Senin, 28 September 2015

Sekolah Nasihat




“Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali yang saling menasihati dalam kebaikan dan saling menasihati dengan kesabaran”

Demikian adalah kutipan ayat Alquran surat Al-Ashr, sebuah surat pendek yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan manusia. Bahkan, ayat tersebut tak hanya berlaku untuk Muslim.

Namun, ayat tersebut patut menjadi sebuah dasar evaluasi dalam berkehidupan sosial, sejauh mana maknanya teraplikasi? Tak terpungkiri, dunia semakin kacau dengan perangai anak manusia yang semakin amburadul demi kekuasaan fana di atas muka bumi.

Siapa yang salah? Kalau mencari siapa yang salah, tentu manusialah yang salah, tak mungkin menyalahkan Allah SWT sebagai sang pencipta. Konon katanya, malaikat dulu mengkhawatirkan kehadiran manusia di atas muka bumi yang dia prediksi hanya akan menjadi perusak.

Namun, Allah mengharapkan lain, dalam sebuah ayatnya disebutkan “Setiap manusia adalah khalifah di muka bumi”. Menurut saya, ayat tersebut mengatakan bahwa manusia hadir dengan kemampuannya memimpin diri sendiri dengan akal dan hati nurani. Akan tetapi rupanya banyak manusia merugi karena tak mampu memanfaatkan dua anugerah tersebut.

Apa penyebabnya? Meskipun manusia memiliki akan dan hati nurani, Rasul sekalipun ternyata butuh bantuan makhluk lain untuk bisa memimpin dirinya menjadi lebih baik, yang kemudian memimpin kaumnya. Malaikatlah yang berandil besar akan pengaruh baik tersebut. Artinya, orang-orang terpilih pun butuh nasihat yang kemudian dia cerna dengan akal dan hati nuraninya.

Semua yang diperoleh kemudian dia sebar kepada kaum-kaum yang ditakdirkan hidup pada zamannya dengan berbagai cara, tentunya untuk kebaikan dan tingkat kesabaran tertentu. Tersebut dalam Al-Qur’an surat Huud, sejumlah nama yang dengan kesabaran membawa kaumnya kepada yang diperintahkan oleh Allah SWT. Sebut saja Nuh, Huud, Shaleh, Ibrahim, Luth, Yaqub, dan Musa, yang akhirnya orang-orang yang tak mau berpikir dan berhati nurani disisakan oleh Allah SWT untuk menjadi percontohan dan pelajaran bagi orang-orang setelahnya.

Namun, apakah ayat-ayat tersebut telah menjadi pelajaran besar bagi kita untuk berpikir, berhati nurani, dan bertindak? Ternyata belum. Ribuan kerusakan terjadi di muka bumi ternyata tak lepas dari pembiaran oleh orang-orang yang mengerti akan dampak suatu tindakan, yang tidak mampu memberi nasihat terbaik untuk kebaikan dan penuh kesabaran. Bayangkan saja, yang mendapat nasihat terus menerus saja harus tertakdir luluh lantak, bagaimana yang dibiarkan?

Perlu dipahami pula, kerusakan di muka bumi bukan hanya kerusakan alam seperti pembabatan hutan, pencemaran lingkungan, dan peristiwa lainnya, melainkan juga kerusakan akhlak manusia yang merusak hak-hak kebaikan hidupnya sendiri. Kerusakan akhlak mulai dari hal terkecil seperti berbohong hingga hal terbesar seperti berzina, korupsi, bahkan praktik genosida seperti pembantaian dan pemakaian narkoba.

Satu asumsi yang jelas, kekuatan nasihat seakan terkurung dan tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan akhlak manusia menjadi lebih baik. Bagaimana bisa? Bicara nasihat tentu berkaitan dengan pesan, yang di sana ada komunikator dan komunikan, bisa jadi dua arah ataupun hanya satu arah. Persoalan bisa terjadi di keduanya, pada komunikator atau komunikan.

Masalah pada komunikator bisa ada pada keengganan untuk menyampaikan nasihat yang dimiliki, atau ketidaksempurnaan penyampaian nasihat-nasihat tersebut. Ketidaksempurnaan penyampaian, bisa karena cara yang kurang sabar sehingga tidak efektif atau ketidaktepatan isi nasihat sehingga memunculkan interpretasi yang salah bagi komunikan, bahkan hadir sikap underestimate yang menutup pintu akal dan nurani.

