Kamis, 05 November 2015

Besok Kamu Harus Datang ke Wisudaan Aku


“Eh, kamu harus datang ke wisudaan aku ya, awas kalo nggak”

Kutipan di atas merupakan bagian dari dialog sebuah pertemanan yang salah satunya akan diwisuda, dan satunya lagi belum diwisuda. Bukan hal yang aneh lagi kalau dalam suatu pertemanan ada yang wisuda duluan dan ada yang tidak duluan.

Namun, sebagai warga negara yang memegang dasar negara yang salah satu poinnya “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, itu jelas tidak adil. Mengapa?

Kejadian seperti ini menimbulkan rasa tanggung jawab akan janji seorang kawan terhadap kawan lainnya untuk hadir di wisudaan dan memberi kado berupa bunga atau yang lain, lalu berfoto yang menunjukkan turut bersuka cita. Dalam kebahagiaan ini tentu ada harapan, baik terucap atau tidak, kepada rekan yang diwisuda saat itu untuk hadir.

Kalau yang terucap, kira-kira nadanya begini:

“Nanti pas aku wisuda kamu juga harus hadir ya”
dan jawabnya begini:
“Iya tenang aja lah kapanpun kamu wisuda aku hadir, kabari aja”
Tapi tak jarang juga ada yang tidak menjawab karena ragu, atau setidaknya menjawab begini:
“Iyaa ayo cepat-cepaaat,” sebuah jawaban yang tidak menjawab dan suasana seakan menjadi aman.

Ini dikarenakan yang diwisuda saat itu tak yakin dia akan hadir di wisudaan temannya itu. Sementara teman itu terus menaruh harapan teman-temannya hadir di hari dia terpaksa diwisuda.

Hari berlalu, teman yang tadi hadir di wisuda temannya pun diwisuda. Ini sudah sangat jauh dari hari di mana dia menjadi orang yang membawa kebahagiaan di hari wisuda. Yang sangat disayangkan, teman yang dulu wisudaannya ia datangi, tidak hadi dalam wujud aslinya bukan berupa hadiah yang dititipkan atau ucapan selamat di media sosial.

Adilkah itu? Rekan-rekan bisa menjawab sendiri nanti.

Bahkan di kampus saya dulu (Universitas Padjadjaran), kemungkinan janji-janji dan harapan itu terjadi di masa periode wisuda yang sama. Saya jelaskan, wisuda di Unpad biasa terdiri atas 3 atau 4 hari yang masing-masing harinya menyertakan wisudaan beberapa fakultas. Dengan demikian, ada yang lebih dahulu diwisuda sehari atau dua hari.

Kasusnya begini, ada dua orang sekawan yang diwisuda pada periode yang sama namun beda hari. Si A wisuda pada hari Selasa, si B wisuda pada hari Rabu. Si A meminta si B untuk hadir di wisudaannya pada Selasa itu, si B memenuhinya karena hari Selasa itu dia tidak begitu sibuk dan (bisa jadi) karena orang tua serta keluarganya belum hadir ke tempatnya menginap (karena dia perantau) atau mungkin karena dia asli orang Bandung yang menyebabkannya fleksibel untuk hadir kemana-mana di H-1 wisudaan.

Namun, saat si B wisuda, si A tak dapat hadir karena dia menikmati hari-hari bahagianya sebagai sarjana bersama keluarga, entah itu di rumah atau keluar kota. Sebelumnya, si B telah meminta A untuk hadir, namun A tidak menjawab dngan jelas  Adilkah ini?

Ada lagi kasus begini. ini cerita si L dan si M. Si L wisuda pada hari Kamis, sementara si M wisuda pada hari Jumat. Saat si L wisuda, si M tidak hadir, padahal telah diminta oleh si L. Alasannya, si M menanti kedatangan orang tua atau mempersiapkan segala sesuatu untuk hari wisudanya. Esoknya, wisudaan si M dihadiri oleh si L yang beberapa hari juga diminta hadir oleh si M. Mereka saling meminta untuk meramaikan. Adilkah ini?

Ada lagi kasus-kasus lain yang terjadi pada prosesi wisuda seperti itu yang tak sempat dituliskan seperti ini. Kasus-kasus seperti yang saya ceritakan di atas juga bisa terjadi di kampus-kampus lain.

Dari hal-hal tersebut lantas saya berpikir. Haruskah seorang teman hadir meramaikan wisudaan temannya yang lain. Lalu siapa teman yang akan menghadiri dan meramaikan wisudaanya ketika ia wisuda di ujung masa batas perkuliahan, di mana kala itu rekan-rekan semasa kuliahnya entah di mana, kerja dengan karir yang terus menanjak sejak tiga tahun lalu atau tengah kuliah doktor di luar negeri?

Apakah sila ke-5 Pancasila berlaku pada hal seperti ini? Oh ya, mungkin ada yang ketika membaca tulisan ini lantas berkomentar “Ah itu doang, serius amat. Santai kalii, masa dikaitin sama Pancasila, kaku amat”.

Terserah mau komentar apa, tapi ini harusnya jadi suatu renungan. Renungan soal persahabatan, perkawanan, atau hubungan lainnya. Kita berkata kesetiaan, berkata kebahagiaan, tapi ternyata semua itu hanya untuk pribadi semata. Kita lupa kebahagiaan orang lain yang juga akan bahagia dengan kehadiran kita, yang telah dijanjikan, atau setidaknya diminta oleh orang tersebut.

Apa lagi sekarang, kebahagiaan bisa diukur dengan publikasi di media sosial masing-masing. Hampir semua pemuda atau sarjana kekinian, setidaknya ada satu foto ditampilkan sebagai bukti dia berbagaia. Yang paling menyenangkan tentu dengan kawan-kawan yang banyak, yang mungkin saat itu ada yang belum dapat melaksanakan wisuda.

Sedikit menyimpulkan, dari kasus terkait keadilan dan kebahagiaan tersebut, ada baiknya jika wisuda hanya dihadiri oleh orang tua dan keluarga. Atau, jika ingin diramaikan oleh kawan-kawan, tepati pulalah janji untuk hadir di wisudaan yang baru akan wisuda di masa akan datang. Bahkan, jika bersedia, jadilah orang yang mampu membantu meluapkan kebahagiaan kawan-kawan yang wisuda di masa “injury time”, walaupun anda tidak dekat, atau tidak saling mengenal.

Sekian, ini bukan satu hal yang menggurui, tapi hanya renungan bagi semua, terutama penulis sendiri. Apa lagi bagi kawan-kawan yang masih menikmati masa perkuliahan saat ini. Percayalah semua itu akan kawan-kawan hadapi. Faktanya, penulis telah gagal dalam menghadiri beberapa wisudaan rekan-rekan yang sebelumnya sangat berharap dihadiri untuk menambah rasa bahagiannya. Mohon maaf bagi semua kawan-kawan. Semoga kita sukses slalu.

Selasa, 03 November 2015

Adu Domba dengan Anak Dalam demi Alihkan Perhatian

Musibah asap yang hampir melanda seluruh Indonesia sepertinya perlahan berkurang. Semoga saja itu pertanda bahwa: jika itu azab, berarti dosa umat di Indonesia sedikit terampuni; jika itu ujian, berarti sejumlah umat perlahan semakin kuat imannya.

Namun, ada yang perlu dicermati dari kejadian baru-baru ini. Apa itu? Yakni, satu hal yang memancing pertanyaan besar bagi saya, “Mengapa orang-orang ramai mempersoalkan Jokowi dan Suku Anak Dalam?”. Kunci utamanya memanglah ada yang bertujuan mencerca Jokowi, ada yang bertujuan membela Jokowi.

Namun, saya memikirkan satu hal yang beda. Saya mengilustrasikannya dengan dialog berikut.

A: Yang shalat Istiqa makin banyak, hujan perlahan banyak turun.
Asap perlahan hilang.
B: Wah iya, Jokowi tak lagi disalahkan, tak lagi jadi perhatian utama.
A: Ini bisa gawat, perhatian akan teralihkan pada lahan yang sudah terbebaskan.
B: Lalu bagaimana? Ada ide. Kita harus mengalihkannya lagi.
A: Saya kemaren lihat Jokowi foto dengan suku anak dalam. Kita bisa mengolahnya.
B: Mantap!

(Beberapa hari kemudian)
A: Lihat ini, sudah ada yang mempersoalkan.
B: Keren. Sekarang sajikan foto-foto dan fakta lain yang bisa membuat mereka berdebat.
A: Siap.

(Beberapa jam kemudian)
A: Wah keren, ada yang membela! Mereka berdebat!
B: Bagus. Lanjutkan langkah kita selanjutnya lahan ini harus segera jadi, hingga mereka mengakui potensi ini.
A: Setelah semua terlihat indah, maka kita akan terbela.
B: GREAT!

Itu hanya ilustrasi. Ini bukan sebuah fakta tentunya, dan bukan berarti saya suuzon. Inihanya sedikit dugaan bahwa sepertinya demikian yang terjadi. Hujan semakin banyak, asap semakin berkurang, kita bisa segera usut persoalan kebakaran hutan lebih lanjut, bukankah itu yang kita inginkan kemarin-kemarin? Tapi sekarang kita malah memperdebatkan suku anak dalam, hingga memuaskan hasrat untuk mengkritik dan membela Jokowi secara buta. Sehingga, perhatian hanya untuk ini semata.

Saya pun sadar, mungkin ini pula pola yang diterapkan pada kasus-kasus sebelumnya. Jika benar, kasihan Jokowi, selain dicaci terus, dia juga menjadi bahan pengalihan perhatian dengan segala bentuk skenario.

Tapi jangan dipercaya dulu, ini hanya suatu pandangan pribadi yang....husnuzon dengan cara suuzon. Maksudnya, saya berpikir buruk terhadap orang lain agar saya bisa berpikiran baik terhadap satu persoalan yang harusnya bisa teratasi dengan baik. 


Jumat, 23 Oktober 2015

Membangkit Ekonomi dengan Film, Mampukah?

Kondisi nilai tukar rupiah yang semakin terpuruk terhadap dollar Amerika Serikat membuat masyarakat sangat kalang kabut. Segala aktivitas perekonomian menjadi goyah dan melemahkan ekonomi itu sendiri. Jika ditunggu, pemerintah sendiri tidak dapat memastikan kapan rupiah akan memperlihatkan titik kebangkitannya untuk kembali memanjakan ekonomi masyarakat.
Jelas, menunggu bukanlah jawaban. Sebaiknya ada banyak rencana dan langkah yang ditempuh oleh masyarakat terutama pemegang kebijakan perekonomian. Perencanaan dan langkah tersebut tidak serta merta dilakukan oleh pusat, tapi bisa dimulai oleh pemerintah daerah dengan menggalakkan berbagai inovasi kebijakan. 

