G 30 S, seolah menjadi sebuah kode unik di negara ini. Saat ini, saya
mengenal ada dua G30S, namun ini tak berlaku bagi semua orang.
G30S
pertama, tentu saja Gerakan 30 September, yang di ujungnya diimbuhi
garismiring (/) PKI (Partai Komunis Indonesia). Ini yang dikenal rakyat
Indonesia pada umumnya. Menurut sejarah yang tertulis oleh para
sejarawan secara dominant, peristiwa ini menceritakan kudeta berdarah
oleh PKI dan pengikutnya. Saat itu terjadi banyak pembantaian, termasuk
pembantaian hak keturunan orang-orang PKI, sebagai hukuman yang dianggap
setimpal.
Sampai sekarang, ternyata hal ini belum tuntas.
Kami yang dulu tidak peka terhadap kode yang tertera pada buku sejarah
ini sekarang bertanya-tanya,”Loh, ada apa lagi?”. Rekan sezaman yang
sudah membaca atau sudah mengetahuinya kemudian pada umumnya akan
menjawab sebuah kisah pemutarbalikan fakta yang sedang diupayakan lagi
untuk diputarbalikkan kembali. Mereka berdalih, “sejarah telah
dimainkan”.
Sebagian orang yang memang tidak tahu akhirnya
tahu. Kemudian, yang tadinya cuek terhadap sejarah tapi merasa punya
nilai kemanusiaan, akhirnya melek sejarah dan peduli akan hal ini.
Selanjutnya mereka pun ikut membantu menyuarakan.
Sementara
saya, saya justru semakin tak percaya pada sejarah yang ada.
Pertanyaannya, “Sejarah mana yang benar?”. Hasil penelitian? Setiap
catatan sejarah ada penelitiannya, tapi kembali kepada keabsahannya.
Saksi? Setiap sisi pendapat memiliki saksinya masing-masing. Apa lagi?
Selasa,
29 September 2015, saya menonton tayangan siaran langsung Indonesian
Lawyers Club (ILC) di TV One, sebuah sajian diskusi hingga debat yang
semula diisi oleh para pengacara namun kini sesekali diramaikan juga
oleh para banci kamera. Namun, meski kala itu minim pengacara, saya suka
tayangan ini. ILC mengangkat persoalan G30S, terutama soal rencana
negara untuk minta maaf dengan tujuan rekonsiliasi.
Singkat
kata, yang ingin saya tarik ialah, ternyata ada fakta lain yang juga
mengatakan tak ada asap kalau tak ada api. Tak mungkin tak ada alasan
mengapa terjadi pembantaian dan penumpasan terhadap PKI. Banyak saksi
mengatakan, PKI pun melakukan hal yang sama. Orang-orang banyak tahu
soal 7 Jenderal saja, tapi ternyata tak hanya itu. Banyak warga sipil
yang dihabisi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, itu tidak dibahas.
Sebelum
mendapat informasi itu pun saya sempat diskusi dengan kakek yang
mengaku melihat bagaimana orang sangat menakuti dan menjauhi orang-orang
PKI pada waktu dulu, sebelum mereka dihabisi. Padahal, kala itu,
Sumatera Barat tidak begitu ramai oleh PKI dan informasi ke Jawa tidak
seperti saat ini yang sangat cepat. Kakek pun mendapat informasi dari
Ayahnya mengenai PKI. Saya jadi berpikir, “lantas apa yang diprotes
orang-orang terhadap PKI?”
Saya akhirnya sepakat pada kesimpulan
sementara diskusi di ILC yang mengatakan, jika ingin memperkarakan,
adillah. Jangan hanya melihat PKI sebagai korban, tapi lihat juga
korban-korban PKI. Pada akhirnya, banyak yang meminta persoalan ini
ditutup dengan saling meminta maaf dan memaafkan.
Siang 30 September 2015 pun saya mendengar berita bahwa tidak benar berita yang mengatakan negara (Jokowi) ingin minta maaf pada PKI.
Siang 30 September 2015 pun saya mendengar berita bahwa tidak benar berita yang mengatakan negara (Jokowi) ingin minta maaf pada PKI.
Namun, ternyata
juga tak sampai di sana. Orang-orang yang mengaku aktivis kemanusiaan,
bersama media-media yang senantiasa mendompleng untuk mendapatkan
keuntungan tetap saja mengangkat persoalan ini. Pada akhirnya, kita bisa
bertaruh, tahun depan akan terjadi lagi hal seperti ini: banyak yang
menuntut keadilan. Kita pun bertanya lagi: keadilan bagi siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngomong aja..