“Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali yang saling menasihati dalam kebaikan dan saling menasihati dengan kesabaran”
Demikian adalah kutipan ayat Alquran surat Al-Ashr, sebuah surat pendek yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan manusia. Bahkan, ayat tersebut tak hanya berlaku untuk Muslim.
Namun, ayat tersebut patut
menjadi sebuah dasar evaluasi dalam berkehidupan sosial, sejauh mana maknanya
teraplikasi? Tak terpungkiri, dunia semakin kacau dengan perangai anak manusia
yang semakin amburadul demi kekuasaan fana di atas muka bumi.
Siapa yang salah? Kalau mencari
siapa yang salah, tentu manusialah yang salah, tak mungkin menyalahkan Allah
SWT sebagai sang pencipta. Konon katanya, malaikat dulu mengkhawatirkan
kehadiran manusia di atas muka bumi yang dia prediksi hanya akan menjadi
perusak.
Namun, Allah mengharapkan lain,
dalam sebuah ayatnya disebutkan “Setiap
manusia adalah khalifah di muka bumi”. Menurut saya, ayat tersebut
mengatakan bahwa manusia hadir dengan kemampuannya memimpin diri sendiri dengan
akal dan hati nurani. Akan tetapi rupanya banyak manusia merugi karena tak
mampu memanfaatkan dua anugerah tersebut.
Apa penyebabnya? Meskipun manusia
memiliki akan dan hati nurani, Rasul sekalipun ternyata butuh bantuan makhluk
lain untuk bisa memimpin dirinya menjadi lebih baik, yang kemudian memimpin
kaumnya. Malaikatlah yang berandil besar akan pengaruh baik tersebut. Artinya,
orang-orang terpilih pun butuh nasihat yang kemudian dia cerna dengan akal dan
hati nuraninya.
Semua yang diperoleh kemudian dia
sebar kepada kaum-kaum yang ditakdirkan hidup pada zamannya dengan berbagai
cara, tentunya untuk kebaikan dan tingkat kesabaran tertentu. Tersebut dalam
Al-Qur’an surat Huud, sejumlah nama yang dengan kesabaran membawa kaumnya
kepada yang diperintahkan oleh Allah SWT. Sebut saja Nuh, Huud, Shaleh,
Ibrahim, Luth, Yaqub, dan Musa, yang akhirnya orang-orang yang tak mau berpikir
dan berhati nurani disisakan oleh Allah SWT untuk menjadi percontohan dan
pelajaran bagi orang-orang setelahnya.
Namun, apakah ayat-ayat tersebut
telah menjadi pelajaran besar bagi kita untuk berpikir, berhati nurani, dan
bertindak? Ternyata belum. Ribuan kerusakan terjadi di muka bumi ternyata tak
lepas dari pembiaran oleh orang-orang yang mengerti akan dampak suatu tindakan,
yang tidak mampu memberi nasihat terbaik untuk kebaikan dan penuh kesabaran.
Bayangkan saja, yang mendapat nasihat terus menerus saja harus tertakdir luluh
lantak, bagaimana yang dibiarkan?
Perlu dipahami pula, kerusakan di
muka bumi bukan hanya kerusakan alam seperti pembabatan hutan, pencemaran
lingkungan, dan peristiwa lainnya, melainkan juga kerusakan akhlak manusia yang
merusak hak-hak kebaikan hidupnya sendiri. Kerusakan akhlak mulai dari hal
terkecil seperti berbohong hingga hal terbesar seperti berzina, korupsi, bahkan
praktik genosida seperti pembantaian dan pemakaian narkoba.
Satu asumsi yang jelas, kekuatan
nasihat seakan terkurung dan tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan akhlak
manusia menjadi lebih baik. Bagaimana bisa? Bicara nasihat tentu berkaitan
dengan pesan, yang di sana ada komunikator dan komunikan, bisa jadi dua arah
ataupun hanya satu arah. Persoalan bisa terjadi di keduanya, pada komunikator
atau komunikan.
Masalah pada komunikator bisa ada
pada keengganan untuk menyampaikan nasihat yang dimiliki, atau
ketidaksempurnaan penyampaian nasihat-nasihat tersebut. Ketidaksempurnaan
penyampaian, bisa karena cara yang kurang sabar sehingga tidak efektif atau
ketidaktepatan isi nasihat sehingga memunculkan interpretasi yang salah bagi
komunikan, bahkan hadir sikap underestimate
yang menutup pintu akal dan nurani.