Salah satu film karya anak Minangkabau teranyar

 Ada banyak peluang yang mesti dilirik dan dikembangkan. Di Sumatera Barat, salah satu potensi yang dapat dilajukan ialah perfilman. Aktivitas ini bagaikan anak emas yang harus mencari kehidupan sendiri karena diabaikan oleh orangtuanya. Perfilman dibiarkan berjalan sendiri. Perfilman merupakan harta karun terpendam di ranah Minangkabau.
Darimana kita bisa melihat potensi perfilman di Sumatera Barat? Banyak yang dapat dijadikan acuan. Sila akses situs Youtube, di sana banyak beredar film berdurasi panjang maupun pendek (mini film) yang merupakan karya anak Minangkabau dan berlatar di ranah Sumatera Barat. Belum lama ini, beredar pula film yang sangat menunjukkan adat budaya Minangkabau, berjudul ‘Salisiah Adaik’, karya sineas asli Minangkabau.
Satu hal lagi yang perlu disadari, sejumlah film nasional yang beredar di Nusantara beberapa tahun terakhir dibuat berlatar belakang Minangkabau. Sebut saja Merantau, yang kental dengan budaya terutama seni bela diri Miangkabau. Jauh lebih luar biasa, ada Di Balik Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang naskahnya sendiri berasal dari buku karangan putra ternama MInangkabau, Buya Hamka. Sangat terbukti, sineas nusantara menaruh nilai lebih pada Sumatera Barat atau Minangkabau.
Hendaknya hal ini dipahami bahwa Sumatera Barat bisa juga membesarkan hal tersebut secara mandiri. Berbagai ide cerita dari kisah-kisah tambo dan legenda banyak yang bisa diangkat oleh sineas Minangkabau. Semua bisa dikemas menarik dan sangat menjual di kalangan nusantara. Film yang terbangung menjadi sangat kaya, ada pesan dan ada pedapatan.
Nah, bicara pendapatan, memanglah sebuah fakta bahwa film mampu membuka kebangkitan perekonomian. Bukti nyata dilakukan oleh Amerika Serikat. Menurut sejarahnya, kebangkitan Negara adi daya ini pada masa pasca Perang Dunia II disokong kuat oleh industri perfilman. Berbagai genre film terutama komedi, drama dan petualangan ditingkatkan kemudian dipasarkan.
Tak hanya itu, sejarah tersebut terulang pada tahun 2008, masa-masa di mana ekonomi AS mengalami keterpurukan. Berkisar pada 2008-2009, AS kembali menggenjot industri perfilmannya yang berpusat pada Hollywood. Memang tak tanggung-tanggung, mereka membuat karya film dengan cerita dan kualitas gambar yang luar biasa. Bahkan, mereka membuat sejumlah film animasi hebat.
Dari 2008 hingga 2015, hal itulah yang digalakkan AS. Dengan film, ternyata AS memfasilitasi pemasaran terselubung untuk produk-produk asal Negara tersebut. Pada kisaran tahun inilah dimulainya pengiklanan secara unik yang membuatnya terpampang hebat dalam jalannya cerita film. Film-film Hollywood mengundang berbagai produk untuk beriklan dalam film. Praktik ini pun diterapkan oleh beberapa film di Indonesia.
Tak ada masalah jika hal tersebut juga dilakukan di Sumatera Barat. Dengan potensi yang besar, bukan suatu hal yang mustahil perfilman Sumatera Barat mampu menjadi jauh lebih berkembang dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Apa lagi, sudah banyak pemuda yang memulai industri kreatif ini.
Bayangkan saja pada film-film karya anak Sumatera Barat tersebut ada berbagai produk lokal asli buatan masyarakat. Ini tentu akan menjadi suatu simbiosis mutualisme di antara berbagai pihak. Setidaknya, produk-produk industri atau usaha kecil dan menengah lokal bisa dikenal di seluruh wilayah Sumatera Barat. Masyarakat pun dimanjakan dengan pampangan sejumlah barang yang meningkatkan keinginan untuk memilikinya. Ini juga akan meningkatkan daya saing dan kreativitas para produsen.
Tak hanya itu, sejumlah seniman selain filmmaker seperti musisi dan perancang busana pun bisa turut andil bekerja sama dalam pembuatan film. Hasil karya mereka pun ikut terpromosikan dalam setiap film. Begitu juga dengan pemilik tempat-tempat (venue) shooting yang kemudian akan tereferensi pada film yang telah siap dipertontonkan. Sejumlah tempat wisata pun bisa ikut terjual.
Bukan satu hal yang mustahil pula produk-produk yang terpajang pada setiap film hadir sampai ke ranah nasional, bahkan internasional. Film-film yang dihasilkan bisa perlahan menuju jenjang perluasan jangkauan tersebut. Setiap elemen mendapatkan keuntungan, baik filmmaker maupun produsen.
Begaimana semua hal tersebut bisa terwujud? Semua butuh sistem, jelas. Namun, satu hal yang harus dilakukan ialah memulai dari yang kecil. Setiap elemen yang ingin bergerak sangat dipersilakan bergerak tanpa terus termenung menunggu bantuan atau dukungan pemerintah. Mulai dari produksi film berdurasi sekitar 15 detik-1 menit, hingga film panjang bahkan film sequel.
Seperti yang dimulai oleh para pelajar dari program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di bawah bimbingan Devy Kurnia Alamsyah selaku pengajar di kampus tersebut. Para mahasiswa dari kampus ini beberapa waktu lalu melakukan pembuatan beberapa film pendek yang kemudian akan disajikan untuk umum dalam kumpulan film yang disebut ‘omnibus’. Sekitar enam film segera ditampilkan di salah satu bioskop ternama di Kota Padang dengan tarif yang sangat terjangkau.
Karya-karya tersebut pantas untuk mendapat apresiasi. Terlepas dari penilaian hasil karya penonton setelah menyaksikan setiap detik pada film tersebut, hal yang paling patut diapresiasi dan didukung secara positif ialah kemampuan untuk memulai. Memulai ialah suatu hal yang cukup berat, untuk kemudian melanjutkan dan menginsipirasi banyak pihak.
Karya anak muda tersebut menjadi suatu titik terang bagi Sumatera Barat untuk terus berkembang dan maju, terutama mewujudkan impian menjadi basis perfilman Indonesia yang terinisiasi oleh sebuah grup Facebook bertajuk ‘PadariamWood’. Belakangan ini ‘PadariamWood’ hadir sebagai grup yang menampung aspirasi dan semangat masyarakat untuk perfilman Sumatera Barat, untuk bisa bersanding dengan Hollywood dan Bollywood.
Bukan suatu mimpi besar yang berupa bualan semata pula, karena sejarahnya perfilman Indonesia memang ditumbuh-kembangkan oleh orang asal Sumatera Barat. Dialah Djamaludin Malik, pria kelahiran Padang, 13 Februari 1917 yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Industri Film Indonesia. Dialah penggagas Festival Film Indonesia.
Jadi, tidak mustahil pula jika tangan dingin pria yang menghadirkan keindahan perfilman di Nusantara tersebut terulang kembali dari tanah kelahirannya. Semangat kreativitasnya di masa lalu dapat menjadi sebuah inspirasi untuk terus berinovasi. Tunggu apa lagi? Kita punya banyak sejarah, kita bisa belajar dari sejarah, kita bisa membuat sejarah. Setelah itu, kemajuan perfilman juga segera pengaruhi kebangkitan perekonomian.

Selasa, 20 Oktober 2015

Padang, Andai Saja 'Perbedaan' dapat Hidup di Sini...

Padang kota tercinta, kujaga dan kubela. Itu lirik lagu yang menjadi doktrinasi  bagi anak-anak sekolahan. Eh, itu dulu, enam tahun lalu saat saya masih jadi anak cupu berseragam putih abu-abu. Sekarang masih cupu sih. Dan, gak tau sekarang gimana, masih dinyanyikan atau tidak.


(foto dari beritasatu.com)

Ketika harus merantau untuk kuliah, ternyata memang lagu itu memberi doktrin kuat bagi sebagian orang. Buktinya, banyak yang rela tiap tahun, atau tiap semester, atau tiap bulan pulang ke Padang dari tanah Jawa (kaya amat ya).

Selain itu, ada juga yang akhirnya membulatkan tekad ingin membangun kota ini suatu saat. Salah satunya, saya.

Pulang ke Padang sekali setahun memberi saya inspirasi harus diapakan kota ini, karena melihat perbedaan dengan kota lain, kekurangannya apa, dan kesesuaiannya apa untuk menjadi kota yang…. tak perlu maju, tapi cukup menyenangkan, hingga nanti perekonomiannya menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia.

Namun, beberapa tahun terakhir, saya menyaksikan perkembangan pesat kota ini. Hmmm, secara konotatif dan denotatif, kota ini menyerupai BANDUNG. Semua bisa dilihat dari kreativitas para muda-mudi di sini.

Apa lagi, ada banyak kafe yang katanya bisa jadi tempat nongkrong seperti di Bandung, tapi nyatanya tidak, beberapa pelayan kafe sering memberi tanda kalau pelanggannya sudah kelamaan di sana, dan akhirnya pelanggan hanya menggunakan kafe cantik itu sebagai tempat berselfie lalu mempromosikan tempat itu. (itu kalimat panjang banget, gak efektif, pahami saja yah).

A Create Padang, menjadi salah satu simbol yang memperlihatkan perkembangan kota ini di tangan muda-mudi, terutama kreativitasnya. Dulu, saya sudah mengenal gemerlap dan sedikit kekerenan kota ini dengan banyaknya mususi muda yang mampu memainkan lagu-lagu rock band metal seperti musisi aslinya, termasuk saya, ehm (gak lah, becanda). Sekarang, semua merambah ke banyak kreativitas lagi.

Acara tersebut menunjukkan banyak muda mudi kreatif, baik di dunia musik, desain grafis, lukisan, karya visual 3D, sinematografi, fotogragi, enterpreneurship berupa pakaian dan minuman, dan beberapa yang lainnya. Saat itu, di sana, Padang bagaikan Bandung, mirip Bandung. Di sana saya memuji karya ini, namun menyayangkan hal ini belum didukung oleh pemerintah.

Ada apa gerangan? Saya perhatikan semua hal yang ada di venue tersebut dan memikirkan apa yang ada di pikiran pemerintah dan masyarakat, serta muda-mudi lainnya?

Kemudian saya berhipotesis, yang saya tumpahkan dalam judul tulisan ini, yaitu ternyata Padang, belum menerima perbedaan. Mengapa demikian?

Tempat yang menyajikan kreativitas anak muda tersebut pada siang itu hanya dipenuhi oleh anak muda yang ngikutin trend kekinian. Hampir semua menggunakan gaya pakaian yang sama, atau setidaknya punya gaya kelompok masing-masing yang juga ngikutin gaya orang lain di luar sana. Contoh kecilnya, saya menemukan sedikit orang menggunakan sendal, seperti yang saya lakukan saat itu.

Contoh lainnya, dikatakan cinta Padang, tapi mereka tidak satupun yang mencoba berpakaian adat Minangkabau. Ribet? Tidak, ada yang sederhana pemakaiannya. Bahkan musik yang dimainkan dominan pada rock kekinian penuh nada pemberontakan yang katanya semangat. Ada sih ‘pop lunak’, tapi masih ngikutin tren nasional dan internasional.

Satu lagi, bertajuk A Create, sebenarnya ada baiknya jika mengikut sertakan komunitas lain yang juga bergerak untuk bidang sosial lainnya, termasuk perhatian kepada anak-anak dan budaya.
Dari contoh-contoh tersebut, saya secara sepihak menjustifikasi, bahwa perbedaan belum bisa diterima secara baik di kota ini. Dominasi kelompok untuk mengatakan mereka yang paling oke masih kuat, yang beda masih tersisihkan dalam kesendirian (assik, galau amat).

Cemoohan yang tak mendidik masih kuat sana sini. Cemooh itu penting, untuk menjaga masyarakat dari norma-norma yang tidak baik. Namun kini cemooh yang bertujuan positif terkikis, dan muncul cemooh yang menjatuhkan orang-orang yang ingin berkreasi untuk kota tercintanya itu. Hasilnya, perbedaan susah diterima.

Barangkali itu juga yang membuat pemeritah setempat belum terketuk hatinya untuk mendukung penuh kreativitas anak-anak muda di acara yang digelar di Lanud Padang tersebut. Jika dia mendukung, tentu akan ada tindak lanjut yang mumpuni (mantap!).

Padang, dari dulu kota ini punya jutaan orang dengan isi kepala masing-masing, passion masing-masing, dan kreasi masing-masing. Tapi semua diam dan angkuh di dalam kemasing-masingannya, hingga enggan untuk mengeksplor lebih jauh, dikarenakan adanya kesulitan untuk menerima perbedaan di kota ini.

Andai semua terkoordinasi dengan baik, terfasilitasi dengan baik, dan terapresiasi dengan baik oleh masyarakat, termasuk para pihak yang punya pemikiran masing-masing itu, tentu Padang sudah jauh lebih maju dari sekarang.

Lalu, bagaimana cara mengubah hal tersebut? Saran sederhana dari saya: pertama tindakan dari pemerintah, kedua konsistensi dari para pemikir dan anak-anak muda yang kreatif untuk terus berkarya, ketiga doktrinasi melalui berbagai media yang dapat mengubah cara berpikir dan berprilaku masyarakat yang hidup ‘setengah sadar’ itu perlahan-lahan.

Sekian, ini hanya ocehan, kalau terinspirasi sangat diperbolehkan.

Jumat, 16 Oktober 2015

Generasi 90-an, Generasi Gagal!



Zaman terus melaju, generasi terus berkembang setiap tahunnya, setiap bulan, dan setiap hari. Perkembangan generasi tak menutupi kemungkinan perbedaan yang terjadi di setiap masanya antara satu generasi dengan generasi.

Beberapa tahun ke belakang, terdapat hal yang lumrah terdengar di telinga saya perihal perbandingan generasi. Dengan berbagai landasan yang ada, generasi 90-an, demikian sekelompok orang menyebutnya, dianggap sebagai generasi terbaik terutama oleh orang-orang yang lahir atau tumbuh pada rentang waktu tersebut.

Sejumlah nostalgia masa kecil dimunculkan untuk mengenang indahnya masa-masa pertumbuhan generasi 90-an yang secara narsis mengatakan itulah hal terbaik yang hendaknya dilakukan anak-anak. Mereka membandingkan dengan generasi setelahnya, generasi 2000-an dan 2010 ke atas, dengan dominan mengacu kenikmatan masa kini yang tidak indah, sebut saja gadget yang memanjakan.

Orang-orang generasi 90-an secara tidak sengaja juga membandingkan diri mereka dengan generasi sebelumnya, yang hampir dikatakan sangat ketinggalan akan kehadiran teknologi. Dengan kata lain, generasi 90-an mendapatkan dua kenikmatan yang seimbang: teknologi dan tradisional. Ini dianggap sebagai pemicu besar keindahan yang dielu-elukan, yang berdampak pada proses pemikiran para personel generasi tersebut.

Memang, jika membandingkan generasi 90-an dengan generasi 2000-an ke atas, ada satu gap yang sangat memilukan. Anak-anak zaman kini terlalu dimanjakan teknologi yang semakin canggih dan hidup dalam gegap gempita media massa yang tak mendidik. Hasilnya memang buruk, banyak anak yang bersikap sangat manja, gap perekonomian terlihat signifikan, dan kecerdasan cenderung menurun, terutama dalam bersosial. Sementara generasi 90-an merasa paling kreatif.

Akan tetapi, sadarkah bahwa di balik narsisme generasi 90-an dan perbandingan dengan generasi setelahnya itu terdapat sebuah kegagalan? Ya, generasi 90-an adalah generasi yang gagal. Kenikmatan nostalgia dan indahnya masa lalu membuat mereka terlalu bangga, hingga lupa harus bertindak apa. Mereka tak mampu berbuat banyak untuk bisa mewariskan kenikmatan tersebut kepada generasi setelahnya.

Berbagai upaya memang telah dilakukan seperti sindiran-sindiran atau hal lainnya yang berupaya menyadarkan akan kenikmatan tersebut, tapi mereka lupa bahwa generasi 2000-an bahkan tidak membayangkan di mana letak nikmatnya hal-hal tersebut. Mereka tidak mengalaminya, wajar mereka tidak mengerti. Apa lagi, dominasi komunikasi dengan teknologi membuat mereka cenderung sulit memahami bahasa sindiran.

Pasalnya, kebanyakan atau setidaknya sebagian generasi 90-an tentu memiliki adik atau sepupu yang bisa ditularkan bagaimana indahnya masa mereka dulu. Mereka bisa bermain bersama. Selain itu, generasi 90-an yang cenderung lebih dewasa dan lebih paham berteknologi dibanding generasi sebelumnya harusnya bisa memberi masukan akan dampak-dampak yang akan muncul.

Ya, kesimpulannya, generasi 90-an seharusnya menjadi lakon perbaikan tingkah laku generasi setelah mereka, bukan terhanyut dalam nostalgia penuh kebanggaan dengan embel-embel kata-kata "DULU KITA BEGINI YA, MEREKA SEKARANG..." atau "ANAK-ANAK SEKARANG EMANG GITU YA, BEDA SAMA KITA". Setidaknya, jangan menjustifikasi mereka jika tidak dapat berbuat banyak untuk membawa mereka ke arah kebaikan.

Tulisan ini tak lain juga menjadi catatan tersendiri bagi penulis (yang juga generasi 90-an) yang belum bisa apa-apa selain rasa iba pada adik-adik generasi pasca 90-an. Semoga suatu saat kita yang sadar bisa membuat pergerakan untuk melakukan perbaikan, atau setidaknya bekerja sama dengan generasi pasca 90-an untuk membentuk generasi yang lebih baik.


Sabtu, 10 Oktober 2015

Melawan Potensi Pengalihan Isu

Halaman depan Republika (8/9/2015)


Salah satu problem media massa saat ini ialah tidak adanya kuda-kuda yang kuat dalam menerapkan salah satu elemen jurnalisme 'komitmen kepada masyarakat dan kepentingan publik'. Kelemahan kuda-kuda tersebut terwujud pada sikap yang mengikuti kemana arah angin berhembus, semata-mata hanya ingin mengejar popularitas dengan kecepatan menyajikan berita.

Buruknya, berita baru yang dikejar akan terus diburu sedalam-dalamnya dengan batasan kehadiran isu baru yang lebih panas lagi. Akibatnya, berita yang tadinya dipanaskan tidak berujung pada suatu 'pendinginan otot-otot' atau sejenis konklusi yang mampu menggiring masyarakat untuk membawa ke pemikiran positif. Khalayak digantung pada banjir informasi yang membuat mereka bingung mau melakukan apa. Ini menyebabkan pesimisme karena melihat banyak persoalan dan tidak tahu harus membereskan mulai dari mana.

Inilah karakter yang dominan pada media-media massa di Indonesia saat ini. Kebaruan selalu dikejar membabi-buta, tanpa proporsional dengan berita-berita sebelumnya yang butuh tindak lanjut dari masyarakat dan pemerintah, namun tidak mendapatkannya.

Menurut pantauan penulis kala pernah mengalami sebagai wartawan, hal tersebut lumrah terjadi pada wartawan Indonesia karena yang tertanam di benak mereka ialah kecepatan akses informasi, seiring meningkatnya kompetensi antar media massa, terutama dengan media massa online. Kecepatan pemberitaan menjadi dewa dalam jurnalisme dewasa ini, sehingga wartawan cenderung mengikuti keberadaan berita baru, di manapun mereka berada dan apapun kondisi mereka.

Hasilnya, media massa menjadi sasaran empuk dan alat ampuh untuk menggiring opini serta pengalihan isu bagi pihak berkepentingan. Media massa merupakan salah satu elemen komunikasi politik, sudah sewajarnya, memang, media massa dimanfaatkan oleh para pelaku politik. Peranannya sebagai salah satu elemen komunikasi politik tersebut hendaknya dipahami agar tidak serta merta mengikuti nafsu dan akal bulus para politisi.

Setiap pemahaman teoretis yang membalut dunia jurnalisme semestinya berkaitan dan sistematis, dengan kata lain satu rusak yang lain juga akan terganggu. Begitu juga dengan poin elemen jurnalisme yang disampaikan di awal, dengan peranan media massa dalam komunikasi politik, karena politik juga berkaitan dengan khalayak (masyarakat). Namun, kondisinya saat ini, faktanya tidak semua wartawan atau pegiat media massa di Indonesia memiliki pemahaman dan sikap teoretis tersebut. Kecenderungan pada praktis membuat mereka harus (hanya bisa) mengikuti setiap pergerakan yang ada.

Meski demikian, tidak semua media massa memiliki kecenderingan mengikuti pengalihan isu yang dilakukan oleh para pelaku politik yang entah siapa itu dan di mana mereka berada. Masih ada media yang berusaha mengambil jalur berbeda untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Masih ada yang konsisten membahas suatu persoalan secara proporsional dengan berita baru lainnya. Semua itu butuh pemilahan dan agenda setting yang baik.

Media massa yang cenderung melakukan perlawanan terhadap pengalihan isu biasanya ada pada majalah, karena mereka butuh kedalaman dalam pembahasan sebelum menyebarkan berita kepada khalayak. Salah satu yang paling kuat melakukan hal tersebut ialah majalah Tempo, yang kebanyakan edisinya tidak sesuai dengan isu yang panas dibicarakan oleh media lain. Agenda setting dilakukan sedemikian rupa untuk menjaga identitas dan kepuasan konsumen.

Beberapa surat kabar dan media elektronik pun banyak mencoba hal yang sama. Namun, pada umumnya usaha dilakukan pada framing berita yang disesuaikan dengan ideologi media masing-masing. Kontra-hegemoni yang dilakukan dominan berbentuk tulisan, yang membuat salah satu atau salah dua dari mereka terlihat berbeda. Akibatnya, terjadi perang pemahaman antara para mainstream dan si antimainstream lewat tulisan.

Sayangnya, perang tulisan tersebut tidak melulu dipahami oleh pembaca. Pasalnya, surat kabar dewasa ini begitu banyak dan membanjiri mata masyarakat. Masyarakat pun harus memilih, tak mungkin mereka membaca semua. Yang dipilih pun, haruslah yang menurut kebanyakan orang beritanya bagus, aktual, tajam dan terpercaya, yang jika sudah demikian susah untuk memperbarui referensi serta pengalaman kepada media lain. Ini menyebabkan tidak ada perbandingan di mata masyarakat. Lagi pula, tidak semua masyarakat ingin membandingkan isi berita, kecuali mereka pengamat media massa atau pemerhati dunia komunikasi.

Perbedaan yang dimunculkan oleh suatu media lewat tulisannya pun cenderung menjadi konsumsi sebagian konsumen setia yang dengan mudah percaya pada yang ditampilkan. Kebanyakan konsumen pun tidak memahami ada suatu pertarungan penyuguhan dan pemeliharaan isu pada media massa, sebelum diingatkan oleh orang-orang yang senantiasa memperhatikan.

Namun, ternyata pekan lalu ada suatu fenomena yang memberi banyak pesan tersirat, terutama pada keberlangsungan pertarungan penggiringan opini di antara media massa. Pekan lalu, ada suatu proses perlawanan terhadap pengalihan isu yang tidak dilakukan dengan tulisan lagi, melainkan dengan visual yang tak diduga-duga dan tentunya menggemparkan perhatian masyarakat.

