Ada sebuah teori yang pernah berlaku dalam dunia komunikasi massa: Teori Jarum Hipodermik, yang bermaksud menyatakan bahwa manusia sangat pasrah atas pesan yang disampaikan oleh media massa. Namun, kian kemari teori tersebut kian tak berlaku lagi. Ada sejumlah kritik yang hadir, hingga muncul beberapa teori yang menyatakan bahwa khalayak pada umumnya telah bersikap kritis.
Ada banyak teori yang menyampaikan kesadaran khalayak terhadap pesan media massa yang diterimanya, bahkan banyak menyatakan bahwa khalayak cenderung melawan, terlebih kepada hal yang tidak sesuai dengan referensi dan pengalamannya.
Hal itu terwujud dari sikap masyarakat, terutama penikmat media massa, terutama lagi para pemerhati media massa online. Masyarakat kian kemari kian mengkritisi berbagai hal yang ditangkapnya dari televisi. Pertumbuhan media massa lah yang membuat mereka mampu bersikap kritis, karena memiliki banyak referensi dan pengalaman yang terus meningkat.
Satu yang juga terlihat, ternyata ada banyak doktrinasi yang menganjurkan masyarakat untuk cenderung bersikap skeptis terhadap pesan yang diterima. Skeptis dapat dipahami sebagai tindakan tidak percaya begitu saja dengan pesan yang diterima dari pihak lain. Ada naluri ingin menguji ketepatan pesan yang diperoleh.
Doktrinasi yang ada bukan sebuah ucapan langsung, melainkan tindakan-tindakan yang teraplikasi dan tercontohkan hingga menjadi referensi bagi masyarakat. Tindakan siapa? Peyton Paxson dalam bukunya Mass Communication and Media Studies (2010) mengatakan ajaran tersebut berasal dari media massa yang kian tumbuh berkembang dan berkembang biak.
Akhirnya, khalayak cenderung mengaku melibatkan sekian daya skeptisnya setiap menangkap pesan dari pihak lain, terutama media massa. Namun, kembali lagi, daya skeptis berhubungan erat dengan referensi dan pengalaman. Jika referensi dan pengalaman kurang atau lemah, daya skeptis yang ada tidak begitu kuat. Sehingga, khalayak cenderung menolak pesan atau tidak menyukai yang menurut mereka cukup menyinggung atau tidak sesuai. Padahal pengalaman setiap orang berbeda-beda, tentu saja.
Inilah yang dikritik oleh Peyton. Menurutnya, skeptis bukan berarti menolak isi pesan atau pemberitaan, atau bahkan membenci pesan dan si pemberi pesan. Skeptisme harus dibedakan dengan sinisme. Jika tindakan yang muncul berupa penolakan bahkan kebencian, itulah sikap sinis. Sedangkan skeptis, harus ditunjukkan dengan pemeriksaan kebenaran pesan yang diterima, dengan mencari referensi lainnya. Itu dilakukan secara netral hingga pesan yang sesungguhnya benar, benar-benar didapatkan.
Sungguh miris ketika melihat sejumlah rekan mengolok atau menghina rekan lainnya yang membagikan berita dari suatu media massa yang dianggap menyesatkan oleh media lain. Mereka merasa telah bertindak skeptis, namun tidak melakukan cek dan ricek yang lebih, termasuk kepada media yang menjadi referensi awalnya, yang mengatakan media lain abal-abal dan tidak kredibel.
Ada lagi yang karena hanya mengandalkan sinisme-nya, pada akhirnya tidak mempercayai semua media massa yang ada. Sedikit lucu, mereka tidak memercayai atau tidak menyukai media massa karena terpengaruh atau membaca sejumlah media lainnya. Faktanya, pesan massa kini tak hanya dari media massa, tapi juga dari media pribadi yang bisa dibaca oleh umum, yang berasal dari opini sang penulis.
Pada dasarnya sama saja, setiap pesan punya kepentingan. Termasuk yang menulis opini, sekalipun opini tersebut bersifat netral atau tidak berpihak ke pada siapapun terhadap suatu persoalan. Setidaknya, kepentingan untuk memberi pengaruh kepada banyak orang (termasuk artikel ini).
Jadi, skeptis bukanlah menolak atau bahkan membenci media massa atau pemberi pesan lainnya. Skeptis harus dimaknai sebagai upaya tidak percaya begitu saja terhadap pesan yang diterima, yang harus diuji dengan pesan lainnya yang berasal dari pihak yang berbeda, kemudian diolah lagi oleh nalar sang penerima pesan. Jauhi sinis, tingkatkan skeptis.
Ada banyak teori yang menyampaikan kesadaran khalayak terhadap pesan media massa yang diterimanya, bahkan banyak menyatakan bahwa khalayak cenderung melawan, terlebih kepada hal yang tidak sesuai dengan referensi dan pengalamannya.
Hal itu terwujud dari sikap masyarakat, terutama penikmat media massa, terutama lagi para pemerhati media massa online. Masyarakat kian kemari kian mengkritisi berbagai hal yang ditangkapnya dari televisi. Pertumbuhan media massa lah yang membuat mereka mampu bersikap kritis, karena memiliki banyak referensi dan pengalaman yang terus meningkat.
Satu yang juga terlihat, ternyata ada banyak doktrinasi yang menganjurkan masyarakat untuk cenderung bersikap skeptis terhadap pesan yang diterima. Skeptis dapat dipahami sebagai tindakan tidak percaya begitu saja dengan pesan yang diterima dari pihak lain. Ada naluri ingin menguji ketepatan pesan yang diperoleh.
![]() |
photo: ric.edu |
Doktrinasi yang ada bukan sebuah ucapan langsung, melainkan tindakan-tindakan yang teraplikasi dan tercontohkan hingga menjadi referensi bagi masyarakat. Tindakan siapa? Peyton Paxson dalam bukunya Mass Communication and Media Studies (2010) mengatakan ajaran tersebut berasal dari media massa yang kian tumbuh berkembang dan berkembang biak.
Akhirnya, khalayak cenderung mengaku melibatkan sekian daya skeptisnya setiap menangkap pesan dari pihak lain, terutama media massa. Namun, kembali lagi, daya skeptis berhubungan erat dengan referensi dan pengalaman. Jika referensi dan pengalaman kurang atau lemah, daya skeptis yang ada tidak begitu kuat. Sehingga, khalayak cenderung menolak pesan atau tidak menyukai yang menurut mereka cukup menyinggung atau tidak sesuai. Padahal pengalaman setiap orang berbeda-beda, tentu saja.
Inilah yang dikritik oleh Peyton. Menurutnya, skeptis bukan berarti menolak isi pesan atau pemberitaan, atau bahkan membenci pesan dan si pemberi pesan. Skeptisme harus dibedakan dengan sinisme. Jika tindakan yang muncul berupa penolakan bahkan kebencian, itulah sikap sinis. Sedangkan skeptis, harus ditunjukkan dengan pemeriksaan kebenaran pesan yang diterima, dengan mencari referensi lainnya. Itu dilakukan secara netral hingga pesan yang sesungguhnya benar, benar-benar didapatkan.
Sungguh miris ketika melihat sejumlah rekan mengolok atau menghina rekan lainnya yang membagikan berita dari suatu media massa yang dianggap menyesatkan oleh media lain. Mereka merasa telah bertindak skeptis, namun tidak melakukan cek dan ricek yang lebih, termasuk kepada media yang menjadi referensi awalnya, yang mengatakan media lain abal-abal dan tidak kredibel.
Ada lagi yang karena hanya mengandalkan sinisme-nya, pada akhirnya tidak mempercayai semua media massa yang ada. Sedikit lucu, mereka tidak memercayai atau tidak menyukai media massa karena terpengaruh atau membaca sejumlah media lainnya. Faktanya, pesan massa kini tak hanya dari media massa, tapi juga dari media pribadi yang bisa dibaca oleh umum, yang berasal dari opini sang penulis.
Pada dasarnya sama saja, setiap pesan punya kepentingan. Termasuk yang menulis opini, sekalipun opini tersebut bersifat netral atau tidak berpihak ke pada siapapun terhadap suatu persoalan. Setidaknya, kepentingan untuk memberi pengaruh kepada banyak orang (termasuk artikel ini).
Jadi, skeptis bukanlah menolak atau bahkan membenci media massa atau pemberi pesan lainnya. Skeptis harus dimaknai sebagai upaya tidak percaya begitu saja terhadap pesan yang diterima, yang harus diuji dengan pesan lainnya yang berasal dari pihak yang berbeda, kemudian diolah lagi oleh nalar sang penerima pesan. Jauhi sinis, tingkatkan skeptis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngomong aja..