal ketuhanan, dan mereka memutuskan untuk mengimplementasikannya dengan mematuhi ajaran agamanya, yakni tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai muslim, dan mengingatkan sesama muslim Salahkah mereka? Adakah politisasi di sana?

Ketika ada orang yang mengkaji hal tersebut sebagai aksi yang bersifat politis, apakah orang itu bebas dari politisasi? Tentu tidak, dia telah mempolitisasi ketidakberagamaan untuk kepentingannya dan kelompoknya.

Demikianlah,tulisan ini dibuat hanya sambil bersiul, dan semoga bisa rutin menulis di sini saja. Meskipun pembacanya kemudian segmentatif, saya masih berharap ada banyak orang yang mau belajar, dan melihat sudut pandang yang dibagikan oleh saudaranya sebagai sebuah nasihat untuk kemudian dipelajarinya, serta mencari cara terbaik untuk kemudian dia ikut berbagi nasihat. Bukan justru ikut meredam semangat dengan menampilkan ketidaksukaan pada cara yang dilakukan saudaranya, tanpa menyerap esensi yang ada.

Selasa, 30 Agustus 2016

Inovasi Sumatera Barat, Jadikan Cokelat Komoditi Oleh-oleh Favorit Mutakhir

Sumatera Barat merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang dikenal dengan beberapa kekhasannya. Salah satunya rendang, jangan tanya lagi apa itu rendang, jika kamu orang Indonesia. Bahkan dunia internasional saja sudah sangat mengenal rendang.

Terkenalnya rendang yang merupakan makanan khas Sumatera Barat, juga menjadi salah satu indikator bahwa provinsi ini memiliki identitas pada ranah kuliner. Ya, banyak orang Indonesia yang menyukai makanan-makanan khas Sumatera Barat, yang biasa diistilahkan dengan “Nasi Padang”. Selain itu, cita rasa pedas dan berminyak pun menjadi sebuah ciri makanan daerah ini, terbukti dengan adanya keripik balado, ayam balado, gulai ikan, dan lain-lain.

Namun, rupanya provinsi tempat berkembangnya cerita rakyat “Malin Kundang” ini tidak hanya berpotensi pada makanan peda dan berminyak, apa lagi yang diolah secara rendang (dengan parutan kelapa, cabe, minyak, dan rempah-rempah). Ada satu potensi yang kini tengah menginovasi di Sumatera Barat. Apa itu?


Video penjelasan potensi cokelat Sumatera Barat, yang dibuat oleh penulis bersama tim bekerja sama dengan pulangkampuang.com dan UKM ITB


Dialah cokelat, makanan lezat yang disukai oleh orang sedunia. Cokelat, berasal dari buah kakao, yang ternyata dapat tumbuh dengan baik di hampir seluruh wilayah provinsi Sumatera Barat. Provinsi ini memiliki 12 kabupaten dan 7 Kota, semuanya berpotensi sebagai area pemeliharaan dan pengembangan tanaman kakao.

Kualitas tanamannya pun luar biasa, buahnya besar dan bagus, serta sangat baik untuk diolah menjadi cokelat yang dapat dikonsumsi sehari-hari. Buah yang terbaik itu ada di Kabupaten 50 Kota, karena petaninya telah mendapatkan pengetahuan cara budidaya yang baik, dan sudah menerapkannya beberapa tahun belakangan semenjak tahun 2011. Bahkan, sebuah kabar baik mengatakan bahwa hasil kakao dari kabupaten ini terdaftar dalam 50 kakao dengan citarasa terbaik se-dunia, dalam perlombaan di Paris, Perancis, tahun 2015 silam.

Setelah itu ada Kabupaten Padang Pariaman yang pertama kali memulai pengembangan tanaman kakao beserta hasil olahannya. Selanjutnya ada Kota Batusangkar, Kota Padang Panjang, dan Kota Padang.

Mesin Pabrik - Salah satu mesin di pabrik mini pengolahan
cokelat yang berada di Kecamatan Sintuak Toboh Gadang,
Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Lalu di mana inovasinya? Tentu saja ada pada pengolahan hasil tanaman kakao tersebut. Hasil terbaik kakao sebagai kekayaan nusantara hendaknya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, tidak lagi dijual secara tradisional, tapi mestinya diolah dengan baik dan tepat, agar mendapatkan keuntungan yang lebih bagi masyarakat terutama petani. Tekonologi yang dimanfaatkan menjadi inovasi daerah yang patut disyukri.

Semenjak Gamawan Fauzi masih menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat, pemerintah provinsi ini sudah mencetuskan semangat untuk pengembangan potensi kakao. Sekitar tahun 2005, Provinsi Sumatera Barat dicanangkan sebagai Pusat Pengembangan Kakao untuk Wilayah Indonesia Bagian Barat. Saat itu, luas lahan tanaman kakao Sumatera Barat jika ditotalkan mencapai 25.042 Ha, yang dominan merupakan kebun rakyat (23.188 Ha) dan hanya 1.854 Ha milik swasta. Potensi tersebut mampu menghasilkan 14.068 ton biji coklat setiap tahunnya.

Inilah yang membuahkan inovasi awal dalam pendatangan mesin pengolah kakao untuk menjadi cokelat siap saji. Pada mulanya mesin-mesin disebar ke tiga daerah, yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Pasaman. Namun, sejauh ini yang telah diketahui berjalan dengan baik ada di Kota Payakumbuh, dengan hasilnya yang diberi brand “Cokato”, yaitu akronim dari Cokelat Kapalo Koto.

Pengemasan - Salah satu proses pengolahan hasil tanaman
kakao menjadi cokelat, yaitu pengemasan. Ini tahap yang
sangat penting dalam tujuan memasarkan produk yang dapat
jadi unggulan daerah ini. 
Hasil olahan kakao di Kota Payakumbuh tersebut dinobatkan menjadi yang terbaik di Sumatera Barat oleh Pemprov Sumbar pada tahun 2013. Hasilnya, cokelat hasil olahan daerah ini sering kebanjiran permintaan, yang bisa mencapai ratusan kilogram setiap hari. Tampaknya asset mesin pengolahan cokelat yang harganya mahal tersebut merupakan anugerah yang sangat bermanfaat bagi para petani kakao.

Tentu saja, ada banyak manfaat yang dipetik dari pemberian aset mesin tersebut oleh pemerintah. Dari satu pabrik dengan mesin-mesin yang dimilikinya, akan banyak potensi yang dapat dikembangkan sebagai inovasi daerah. Pertama, manfaat yang paling dirasakan ada pada para petani kakao yang semakin terdorong untuk bertani dengan baik.

Dengan latar belakang pendidikan dan pemahaman teknologi yang terbatas, sebelumnya petani cenderung bertani seadanya, yakni menanam lalu menjual hasilnya kepada penadah, itupun jika buah dan bijinya bagus. Hasil yang terjual tersebut dijual dengan harga yang tidak tinggi, bisa mencapai Rp5000 untuk 1 kg biji, paling tinggi sekitar Rp27.000 per kg biji. Selanjutnya hasil tersebut dijual kepada pihak yang tidak tahu siapa mereka.

Namun, dengan adanya pabrik mini dengan mesin pengolahan cokelat yang dihibahkan oleh pemerintah, petani seakan mendapat alasan untuk meningkatkan kualitas dan penjualan hasil tanaman kebunnya tersebut. Kebiasaan pengolahan yang sebelumnya biasa saja, kini disertai dengan proses fermentasi, sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi, yakni mencapai Rp40.000 per kg.