Republika, Kamis, 8 Oktober 2015 lalu menghadirkan suatu yang berbeda. Masyarakat seakan ditampar untuk menyadari keberadaannya yang kala itu mencoba mengalahkan potensi pengalihan isu. 'Harga Solar Turun' harusnya menjadi judul berita headline serta pembahasan yang membuat khalayak pembaca terayun pada arah angin yang berubah lagi. Pembahasan yang sama juga terjadi pada media massa surat kabar lainnya.

Surat kabar ini dengan nekat menghadirkan sebuah ide yang gila dan aneh, yakni menutup judul berita yang diharapkan menjadi suatu hal yang penting tersebut. Tiga perempat halaman depan tersebut dibuat buram dengan warna abu-abu khas asap, menyisakan sebagian kecil di bawah dengan tampilan seorang anak bersepeda dan mengenakan masker, bak berusaha keras keluar dari selimut asap.

Sontak tindakan Republika ini mengundang perhatian khalayak masyarakat. Berita turunnya harga solar yang bisa membolak hati masyarakat seakan menjadi tak berguna. Republika menuai banyak pujian karena berusaha konsisten terhadap upayanya mengingatkan masyarakat lain bahwa kabut asap terus membelenggu dan semakin buruk, serta menerapkan peranannya sebagai pengontrol pemerintah. Republika berusaha menyadarkan banyak pihak.

Mungkin ini merupakan suatu uji coba terhadap sikap yang berbeda. Tak disangka, ternyata hal berbeda tetap dapat menampung perhatian, bahkan menariknya lebih banyak. Dalam konteks komoditas, Republika bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Barangkali, sikap surat kabar yang satu ini bisa menjadi inspirasi dan menyadarkan media lainnya, bahwa inovasi dalam menarik simpatik tidak hanya dari konten berita yang kemudian sering mendapat bumbu-bumbu berlebihan.

Dengan demikian, semua patut memahami dalam mendapatkan perhatian dan bertarung mengalahkan pengalihan isu tidak serta merta hanya dengan tulisan atau konten. Ada banyak elemen di media massa yang bisa dieksplor, terutama dalam tampilan visual, dan yang lainnya, termasuk kebijakan finansial.

Sikap Republika ini juga menjadi bukti bahwa ketika tulisan tidak lagi berdaya dan berkutik untuk perubahan, ada sarana lain yang menunggu untuk diutak-atik seperti desain grafis. Pasalnya, desain grafis atau karya grafis lainnya sering kali lebih menyadarkan orang-orang ketimbang tulisan dan konten fotografi atau video yang lebih gamblang. Karya grafis menjadi sarana penyampaian pesan yang cenderung abstrak, namun membuat orang bertanya-tanya. Di saat ada pertanyaan itulah, perhatian segera menghampiri dan membanjiri.

Satu kesan buat Republika: Salut! Semoga media massa lain juga bisa berkreasi dan mengeksplor berbagai ide dalam menyampaikan pesan. Dunia komunikasi ialah dunia kreativitas tanpa batas meskipun harus punya pemahaman terhadap berbagai batasan-batasan.

Kendati demikian, tidak serta merta setiap berita dianggap khalayak sebagai suatu pengalihan isu, sekalipun mereka memahami hal demikian. Ada juga yang yang memahaminya sebagai suatu kewajaran dalam industri komunikasi. Ada juga yang tidak mengakui adanya terminologi 'pengalihan isu', karena terkesan negatif. 

Rabu, 30 September 2015

G 30 S (2)

G 30 S yang kedua ialah Gempa 30 Semptember. JIka memakai garis miring (/), kata selanjutnya ialah SB atau Sumatera Barat.

Tahun 2015 merupakan tahun ke-6 peristiwa tersebut berlalu. Karena besarnya gempa kala itu, sekitar 7,6 SR, yang mampu meluluh lantakkan sebagian daerah di Sumbar, masyarakat seakan terus terngiang akan peristiwa ini di tanggal yang sama pada setiap tahunnya.

Tangis dan teriak susul menyusul, istighfar dan takbir berkumandang kala itu. Bagaimana tidak, semua tergoncang, gedung-gedung banyak yang ambruk. Sebagian ada yang rumahnya menorehkan sejarah berupa retak-retak pada tembok. Sampai sekarang masih ada yang tetap menjaganya. Namun, ingat atau tidak pada penyebab jejak keretakan itu, tiada yang tahu.

Jika keretakan rumah tidak bisa diingat, mungkin orang-orang juga tidak ingat bahwa mereka pernah istighfar minta ampun pada Yang Maha Pengampun pada saat kejadian. Namun, tak tahu pula pada yang hanya bisa teriak ketakutan menangis tanpa tahu sebabnya, atau yang takut kehilangan harta.

Jika pun orang-orang ingat tapi hanya sebagai catatan sejarah, hmmm, ada yang hilang dari setiap peristiwa yang Allah turunkan kepada manusia. Apa itu? Hikmah, atau pelajaran. Artinya, ketika hikmah atau pelajaran hilang, saat itulah orang-orang kehilangan akal sehatnya.

Mungkin memang demikian yang terjadi. Sebagai warga yang hidup di Kota Padang sejak lahir sampai usia 18 tahun sejak tahun 1991 kemudian merantau dan pulang sekitar minimal sekali setahun hingga tahun 2015, saya merasakan hanya sedikit hikmah yang tersisa di negeri ini. Saya menilai Kota Padang, sebagai salah satu wilayah yang cukup luluh lantak.

Enam tahun berlalu, warga kota ini pun kembai seperti dulu. Bahkan, mereka lebih buruk dari masa itu. Memang, tenda ceper yang disebut sebagai sarana mesum di pinggir pantai tidak ada lagi. Namun, pergaulan muda-mudi semakin memperlihatkan kekacauan. Tak perlu disebut secara detil, di antaranya seks bebas, narkoba, hedonisme, dan pakaian yang cenderung terbuka. Wajah Minangkabau semakin suram.

Apa yang salah? Menurut saya, keterpurukan ekonomi pasca kehancuran negeri ini membuat banyak yang kufur. Di otak mereka hanyalah memperbaiki ekonomi, tanpa memikirkan lagi perangai yang semakin memburuk. Banyak warung, restaurant atau cafe yang dibuka, seolah memberi angin segar terhadap perekonomian. Namun, apa yang mereka jual? Beberapa di antaranya menghadirkan minuman beralkohol secara bebas. Itukah wajah Sumatera Barat pasca G30S 2009?

G30S, G30S, G30S....

Kalau mengingat masa itu, orang-orang Sumbar pasti takut. Tentu saja mereka takut hal tersebut terjadi lagi. Termasuk, penulis sendiri. Tapi, sampai di mana ketakutan mereka? Takut harta habis? atau takut sekedar traumatis belaka?

Jika ketakutan yang ada hanya berupa traumatis belaka, maka masyarakat Sumbar harus selalu bersiap untuk dipermainkan oleh media dan orang-orang yang berkuasa. Mental orang Sumbar harus kuat, jika mereka tak ingin masuk rumah sakit jiwa.

Adakah yang taku dalam kesadaran yang penuh? Ada. Tapi, mereka tak tahu harus berbuat apa.

Sebagai anak muda yang belakangan dicap banyak berwacana, saya hanya bisa memberi sebuah gagasan kepada kara tetua untuk kembali memperhatikan para pemuda. Jika para tetua sadar akan kerusakan yang ada, bimbinglah para pemuda. Ingat, bimbing mereka, bukan hardik mereka. Ikuti cara main mereka, kemudian ajak mereka bermain bersama, untuk bisa ikut menjadi dewasa. Sederhana, tapi rentan jadi wacana.

G 30 S (1)

G 30 S, seolah menjadi sebuah kode unik di negara ini. Saat ini, saya mengenal ada dua G30S, namun ini tak berlaku bagi semua orang.
G30S pertama, tentu saja Gerakan 30 September, yang di ujungnya diimbuhi garismiring (/) PKI (Partai Komunis Indonesia). Ini yang dikenal rakyat Indonesia pada umumnya. Menurut sejarah yang tertulis oleh para sejarawan secara dominant, peristiwa ini menceritakan kudeta berdarah oleh PKI dan pengikutnya. Saat itu terjadi banyak pembantaian, termasuk pembantaian hak keturunan orang-orang PKI, sebagai hukuman yang dianggap setimpal.
Sampai sekarang, ternyata hal ini belum tuntas. Kami yang dulu tidak peka terhadap kode yang tertera pada buku sejarah ini sekarang bertanya-tanya,”Loh, ada apa lagi?”. Rekan sezaman yang sudah membaca atau sudah mengetahuinya kemudian pada umumnya akan menjawab sebuah kisah pemutarbalikan fakta yang sedang diupayakan lagi untuk diputarbalikkan kembali. Mereka berdalih, “sejarah telah dimainkan”.
Sebagian orang yang memang tidak tahu akhirnya tahu. Kemudian, yang tadinya cuek terhadap sejarah tapi merasa punya nilai kemanusiaan, akhirnya melek sejarah dan peduli akan hal ini. Selanjutnya mereka pun ikut membantu menyuarakan.
Sementara saya, saya justru semakin tak percaya pada sejarah yang ada. Pertanyaannya, “Sejarah mana yang benar?”. Hasil penelitian? Setiap catatan sejarah ada penelitiannya, tapi kembali kepada keabsahannya. Saksi? Setiap sisi pendapat memiliki saksinya masing-masing. Apa lagi?
Selasa, 29 September 2015, saya menonton tayangan siaran langsung Indonesian Lawyers Club (ILC) di TV One, sebuah sajian diskusi hingga debat yang semula diisi oleh para pengacara namun kini sesekali diramaikan juga oleh para banci kamera. Namun, meski kala itu minim pengacara, saya suka tayangan ini. ILC mengangkat persoalan G30S, terutama soal rencana negara untuk minta maaf dengan tujuan rekonsiliasi.
Singkat kata, yang ingin saya tarik ialah, ternyata ada fakta lain yang juga mengatakan tak ada asap kalau tak ada api. Tak mungkin tak ada alasan mengapa terjadi pembantaian dan penumpasan terhadap PKI. Banyak saksi mengatakan, PKI pun melakukan hal yang sama. Orang-orang banyak tahu soal 7 Jenderal saja, tapi ternyata tak hanya itu. Banyak warga sipil yang dihabisi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, itu tidak dibahas.
Sebelum mendapat informasi itu pun saya sempat diskusi dengan kakek yang mengaku melihat bagaimana orang sangat menakuti dan menjauhi orang-orang PKI pada waktu dulu, sebelum mereka dihabisi. Padahal, kala itu, Sumatera Barat tidak begitu ramai oleh PKI dan informasi ke Jawa tidak seperti saat ini yang sangat cepat. Kakek pun mendapat informasi dari Ayahnya mengenai PKI. Saya jadi berpikir, “lantas apa yang diprotes orang-orang terhadap PKI?”
Saya akhirnya sepakat pada kesimpulan sementara diskusi di ILC yang mengatakan, jika ingin memperkarakan, adillah. Jangan hanya melihat PKI sebagai korban, tapi lihat juga korban-korban PKI. Pada akhirnya, banyak yang meminta persoalan ini ditutup dengan saling meminta maaf dan memaafkan.

Siang 30 September 2015 pun saya mendengar berita bahwa tidak benar berita yang mengatakan negara (Jokowi) ingin minta maaf pada PKI.
Namun, ternyata juga tak sampai di sana. Orang-orang yang mengaku aktivis kemanusiaan, bersama media-media yang senantiasa mendompleng untuk mendapatkan keuntungan tetap saja mengangkat persoalan ini. Pada akhirnya, kita bisa bertaruh, tahun depan akan terjadi lagi hal seperti ini: banyak yang menuntut keadilan. Kita pun bertanya lagi: keadilan bagi siapa?

Senin, 28 September 2015

Sekolah Nasihat




“Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali yang saling menasihati dalam kebaikan dan saling menasihati dengan kesabaran”

Demikian adalah kutipan ayat Alquran surat Al-Ashr, sebuah surat pendek yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan manusia. Bahkan, ayat tersebut tak hanya berlaku untuk Muslim.

Namun, ayat tersebut patut menjadi sebuah dasar evaluasi dalam berkehidupan sosial, sejauh mana maknanya teraplikasi? Tak terpungkiri, dunia semakin kacau dengan perangai anak manusia yang semakin amburadul demi kekuasaan fana di atas muka bumi.

Siapa yang salah? Kalau mencari siapa yang salah, tentu manusialah yang salah, tak mungkin menyalahkan Allah SWT sebagai sang pencipta. Konon katanya, malaikat dulu mengkhawatirkan kehadiran manusia di atas muka bumi yang dia prediksi hanya akan menjadi perusak.

Namun, Allah mengharapkan lain, dalam sebuah ayatnya disebutkan “Setiap manusia adalah khalifah di muka bumi”. Menurut saya, ayat tersebut mengatakan bahwa manusia hadir dengan kemampuannya memimpin diri sendiri dengan akal dan hati nurani. Akan tetapi rupanya banyak manusia merugi karena tak mampu memanfaatkan dua anugerah tersebut.

Apa penyebabnya? Meskipun manusia memiliki akan dan hati nurani, Rasul sekalipun ternyata butuh bantuan makhluk lain untuk bisa memimpin dirinya menjadi lebih baik, yang kemudian memimpin kaumnya. Malaikatlah yang berandil besar akan pengaruh baik tersebut. Artinya, orang-orang terpilih pun butuh nasihat yang kemudian dia cerna dengan akal dan hati nuraninya.

Semua yang diperoleh kemudian dia sebar kepada kaum-kaum yang ditakdirkan hidup pada zamannya dengan berbagai cara, tentunya untuk kebaikan dan tingkat kesabaran tertentu. Tersebut dalam Al-Qur’an surat Huud, sejumlah nama yang dengan kesabaran membawa kaumnya kepada yang diperintahkan oleh Allah SWT. Sebut saja Nuh, Huud, Shaleh, Ibrahim, Luth, Yaqub, dan Musa, yang akhirnya orang-orang yang tak mau berpikir dan berhati nurani disisakan oleh Allah SWT untuk menjadi percontohan dan pelajaran bagi orang-orang setelahnya.

Namun, apakah ayat-ayat tersebut telah menjadi pelajaran besar bagi kita untuk berpikir, berhati nurani, dan bertindak? Ternyata belum. Ribuan kerusakan terjadi di muka bumi ternyata tak lepas dari pembiaran oleh orang-orang yang mengerti akan dampak suatu tindakan, yang tidak mampu memberi nasihat terbaik untuk kebaikan dan penuh kesabaran. Bayangkan saja, yang mendapat nasihat terus menerus saja harus tertakdir luluh lantak, bagaimana yang dibiarkan?

Perlu dipahami pula, kerusakan di muka bumi bukan hanya kerusakan alam seperti pembabatan hutan, pencemaran lingkungan, dan peristiwa lainnya, melainkan juga kerusakan akhlak manusia yang merusak hak-hak kebaikan hidupnya sendiri. Kerusakan akhlak mulai dari hal terkecil seperti berbohong hingga hal terbesar seperti berzina, korupsi, bahkan praktik genosida seperti pembantaian dan pemakaian narkoba.

Satu asumsi yang jelas, kekuatan nasihat seakan terkurung dan tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan akhlak manusia menjadi lebih baik. Bagaimana bisa? Bicara nasihat tentu berkaitan dengan pesan, yang di sana ada komunikator dan komunikan, bisa jadi dua arah ataupun hanya satu arah. Persoalan bisa terjadi di keduanya, pada komunikator atau komunikan.

Masalah pada komunikator bisa ada pada keengganan untuk menyampaikan nasihat yang dimiliki, atau ketidaksempurnaan penyampaian nasihat-nasihat tersebut. Ketidaksempurnaan penyampaian, bisa karena cara yang kurang sabar sehingga tidak efektif atau ketidaktepatan isi nasihat sehingga memunculkan interpretasi yang salah bagi komunikan, bahkan hadir sikap underestimate yang menutup pintu akal dan nurani.

Pada komunikan, masalah terbesarnya ialah ketiadaan keterbukaan hati dan pikiran untuk menerima nasihat dari orang lain. Banyak faktor penyebabnya, bisa jadi suatu karakter atau kebiasaan yang terpupuk sejak kecil. Ada pula orang yang mau mendengarkan nasihat, namun tidak ingin membuka nurani dan pikirannya untuk mencerna sebaik-baiknya agar bisa melahirkan akhlak yang jauh lebih baik.

Hal-hal tersebut wajar jadi suatu hipotesis karena semakin kemari nasihat bertambah banyak bermunculan, semakin banyak yang ingin memberi pengaruh baik, namun bertambah banyak pula yang menolak bahkan terus melakukan kerusakan pada diri sendiri serta lingkungan. Ada sejumlah ketidaksinkronan dalam pemberian dan penerimaan nasihat. Padahal, era semakin berkembang dengan sejumlah teknologi dan riset komunikasi.

Melihat semua itu, agaknya perlu ada sebuah fasilitas pendidikan singkat atau pelatihan mengenai nasihat. Beberapa tahun ke belakang beragam pelatihan dan forum pendidikan untuk kebaikan muncul, dari yang bersifat motivasi atau yang berbentuk praktis. Namun, bagaimana dengan nasihat? Berdasarkan pada QS Al-Ashr, menasihati bukan hanya hak dan kewajiban orang-orang cerdas ataupun yang berkekuasaan, melainkan setiap manusia yang tak ingin mendapat kerugian.

Banyak orang yang tahu perihal baik-buruk serta benar-salah menurut ajaran Al-Quran dan Sunnah, namun tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan nasihat atau pengetahuannya tersebut. Ada suatu trend perangai yang muncul di kalangan masyarakat, yang sangat mudah berprasangka buruk terhadap nasihat baik yang dimunculkan. Berniat tabayyun (kritis) tapi ternyata menghujat. Hal ini tentu menjadi faktor besar yang menyurutkan langkah setiap orang untuk menyampaikan nasihat.

Ada pula trend ketidakpercayaan diri seorang manusia untuk menyampaikan nasihat yang pernah diperolehnya dari orang lain. Padahal, bisa jadi itu adalah suatu jawaban atas kebuntuan pemahaman banyak orang atas sebuah persoalan. Bisa jadi, nasihat yang dimilikinya merupakan suatu pemaknaan terbaik untuk sebuah permasalahan, meskipun dia sendiri tidak hidup dalam kondisi yang serba berkebaikan.

Bahkan, semakin kemari ternyata justru banyak yang berbalik mengkritik orang-orang yang terus-menerus membusakan mulut untuk saling menasihati. Banyak yang ingin selamat sendiri dengan pemahaman masing-masing, beralasankan lebih pentingnya tindakan dari pada omongan. Ini menjadi tantangan yang berbeda pula.

Belum lagi fenomena media sosial dan gawai yang semakin canggih, yang menjauhkan setiap manusia untuk berinteraksi secara langsung. Kehadiran gawai canggih dengan game dan aplikasi menariknya agaknya membuat manusia terlena untuk membaca kondisi sekitar sebagai suatu ladang belajar dan mencari nasihat. Boleh jadi gawai menjadi sarana untuk saling menasihati, namun persoalan di Indonesia ternyata belum semua orang dewasa dalam bermedia sosial, bahkan belum semua memilikinya.

Kondisi seperti ini sebaiknya mendapat suatu telaah dan pengkajian yang empiris lebih lanjut, karena ada miliaran mimpi hadir bahkan bergantung pada aktivitas saling menasihati. Satu dari miliaran tersebut, sebut saja asa untuk kembali meraih kejayaan Islam di muka bumi. Agaknya, perangai beragam yang sukar memberi ruang untuk mendapat pemahaman mengenai keislaman bagi banyak pribadi yang padahal muslim juga menjadi suatu persoalan untuk meraih kejayaan. Kita tidak bisa begitu saja mengabaikan kekhawatiran Rasulullah saat beliau wafat, yang menyebut : “umatku, umatku, umatku…” berulang-ulang.

Sekolah nasihat, atau apapun bentuknya dapat menjadi solusi bagi kehidupan bersama. Butuh adaya pelatihan satu sama lain untuk bisa mendengar nasihat dari orang lain. Kemampuan dan keberanian menyampaikan nasihat harus terasah, begitupun dengan kesediaan dan kecakapan mendengarkan nasihat. Dari sana pula akan teramu dan terolah kemapanan aplikasi dari semua nasihat yang diperoleh, tentunya berdasar pada Al-Quran dan As-Sunnah. Wallahualam.
Powered By Blogger