Pada komunikan, masalah terbesarnya ialah ketiadaan keterbukaan hati dan pikiran untuk menerima nasihat dari orang lain. Banyak faktor penyebabnya, bisa jadi suatu karakter atau kebiasaan yang terpupuk sejak kecil. Ada pula orang yang mau mendengarkan nasihat, namun tidak ingin membuka nurani dan pikirannya untuk mencerna sebaik-baiknya agar bisa melahirkan akhlak yang jauh lebih baik.

Hal-hal tersebut wajar jadi suatu hipotesis karena semakin kemari nasihat bertambah banyak bermunculan, semakin banyak yang ingin memberi pengaruh baik, namun bertambah banyak pula yang menolak bahkan terus melakukan kerusakan pada diri sendiri serta lingkungan. Ada sejumlah ketidaksinkronan dalam pemberian dan penerimaan nasihat. Padahal, era semakin berkembang dengan sejumlah teknologi dan riset komunikasi.

Melihat semua itu, agaknya perlu ada sebuah fasilitas pendidikan singkat atau pelatihan mengenai nasihat. Beberapa tahun ke belakang beragam pelatihan dan forum pendidikan untuk kebaikan muncul, dari yang bersifat motivasi atau yang berbentuk praktis. Namun, bagaimana dengan nasihat? Berdasarkan pada QS Al-Ashr, menasihati bukan hanya hak dan kewajiban orang-orang cerdas ataupun yang berkekuasaan, melainkan setiap manusia yang tak ingin mendapat kerugian.

Banyak orang yang tahu perihal baik-buruk serta benar-salah menurut ajaran Al-Quran dan Sunnah, namun tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan nasihat atau pengetahuannya tersebut. Ada suatu trend perangai yang muncul di kalangan masyarakat, yang sangat mudah berprasangka buruk terhadap nasihat baik yang dimunculkan. Berniat tabayyun (kritis) tapi ternyata menghujat. Hal ini tentu menjadi faktor besar yang menyurutkan langkah setiap orang untuk menyampaikan nasihat.

Ada pula trend ketidakpercayaan diri seorang manusia untuk menyampaikan nasihat yang pernah diperolehnya dari orang lain. Padahal, bisa jadi itu adalah suatu jawaban atas kebuntuan pemahaman banyak orang atas sebuah persoalan. Bisa jadi, nasihat yang dimilikinya merupakan suatu pemaknaan terbaik untuk sebuah permasalahan, meskipun dia sendiri tidak hidup dalam kondisi yang serba berkebaikan.

Bahkan, semakin kemari ternyata justru banyak yang berbalik mengkritik orang-orang yang terus-menerus membusakan mulut untuk saling menasihati. Banyak yang ingin selamat sendiri dengan pemahaman masing-masing, beralasankan lebih pentingnya tindakan dari pada omongan. Ini menjadi tantangan yang berbeda pula.

Belum lagi fenomena media sosial dan gawai yang semakin canggih, yang menjauhkan setiap manusia untuk berinteraksi secara langsung. Kehadiran gawai canggih dengan game dan aplikasi menariknya agaknya membuat manusia terlena untuk membaca kondisi sekitar sebagai suatu ladang belajar dan mencari nasihat. Boleh jadi gawai menjadi sarana untuk saling menasihati, namun persoalan di Indonesia ternyata belum semua orang dewasa dalam bermedia sosial, bahkan belum semua memilikinya.

Kondisi seperti ini sebaiknya mendapat suatu telaah dan pengkajian yang empiris lebih lanjut, karena ada miliaran mimpi hadir bahkan bergantung pada aktivitas saling menasihati. Satu dari miliaran tersebut, sebut saja asa untuk kembali meraih kejayaan Islam di muka bumi. Agaknya, perangai beragam yang sukar memberi ruang untuk mendapat pemahaman mengenai keislaman bagi banyak pribadi yang padahal muslim juga menjadi suatu persoalan untuk meraih kejayaan. Kita tidak bisa begitu saja mengabaikan kekhawatiran Rasulullah saat beliau wafat, yang menyebut : “umatku, umatku, umatku…” berulang-ulang.

Sekolah nasihat, atau apapun bentuknya dapat menjadi solusi bagi kehidupan bersama. Butuh adaya pelatihan satu sama lain untuk bisa mendengar nasihat dari orang lain. Kemampuan dan keberanian menyampaikan nasihat harus terasah, begitupun dengan kesediaan dan kecakapan mendengarkan nasihat. Dari sana pula akan teramu dan terolah kemapanan aplikasi dari semua nasihat yang diperoleh, tentunya berdasar pada Al-Quran dan As-Sunnah. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger