Senin, 21 September 2015

Komunikasi Grup Media Sosial: Ketika Pemberi Pesan Merasa Sial

Dunia komunikasi semakin berkembang dengan kemajuan teknologi komunikasi. Media sosial, menjadi sebuah bukti sekaligus faktor berkembangnya praktik komunikasi di tengah masyarakat. Faktanya, media sosial memang tercipta untuk memudahkan suatu komunikasi, terutama dengan keberadaan 'group' yang memfasilitasi sebuah kelompok. Dengan demikian obrolan bisa lebih banyak, tak harus lagi bertatap muka secara langsung, tapi bisa dengan jarak jauh. Bahkan, komunikasi kelompok pun bisa tidak dalam satu kelompok saja, tapi bisa jamak.

Namun, beberapa waktu belakangan, saya memperhatikan bahwa grup media sosial tidak lagi menunjukkan suatu keefektifan dalam komunikasi sebuah kelompok. Pada sejumlah kelompok yang saya ikuti, 7 dari sepuluh kelompok mengalami hal serupa. Banyak menyimak, sedikit menanggapi. Ada apa ini? Tidakkah kita setuju bahwa hal tersebut menghambat proses komunikasi dalam sebuah kelompok? Saya merasa demikian, dan sesuai judul, saya sering merasa sial jika mendapati hal tersebut.

Sumber: romelteamedia.com


Ada beberapa contoh kejadian memilukan dalam komunikasi kelompok grup media sosial dalam waktu mutakhir ini:

1. Hanya 'Read' dan tak ada tanggapan. Padahal, sangat jelas tertera pesan yang dilemparkan adalah sebuah pertanyaan. Contohnya: "Halo kawan-kawan, bagaimana kalau kita hari ini rapat?". Pesan lugas, singkat, padat dan jelas tersebut kemudian dibanjiri 'read' yang hanya dilihat oleh pengirimnya. Tanpa ada satupun tanggapan hingga 8 jam kemudian, sampai ada salah seorang yang merasa iba menjawab dengan irama penyesalan: "Duh, maaf Sob. Hape baru nyala, rapatnya jadi?".

2. Lebih keselnya lagi kalau sang pemulai atau pengirim pesan langsung hadir dengan pesan panjang, mulai dari Assalamualaikum yang jelas-jelas bertujuan baik untuk kelompok itu, lalu memberi banyak informasi, dan diujung meminta tanggapan. Tujuh-delapan jam kemudian tak ada tanggapan. Lalu ada pahlawan yang datang dengan mengucapkan: "Sori baru baca. Kemaren maaf juga ga sempat datang rapat. Aku ikut yang lain aja deh ya,". Tapi kemudian yang lain tak ada yang mengomentari lagi.

3. Ada lagi kasusnya, ketika mengirim sebuah pesan panjang, dengan awalan Assalamualaikum  juga, kemudian meminta tanggapan. Tanggapannya sih banyak, tapi banjir stiker. Ada stiker bermakna sepakat lah, semangat lah, sampai makna kepa*at. Setelah itu? Tak ada tanggapan, tak ada ide, akhirnya bingung realisasi.

4. Kasus lain, pesan ditulis panjang-panjang, dengan Assalamualaikum juga. Kemudian diakhiri dengan permintaan tanggapan. Wuih, tanggapannya banyak, bejibun! Bahkan, pada berdebat semua. Sang pengirim pesan akhirnya bingung mau mengikuti saran yang mana. Pikir sejenak si A bener, pikir lagi si B tak salah. Kalau tak mikir, si C jadi semena-mena. Pengirim pesan harus berbijak-bijak, walaupun sering kali pada akhirnya tak ada kesimpulan yang ditarik.

5. Dari keempat kasus tersebut, akhirnya ada yang kemudian sadar dan mencoba menjadi pahlawan. Dia berkomentar seakan tak melakukan suatu kesalahan, "Jadi bagaimana nih kawan-kawan, masa pada read doang". Atau, "Jadi, kesimpulannya bagaimana? Maaf ya ga bisa ngasih masukan apa-apa,". Setelah itu kembali ke kondisi semula, hingga tak ada komunikasi efektif, hingga tak ada logika, seperti cinta pada lagunya Agnes Monika. Tak ada hasil juga.

6. Di luar yang enam kasus itu, ada hal lain yang juga membiaskan efektifitas sebuah grup media sosial sebagai wadah komunikasi kelompok. Ada sebuah kebiasaan baru: Copy-Paste. Contohnya, seseorang bertanya pada sebuah grup: "Pada datang jam berapa?". Selang waktu kemudian pesan datang, sang penanya tadi berharap ada yang menanggapi (dengan serius). Namun, dia mendapati isi grupnya dua buah tanggapan bertuliskan: "Pada datang jam berapa?" (2) dan "Pada datang jam berapa?"(3). Dia ingin menanggapi, eh datang lagi, "Pada datang jam berapa?"(4) hingga "Pada datang jam berapa?"(10.345). Alhasil, pesan tak tersampaikan lagi dengan baik. Tak ada efektifitas.