Pada komunikan, masalah
terbesarnya ialah ketiadaan keterbukaan hati dan pikiran untuk menerima nasihat
dari orang lain. Banyak faktor penyebabnya, bisa jadi suatu karakter atau
kebiasaan yang terpupuk sejak kecil. Ada pula orang yang mau mendengarkan
nasihat, namun tidak ingin membuka nurani dan pikirannya untuk mencerna
sebaik-baiknya agar bisa melahirkan akhlak yang jauh lebih baik.
Hal-hal tersebut wajar jadi suatu
hipotesis karena semakin kemari nasihat bertambah banyak bermunculan, semakin
banyak yang ingin memberi pengaruh baik, namun bertambah banyak pula yang
menolak bahkan terus melakukan kerusakan pada diri sendiri serta lingkungan.
Ada sejumlah ketidaksinkronan dalam pemberian dan penerimaan nasihat. Padahal,
era semakin berkembang dengan sejumlah teknologi dan riset komunikasi.
Melihat semua itu, agaknya perlu
ada sebuah fasilitas pendidikan singkat atau pelatihan mengenai nasihat. Beberapa
tahun ke belakang beragam pelatihan dan forum pendidikan untuk kebaikan muncul,
dari yang bersifat motivasi atau yang berbentuk praktis. Namun, bagaimana
dengan nasihat? Berdasarkan pada QS Al-Ashr, menasihati bukan hanya hak dan
kewajiban orang-orang cerdas ataupun yang berkekuasaan, melainkan setiap
manusia yang tak ingin mendapat kerugian.
Banyak orang yang tahu perihal
baik-buruk serta benar-salah menurut ajaran Al-Quran dan Sunnah, namun tidak
memiliki keberanian untuk menyampaikan nasihat atau pengetahuannya tersebut.
Ada suatu trend perangai yang muncul
di kalangan masyarakat, yang sangat mudah berprasangka buruk terhadap nasihat
baik yang dimunculkan. Berniat tabayyun
(kritis) tapi ternyata menghujat. Hal ini tentu menjadi faktor besar yang
menyurutkan langkah setiap orang untuk menyampaikan nasihat.
Ada pula trend ketidakpercayaan diri seorang manusia untuk menyampaikan
nasihat yang pernah diperolehnya dari orang lain. Padahal, bisa jadi itu adalah
suatu jawaban atas kebuntuan pemahaman banyak orang atas sebuah persoalan. Bisa
jadi, nasihat yang dimilikinya merupakan suatu pemaknaan terbaik untuk sebuah
permasalahan, meskipun dia sendiri tidak hidup dalam kondisi yang serba
berkebaikan.
Bahkan, semakin kemari ternyata
justru banyak yang berbalik mengkritik orang-orang yang terus-menerus
membusakan mulut untuk saling menasihati. Banyak yang ingin selamat sendiri
dengan pemahaman masing-masing, beralasankan lebih pentingnya tindakan dari
pada omongan. Ini menjadi tantangan yang berbeda pula.
Belum lagi fenomena media sosial
dan gawai yang semakin canggih, yang menjauhkan setiap manusia untuk
berinteraksi secara langsung. Kehadiran gawai canggih dengan game dan aplikasi
menariknya agaknya membuat manusia terlena untuk membaca kondisi sekitar
sebagai suatu ladang belajar dan mencari nasihat. Boleh jadi gawai menjadi
sarana untuk saling menasihati, namun persoalan di Indonesia ternyata belum
semua orang dewasa dalam bermedia sosial, bahkan belum semua memilikinya.
Kondisi seperti ini sebaiknya
mendapat suatu telaah dan pengkajian yang empiris lebih lanjut, karena ada
miliaran mimpi hadir bahkan bergantung pada aktivitas saling menasihati. Satu
dari miliaran tersebut, sebut saja asa untuk kembali meraih kejayaan Islam di
muka bumi. Agaknya, perangai beragam yang sukar memberi ruang untuk mendapat
pemahaman mengenai keislaman bagi banyak pribadi yang padahal muslim juga
menjadi suatu persoalan untuk meraih kejayaan. Kita tidak bisa begitu saja
mengabaikan kekhawatiran Rasulullah saat beliau wafat, yang menyebut : “umatku, umatku, umatku…”
berulang-ulang.
Sekolah nasihat, atau apapun
bentuknya dapat menjadi solusi bagi kehidupan bersama. Butuh adaya pelatihan
satu sama lain untuk bisa mendengar nasihat dari orang lain. Kemampuan dan
keberanian menyampaikan nasihat harus terasah, begitupun dengan kesediaan dan
kecakapan mendengarkan nasihat. Dari sana pula akan teramu dan terolah
kemapanan aplikasi dari semua nasihat yang diperoleh, tentunya berdasar pada
Al-Quran dan As-Sunnah. Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngomong aja..