Pasta Lunak - Mesin-mesin yang tergabung dalam kelompok
mesin pengolah cokelat menjadi pasta lunak. Rangkaian
mesin ini digunakan setelah pengolahan biji menjadi pasta
keras selesai pada rangakaian mesin sebelumnya. 
Ya, perlu diketahui, untuk dapat diolah menjadi cokelat yang lezat dan kualitas yang baik, biji kakao harus mengalami fermentasi terlebih dahulu. Namun, hal tersebut sebelumnya belum dilakukan oleh petani akibat belum adanya wadah jelas sebagai alasan mengapa harus ada fermentasi. Kehadiran mesin pengolah cokelat pada beberapa titik di daerah Sumatera Barat, seakan memberi satu pandangan baru bagi petani untuk mendapatkan pemasukan yang lebih, meski harus menunggu waktu sekitar 5-6 hari lebih lama untuk melakukan fermentasi sebelum biji dijual dan diolah. Terang saja ini menjadi harapan besar bagi petani untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Manfaat selanjutnya ada pada produk yang dihasilkan, yaitu cokelat, dalam berbagai bentuk sajian seperti bubuk untuk minuman, permen, cokelat batangan, dan untuk adonan makanan lainnya. Ini tentu menakjubkan, hasil pertanian lokal ternyata bisa menjadi produk yang selama ini menjadi favorit banyak kalangan. Tentu saja, ini menjadi potensi yang besar bagi pendapatan daerah.

Hasil olahan yang menjadi produk cokelat tersebut pastinya menghadirkan satu ciri khas dari daerah tersebut. Pemikiran yang terlintas ialah “Cokelat ini asli dari Sumatera Barat!” dan jika sudah demikian, banyak sektor yang juga bisa tertopangi dengan lebih baik. Salah satunya sektor pariwisata yang juga sedang dikembangkan pesat oleh pemrpov Sumbar. Dengan adanya produk khas yang beragam (tidak hanya keripik dan makanan pedas tradisional lainnya), tentu aka nada variasi yang bisa dibawa dari Sumatera Barat sebagai destinasi wisata. Apa lagi, cokelat merupakan makanan yang dianggap sangat modern dan mengglobal. Pasti keren!

Kemasan - Salah satu produk yang
dikemas dan dipasarkan dengan brand
"Adam Cokelat"
Dan, ya, itu memang sudah dilakukan oleh beberapa produsen yang telah menggeluti produksi cokelat ini. Salah satunya pabrik mini cokelat di Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, dengan produknya bernama Adam Cokelat. Setiap perhelatan kebanggaan Sumatera Barat “Tour de Singkarak” berlangsung, pengelolanya yang berkoordinasi langsung dengan pemerintah setempat senantiasa menyalurkan produk-produk cokelat kepada para peserta tour yang merupakan masyarakat mancanegara. Tentu ini sangat membanggakan. 

Adam Cokelat, juga ternyata menjadi sebuah brand produk pertanian kebanggaan Kabupaten Padang Pariaman. Selain dijajakan langsung di pabrik mini di Sintuak Toboh Gadang, produk Adam Cokelat pun disalurkan ke beberapa tempat seperti Cafe Rindu yang dimiliki oleh pengelola pabrik, meski berlokasi jauh dari pabrik.

Ice Chocolate - Minuman Cokelat dingin merupakan
satu produk yang dapat disantap pada sebuah
gerai penyedia hasil olahan kakao Padang Pariaman,
Sumatera Barat, yaitu Lapau Cokelat. 
Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman memberikan sejumlah kesempatan bagi pihak "Lapau Coklat", sebuah brand kedai yang memperdagangkan hasil olahan asli daerah tersebut. Nama yang jelas tersebut membuat orang-orang tahu, bahwa tempat untuk menikmati khasiat dan kelezatan kakao Sumatera Barat ada di Lapau Coklat. Dengan menjajakan produk yang sama, Adam Coklat, kedai ini mampu meraup keuntungan dengan dominan pembeli dari luar negeri seperti dari Cina dan India. 

Upaya pendukung sektor pariwisata, itulah yang menjadi sasaran empuk bagi setiap daerah yang mengembangkan pengolahan cokelat Sumatera Barat ini. Sebagaimana yang juga ditargetkan dan diprogramkan oleh cokelat olahan pabrik mini Bungus Agro yang dikelola oleh Gabungan Kelompok Tani Kelurahan Bungus Timur, yang berada di Kecamatan Bungus, Kota Padang. Dengan pabrik yang baru berdiri dan beraktivitas kurang dari setahun, produk yang dikembangkan memiliki brand “Taraso”.

Pabrik Mini - Gedung rumahan kecil tempat bernaungnya
mesin-mesin pengolah kakao yang dipakai oleh Gapoktan
Bungus Agro, yang memproduksi cokelat dengan brand
"Taraso".
Bicara rasa, wah, saya sebagai penulis sedikit ragu. Saya ragu untuk menjelaskan bagaimana luarbiasanya kelezatan cokelat asli tanah Sumatera Barat, dan diolah oleh orang lokal pula. Saya takut tak cukup kata-kata untuk mendeskripsikannya. Aduh, terdengar ‘lebay’ ya? Tapi, ya memang begitu adanya. Anda wahai pembaca silakan coba sendiri, ini adalah buah surge dunia yang ada di tanah Indonesia!

Mungkin perlu sedikit dijelaskan juga mengenai cita rasa cokelat ini. Dengan tersedianya mesin pada pabrik mini yang dialokasikan oleh pemerintah tersebut, masyarakat tani atau pengelola ternyata mampu mengolah buah kakao menjadi kuliner cokelat yang kualitasnya sesuai harapan, bahkan jauh di atas makanan cokelat yang dijual pada umumnya, termasuk yang katanya diimpor dari luar negeri.

Dengan mesin-mesin tersebut, buah kakao diolah sebagaimana mestinya santapan cokelat yang sehat, bergizi, bahkan mengobati, dan minim resiko penyakit. Persoalannya, ternyata cokelat-cokelat dikonsumsi di Indonesia yang bersumber dari produk impor dari luar negeri selama ini, kebanyakan bukanlah menyerap elemen terbaik dari biji kakao. Tak hanya itu, lemak yang dicampur untuk pengolahannya bukanlah lemak asli cokelat yang didapat dari proses fermentasi. Produk cokelat mainstream yang dipasarkan saat ini hampir semuanya menggunakan campuran lemak nabati (bukan cokelat) dicampur dengan gula yang sangat banyak.

Cokelat Sehat - Dengan kandungan gula yang sedikit diban-
ding produk cokelat pasaran lainnya, serta komposisi cokelat
yang dominan, makanan ini diyakini sangat sehat, dan tidak
beresiko jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. 
Memang ada beda rasanya? Jelas! Setiap kita harus bisa mencoba hasil olahan yang sebenar-benarnya cokelat dari buah kakao, mana yang sudah mengalami banyak campuran-campuran termasuk kadar gula yang banyak. Ada perbedaan kelezatan dan kegurihan yang dapat dibandingkan. Maafkan saya yang belum bisa mempersuasi imajinasi pembaca sekalian. Untuk referensi, penulis hanya bisa memberi gambaran cokelat dari Singapura yang biasa jadi oleh-oleh. Maaf, rasanya lebih enak dari itu!

Dan perlu kita pahami lagi bahwa makanan atau minuman cokelat yang menurut beberapa artikel luar negeri sangat menyehatkan, memanglah menyehatkan. Ada kandungan obat alami di dalamnya. Namun, itu berlaku untuk olahan yang sebenar-benarnya atau dominan cokelat, bukan yang sebagian besar kemanisannya dari gula buatan, dan campuran lemak buatan pula.

Maka dari itu, tak ada istilah lain selain “Incredible!”  untuk menggambarkan potensi inovasi yang masih terus dikembangkan oleh Sumatera Barat ini. Dengan luas tanaman kakao yang memadai, disertai mesin pengolah yang direncanakan terus mengalami penambahan, taka da keraguan bahwa hasil pertanian Sumatera Barat akan menjadi komoditi terbesar di daerah ini, dan bisa dimanfaatkan tak hanya untuk masyarakat setempat, tapi juga untuk Indonesia!

Segala inovasi yang ada tentu bertujuan demi taraf hidup yang lebih baik lagi. Sangat diharapkan bila hasil-hasil yang ditunjukkan oleh pabrik-pabrik yang sudah ada dapat memberikan nafas lega dan senyum lebar bagi petani, apa lagi jika mampu mendatangkan investor dan donatur, yang akan bersama membantu kebutuhan masyarakat dalam pemanfaatan tanaman kakao ini.

Semoga, semoga dan semoga, kabar baik yang beredar ini mampu memotivasi semua daerah di Indonesia. Pastinya, semua harapan muncul membutuhkan optimisme yang kuat dan kerja sama antara kita semua. 

Artikel ini diikutsertakan pada Kompetisi Menulis Blog Inovasi Daerahku - https://www.goodnewsfromindonesia.id/competition/inovasidaerahku


Kamis, 05 November 2015

Besok Kamu Harus Datang ke Wisudaan Aku


“Eh, kamu harus datang ke wisudaan aku ya, awas kalo nggak”

Kutipan di atas merupakan bagian dari dialog sebuah pertemanan yang salah satunya akan diwisuda, dan satunya lagi belum diwisuda. Bukan hal yang aneh lagi kalau dalam suatu pertemanan ada yang wisuda duluan dan ada yang tidak duluan.

Namun, sebagai warga negara yang memegang dasar negara yang salah satu poinnya “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, itu jelas tidak adil. Mengapa?

Kejadian seperti ini menimbulkan rasa tanggung jawab akan janji seorang kawan terhadap kawan lainnya untuk hadir di wisudaan dan memberi kado berupa bunga atau yang lain, lalu berfoto yang menunjukkan turut bersuka cita. Dalam kebahagiaan ini tentu ada harapan, baik terucap atau tidak, kepada rekan yang diwisuda saat itu untuk hadir.

Kalau yang terucap, kira-kira nadanya begini:

“Nanti pas aku wisuda kamu juga harus hadir ya”
dan jawabnya begini:
“Iya tenang aja lah kapanpun kamu wisuda aku hadir, kabari aja”
Tapi tak jarang juga ada yang tidak menjawab karena ragu, atau setidaknya menjawab begini:
“Iyaa ayo cepat-cepaaat,” sebuah jawaban yang tidak menjawab dan suasana seakan menjadi aman.

Ini dikarenakan yang diwisuda saat itu tak yakin dia akan hadir di wisudaan temannya itu. Sementara teman itu terus menaruh harapan teman-temannya hadir di hari dia terpaksa diwisuda.

Hari berlalu, teman yang tadi hadir di wisuda temannya pun diwisuda. Ini sudah sangat jauh dari hari di mana dia menjadi orang yang membawa kebahagiaan di hari wisuda. Yang sangat disayangkan, teman yang dulu wisudaannya ia datangi, tidak hadi dalam wujud aslinya bukan berupa hadiah yang dititipkan atau ucapan selamat di media sosial.

Adilkah itu? Rekan-rekan bisa menjawab sendiri nanti.

Bahkan di kampus saya dulu (Universitas Padjadjaran), kemungkinan janji-janji dan harapan itu terjadi di masa periode wisuda yang sama. Saya jelaskan, wisuda di Unpad biasa terdiri atas 3 atau 4 hari yang masing-masing harinya menyertakan wisudaan beberapa fakultas. Dengan demikian, ada yang lebih dahulu diwisuda sehari atau dua hari.

Kasusnya begini, ada dua orang sekawan yang diwisuda pada periode yang sama namun beda hari. Si A wisuda pada hari Selasa, si B wisuda pada hari Rabu. Si A meminta si B untuk hadir di wisudaannya pada Selasa itu, si B memenuhinya karena hari Selasa itu dia tidak begitu sibuk dan (bisa jadi) karena orang tua serta keluarganya belum hadir ke tempatnya menginap (karena dia perantau) atau mungkin karena dia asli orang Bandung yang menyebabkannya fleksibel untuk hadir kemana-mana di H-1 wisudaan.

Namun, saat si B wisuda, si A tak dapat hadir karena dia menikmati hari-hari bahagianya sebagai sarjana bersama keluarga, entah itu di rumah atau keluar kota. Sebelumnya, si B telah meminta A untuk hadir, namun A tidak menjawab dngan jelas  Adilkah ini?

Ada lagi kasus begini. ini cerita si L dan si M. Si L wisuda pada hari Kamis, sementara si M wisuda pada hari Jumat. Saat si L wisuda, si M tidak hadir, padahal telah diminta oleh si L. Alasannya, si M menanti kedatangan orang tua atau mempersiapkan segala sesuatu untuk hari wisudanya. Esoknya, wisudaan si M dihadiri oleh si L yang beberapa hari juga diminta hadir oleh si M. Mereka saling meminta untuk meramaikan. Adilkah ini?

Ada lagi kasus-kasus lain yang terjadi pada prosesi wisuda seperti itu yang tak sempat dituliskan seperti ini. Kasus-kasus seperti yang saya ceritakan di atas juga bisa terjadi di kampus-kampus lain.

Dari hal-hal tersebut lantas saya berpikir. Haruskah seorang teman hadir meramaikan wisudaan temannya yang lain. Lalu siapa teman yang akan menghadiri dan meramaikan wisudaanya ketika ia wisuda di ujung masa batas perkuliahan, di mana kala itu rekan-rekan semasa kuliahnya entah di mana, kerja dengan karir yang terus menanjak sejak tiga tahun lalu atau tengah kuliah doktor di luar negeri?

Apakah sila ke-5 Pancasila berlaku pada hal seperti ini? Oh ya, mungkin ada yang ketika membaca tulisan ini lantas berkomentar “Ah itu doang, serius amat. Santai kalii, masa dikaitin sama Pancasila, kaku amat”.

Terserah mau komentar apa, tapi ini harusnya jadi suatu renungan. Renungan soal persahabatan, perkawanan, atau hubungan lainnya. Kita berkata kesetiaan, berkata kebahagiaan, tapi ternyata semua itu hanya untuk pribadi semata. Kita lupa kebahagiaan orang lain yang juga akan bahagia dengan kehadiran kita, yang telah dijanjikan, atau setidaknya diminta oleh orang tersebut.

Apa lagi sekarang, kebahagiaan bisa diukur dengan publikasi di media sosial masing-masing. Hampir semua pemuda atau sarjana kekinian, setidaknya ada satu foto ditampilkan sebagai bukti dia berbagaia. Yang paling menyenangkan tentu dengan kawan-kawan yang banyak, yang mungkin saat itu ada yang belum dapat melaksanakan wisuda.

Sedikit menyimpulkan, dari kasus terkait keadilan dan kebahagiaan tersebut, ada baiknya jika wisuda hanya dihadiri oleh orang tua dan keluarga. Atau, jika ingin diramaikan oleh kawan-kawan, tepati pulalah janji untuk hadir di wisudaan yang baru akan wisuda di masa akan datang. Bahkan, jika bersedia, jadilah orang yang mampu membantu meluapkan kebahagiaan kawan-kawan yang wisuda di masa “injury time”, walaupun anda tidak dekat, atau tidak saling mengenal.

Sekian, ini bukan satu hal yang menggurui, tapi hanya renungan bagi semua, terutama penulis sendiri. Apa lagi bagi kawan-kawan yang masih menikmati masa perkuliahan saat ini. Percayalah semua itu akan kawan-kawan hadapi. Faktanya, penulis telah gagal dalam menghadiri beberapa wisudaan rekan-rekan yang sebelumnya sangat berharap dihadiri untuk menambah rasa bahagiannya. Mohon maaf bagi semua kawan-kawan. Semoga kita sukses slalu.
Powered By Blogger