7.Kasus Copy-Paste sangat marak terjadi, entah siapa pelaku pertamanya di atas muka bumi ini. Jika diketahui pelaku pertamanya, saya akan wawancarai habis-habisan sampai dia meminta ampun pada setiap orang yang menyukai tradisi yang dibuatnya. Bayangkan saja, ketika seorang kawan berulang tahun, kemudian ada yang mengucapkan selamat dan doa, namun ternyata doa dan salamnya diCopas hingga tengah malam besoknya lagi dengan penomoran tertentu.

Sangat dikasihankan, metode berkomunikasi Copy-Paste dalam sebuah kelompok sangatlah merugikan, bahkan ini bisa menjadi satu indikator bahwa tak ada lagi Kreativitas di kalangan anak muda dalam berkata-kata. Bahkan untuk berdoa pun tidak bisa. BERDOA DI-COPY PASTE? Bayangkan saja jika sehabis shalat, akhirnya anak muda tersebut bingung mau berdoa apa, karena tidak ada doa di atasnya yang bisa dia Copas.

8. Fenomena tersebut sering terjadi di media sosial Line. Beda kasus lagi dengan WhatsApp, dimana pada grupnya jika ada yang tengah mengetik pesan akan ketahuan. Secara psikologis, ketika membaca pemberitahuan sejenak bertuliskan 'A is typing...' sang pengirim pesan sebelumnya lebih merasa tentram, karena ada yang hendak menanggapi. Namun, hal tersebut menjadi sebuah harapan palsu jika ternyata pesan yang diketik tersebut tidak kunjung keluar. Jika penyebabnya sinyal, bisa sedikit dimaklumi. Namun, jika karena memang batal karena ragu akan pesan yang disampaikan, hal tersebut sangat menyakitkan. Pada akhirnya komunikasi kelompok pun gagal.

9. Pada grup WhatsApp atau Line yang aktif pun tidak selalu aman. Komunikasi efektif dalam sebuah kelompok kembali terancam ketika pembicaraan roaming atau tidak dapat melibatkan seluruh stakeholder dalam grup yang notabene terbentuk atas dasar kesamaan tujuan kelompok tersebut.  Ini sering terjadi pada grup yang berisikan anggota yang telah lama tercerai berai. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya, "Yang lagi di Bekasi, bagaimana kondisinya?", lalu ditanggapi juga oleh yang sedang di Bekasi juga. Selanjutnya ada yang melanjutkan diskusi dengan bertanya, "Mpek-mpek yang dijual di Bekasi itu enak kan ya? Berapa sih?" hingga pernyataan, "Iya, pemerintahan Bekasi itu memang begitu. Kemarin saja saya ngurus ini ya, eh taunya begini." Akhirnya anggota lain yang tak tahu duduk masalahnya tak dapat berkomentar apa-apa, lalu diam saja, atau left chat. Ada juga yang berjiwa besar dengan menanggapi "Oh gitu ya, gila juga ya. Semoga ga kejadian di sini."

10. Hal lebih buruk sebenarnya terjadi pada grup facebook. Beberapa kelompok masyarakat atau organisasi sebenarnya sudah jarang menggunakannya karena kehadiran Line atau WhatsApp. Namun, ada juga yang masih marak menggunakannya, bahkan ada yang kembali setelah lama menggunakan Line saja. Pada grup yang sudah tidak begitu aktif lagi penggunaan facebooknya, setiap pesan yang dikirim akan seperti batu yang dilempar pada padang tandus. Dilempar, tak ada terjadi apa-apa, ditunggu-ditunggu terus hingga waktu berlalu akhirnya bosan dan ditinggalkan saja. Facebook tidak dapat melihat siapa yang telah membaca, ataupun siapa yang hendak berkomentar. Secara psikologis, ini dapat membuat sang pengirim pesan putus asa. Komunikasi kelompok menjadi satu ajang yang sadis.

11. Lain hal dengan grup kelompok masyarakat yang memang masih menggilai facebook. Ketika sebuah pesan hadir, yang berkomentar akan sangat banyak. Hingga bingung mana yang akan ditanggapi dan diluruskan. Terutama, itu terjadi pada pesan yang kontroversial. Sebagai wadah komunikasi kelompok, grup tersebut gagal.

Dari segala bias yang terjadi dalam komunikasi kelompok tersebut, satu hal yang baru bisa saya beri saran ialah, adanya peran moderator dalam kelompok tersebut. Moderator tersebut sebelumnya dipilih oleh anggota lainnya, dengan syarat satu: BERSABAR. Dengan demikian, pesan tanpa tanggapan pun bisa mengharuskan anggota lain mau berkomentar dan memberikan saran. Kasus lainnya, hanya dapat diselesaikan dengan melibatkan kesabaran masing-masing.


NB: Menurut Deddy Mulyana (2005), kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Sementara komunikasi kelompok, menurut Anwar Arifin (1984), merupakan komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger