Rabu, 30 September 2015

G 30 S (1)

G 30 S, seolah menjadi sebuah kode unik di negara ini. Saat ini, saya mengenal ada dua G30S, namun ini tak berlaku bagi semua orang.
G30S pertama, tentu saja Gerakan 30 September, yang di ujungnya diimbuhi garismiring (/) PKI (Partai Komunis Indonesia). Ini yang dikenal rakyat Indonesia pada umumnya. Menurut sejarah yang tertulis oleh para sejarawan secara dominant, peristiwa ini menceritakan kudeta berdarah oleh PKI dan pengikutnya. Saat itu terjadi banyak pembantaian, termasuk pembantaian hak keturunan orang-orang PKI, sebagai hukuman yang dianggap setimpal.
Sampai sekarang, ternyata hal ini belum tuntas. Kami yang dulu tidak peka terhadap kode yang tertera pada buku sejarah ini sekarang bertanya-tanya,”Loh, ada apa lagi?”. Rekan sezaman yang sudah membaca atau sudah mengetahuinya kemudian pada umumnya akan menjawab sebuah kisah pemutarbalikan fakta yang sedang diupayakan lagi untuk diputarbalikkan kembali. Mereka berdalih, “sejarah telah dimainkan”.
Sebagian orang yang memang tidak tahu akhirnya tahu. Kemudian, yang tadinya cuek terhadap sejarah tapi merasa punya nilai kemanusiaan, akhirnya melek sejarah dan peduli akan hal ini. Selanjutnya mereka pun ikut membantu menyuarakan.
Sementara saya, saya justru semakin tak percaya pada sejarah yang ada. Pertanyaannya, “Sejarah mana yang benar?”. Hasil penelitian? Setiap catatan sejarah ada penelitiannya, tapi kembali kepada keabsahannya. Saksi? Setiap sisi pendapat memiliki saksinya masing-masing. Apa lagi?
Selasa, 29 September 2015, saya menonton tayangan siaran langsung Indonesian Lawyers Club (ILC) di TV One, sebuah sajian diskusi hingga debat yang semula diisi oleh para pengacara namun kini sesekali diramaikan juga oleh para banci kamera. Namun, meski kala itu minim pengacara, saya suka tayangan ini. ILC mengangkat persoalan G30S, terutama soal rencana negara untuk minta maaf dengan tujuan rekonsiliasi.
Singkat kata, yang ingin saya tarik ialah, ternyata ada fakta lain yang juga mengatakan tak ada asap kalau tak ada api. Tak mungkin tak ada alasan mengapa terjadi pembantaian dan penumpasan terhadap PKI. Banyak saksi mengatakan, PKI pun melakukan hal yang sama. Orang-orang banyak tahu soal 7 Jenderal saja, tapi ternyata tak hanya itu. Banyak warga sipil yang dihabisi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, itu tidak dibahas.
Sebelum mendapat informasi itu pun saya sempat diskusi dengan kakek yang mengaku melihat bagaimana orang sangat menakuti dan menjauhi orang-orang PKI pada waktu dulu, sebelum mereka dihabisi. Padahal, kala itu, Sumatera Barat tidak begitu ramai oleh PKI dan informasi ke Jawa tidak seperti saat ini yang sangat cepat. Kakek pun mendapat informasi dari Ayahnya mengenai PKI. Saya jadi berpikir, “lantas apa yang diprotes orang-orang terhadap PKI?”
Saya akhirnya sepakat pada kesimpulan sementara diskusi di ILC yang mengatakan, jika ingin memperkarakan, adillah. Jangan hanya melihat PKI sebagai korban, tapi lihat juga korban-korban PKI. Pada akhirnya, banyak yang meminta persoalan ini ditutup dengan saling meminta maaf dan memaafkan.

Siang 30 September 2015 pun saya mendengar berita bahwa tidak benar berita yang mengatakan negara (Jokowi) ingin minta maaf pada PKI.
Namun, ternyata juga tak sampai di sana. Orang-orang yang mengaku aktivis kemanusiaan, bersama media-media yang senantiasa mendompleng untuk mendapatkan keuntungan tetap saja mengangkat persoalan ini. Pada akhirnya, kita bisa bertaruh, tahun depan akan terjadi lagi hal seperti ini: banyak yang menuntut keadilan. Kita pun bertanya lagi: keadilan bagi siapa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger