Jangan remehkan sopir. Sopir bukanlah suatu pekerjaan yang patut direndahkan, melainkan harus dibanggakan. Tanpa sopir, mobil tak akan berjalan. Sekalipun itu mobil otomatis (tanpa pengemudi) yang tengah dikembangkan oleh sejumlah pihak, harus ada kebijakan yang dikerahkan oleh sang pemilik kendaraan.
Sopir merupakan suatu pekerjaan yang hebat, sopir selalu terdepan dan memiliki pengikut di belakang. Sopir lebih menguasai medan perjalanan dan tahu kondisi yang dilaluinya, sopir lebih cerdas. Sekalipun memenuhi permintaan penumpang, sopir tahu kemana harus melangkah, dan itu diikuti oleh penumpang. Begitu hebatnya sopir.
Tentu saja, sopir juga harus hati-hati akan kehebatannya tersebut. Kelalaiannya akan mengakibatkan kelalaian pengikutnya. Sikap buruknya dalam berkendara akan berdampak buruk pula pada penumpang. Bayangkan saja saat mobil berjalan berbelok ke kanan, penumpang akan mengikuti sopir memberatkan badannya ke arah kiri. Begitu juga kala rem dadakan, penumpang akan mencondongkan badan ke depan, mengikuti yang dilakukan sopir.
Satu hal yang perlu dipahami sopir dari itu semua: harus siap dibentak, siap dikritik, siap dianggap tak becus, siap dilaporkan hingga kehilangan tahta sebagai sopir. Sopir harus siap akan itu semua, jika ada hal yang tak disenangi penumpang.
Demikian pula pemimpin. Pemimpin ibarat sopir. Mulai dari ketua kelas hingga presiden sebuah negara. Kekacauan yang dihasilkan oleh pemimpin akan diikuti oleh yang dipimpin sekian persen. Sebaliknya, prestasi yang diraih pemimpin juga akan menggiring yang terpimpin untuk bekerja lebih baik lagi.
Wajar bila presiden yang bobrok akan diikuti oleh kabinet yang rusak pula, sekalipun para penjabat kabinet tersebut dinobatkan publik sebagai orang mulia yang hebat dan dapat diharapkan. Ketidakbijaksanaan sikap dan omongan akan menjadi jurang dan jebakan bagi presiden karena akan membingungkan langkah para menteri. Tak hanya itu, atitud presiden pun akan menular pada anggota kabinet. Keteledoran pejabat bisa jadi karena ketidakpositifan sikap presiden.
Tak hanya kabinet, tapi juga masyarakat umum. Tak hanya kebijakan, tapi juga karakter. Ada banyak fakta yang bermunculan mengenai hal ini. Letakkan saja contohnya pada presiden Indonesia dua periode terakhir: SBY dan Jokowi.
Masa kehadiran SBY selaku presiden Republik Indonesia menjadi masa-masa kelahiran suatu sikap yang tadinya disenangi dan tak disadari orang, sekarang menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai dan dihujani kritik: pencitraan. SBY merupakan pejabat dan kemudian presiden yang hadir dengan pencitraan yang mantap. Mulai dari penampilan, hingga sikap berkomunikasi dengan pihak lain: tegas, gagah, tapi tetap santun dan terkesan penyayang.
Demikian tertular pada masyarakat dengan mencoba berkomunikasi secara lembut tapi tegas agar menuai perhatian dan cinta dari orang lain terutama lawan jenis. Gaya SBY pun jelas dipakai juga oleh para pengisi jabatan kabinet. Tutur kata penuh sopan santun dan terjaga. Ini juga menular pada sejumlah elit yang berada pada posisi pemimpin, termasuk di kampus-kampus.
Beberapa waktu berlalu, kritik mulai menetas. Ada yang mulai tak suka, hingga muncullah terminologi "pencitraan doang". Meskipun kritik mulai bermunculan, ternyata susah untuk tidak mengadopsi gaya kepemimpinan SBY, sekalipun yang mengadopsi tak menyukai sosok tersebut. Karena, zamannya memang menjadi begitu. SBY merupakan 'sopirnya', meskipun penumpang tak suka, sopir bisa membuat penumpang memberatkan badannya ke arah kiri tanpa paksaan ketika sopir berkehendak.
Lihat pula beda gaya Jokowi. Lahir kontroversial dengan gaya yang sedikit nyeleneh dan simpel dari jabatan wali kota dan gubernur, sosok Jokowi menjadi sebuah panutan baru. Orang-orang yang benci dengan "pencitraan doang" menyukai perangai Jokowi yang langsung bertindak dan bekerja tanpa banyak obrol dan omongan santun penuh citra baik. Keluguan dan kelugasannya dicintai banyak orang. Masyarakat pun bangga mencontohnya, sekalipun itu pemimpin organisasi kemahasiswaan yang harusnya penuh kritik.
Layaknya SBY, aksi Jokowi pun tetap berpengaruh pada masyarakat kendati sudah mulai banyak yang sadar akan "pencitraan doang" dan mulai mengkritik. Banyak masyarakat yang masih mengadopsi gaya kepemimpnan semi-bebas gaya Jokowi. Mereka menilainya itu merakyat. Akhirnya gayanya diadopsi.
Namun, semua menjadi lucu ketika kebobrokan kebijakan pemerintahan Jokowi juga terjadi pada organisasi pemuda. Pernyataan yang tumpang tindih dan tidak bertanggung jawab banyak bermunculan pada pemuda sebagai penggerak perubahan. Senantiasa bekerja tapi minim diskusi ternyata banyak menyesatkan gaya kerja organisasi pemuda. Ini pun terasa menyusahkan bagi penumpang pemerintahan.
Sayangnya, banyak pemimpin termasuk presiden tidak sadar akan posisinya yang strategis dan berdampak pada pengaruh terhadap kebiasaan masyarakat. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia adalah 'sopir' yang membawa penumpang ke sana ke mari dengan berbagai ketentuan dan tetap tidak sombong. Selayaknya sopir, seorang pemimpin harus mampu mengemudi dengan baik dan menjaga komunikasi. JIka ingin kencang atau lambat, beri tanda-tanda dulu kepada penumpang.
Demikianlah, sopir memang tak pantas direndahkan. Bayangkan jika sopir nanti ternyata memberi dampak ynh buruk di perjalanan, penumpang pun mau tidak mau akan terlibat. Jadi, seorang sopir harus menjaga komunikai dan menjaga wibawanya agar tak serta merta menjadi contoh. Untuk itu, mari kita hargai sopir, karena hanya sopir yang berani menentukan dan mengendalikan mobil di mana penumpang mau. Hanya sopir SBY yang mampu membawa mantan presiden tersebut berkeliling-keliling hingga ke tempat yang tepat. Hanya sopir Jokowi yang dipatuhi oleh Jokowi sebagai pemimpin yang membawanya ke arah tempat yang diiminta.
Sopir merupakan suatu pekerjaan yang hebat, sopir selalu terdepan dan memiliki pengikut di belakang. Sopir lebih menguasai medan perjalanan dan tahu kondisi yang dilaluinya, sopir lebih cerdas. Sekalipun memenuhi permintaan penumpang, sopir tahu kemana harus melangkah, dan itu diikuti oleh penumpang. Begitu hebatnya sopir.
Tentu saja, sopir juga harus hati-hati akan kehebatannya tersebut. Kelalaiannya akan mengakibatkan kelalaian pengikutnya. Sikap buruknya dalam berkendara akan berdampak buruk pula pada penumpang. Bayangkan saja saat mobil berjalan berbelok ke kanan, penumpang akan mengikuti sopir memberatkan badannya ke arah kiri. Begitu juga kala rem dadakan, penumpang akan mencondongkan badan ke depan, mengikuti yang dilakukan sopir.
Satu hal yang perlu dipahami sopir dari itu semua: harus siap dibentak, siap dikritik, siap dianggap tak becus, siap dilaporkan hingga kehilangan tahta sebagai sopir. Sopir harus siap akan itu semua, jika ada hal yang tak disenangi penumpang.
Demikian pula pemimpin. Pemimpin ibarat sopir. Mulai dari ketua kelas hingga presiden sebuah negara. Kekacauan yang dihasilkan oleh pemimpin akan diikuti oleh yang dipimpin sekian persen. Sebaliknya, prestasi yang diraih pemimpin juga akan menggiring yang terpimpin untuk bekerja lebih baik lagi.
Wajar bila presiden yang bobrok akan diikuti oleh kabinet yang rusak pula, sekalipun para penjabat kabinet tersebut dinobatkan publik sebagai orang mulia yang hebat dan dapat diharapkan. Ketidakbijaksanaan sikap dan omongan akan menjadi jurang dan jebakan bagi presiden karena akan membingungkan langkah para menteri. Tak hanya itu, atitud presiden pun akan menular pada anggota kabinet. Keteledoran pejabat bisa jadi karena ketidakpositifan sikap presiden.
Tak hanya kabinet, tapi juga masyarakat umum. Tak hanya kebijakan, tapi juga karakter. Ada banyak fakta yang bermunculan mengenai hal ini. Letakkan saja contohnya pada presiden Indonesia dua periode terakhir: SBY dan Jokowi.
Masa kehadiran SBY selaku presiden Republik Indonesia menjadi masa-masa kelahiran suatu sikap yang tadinya disenangi dan tak disadari orang, sekarang menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai dan dihujani kritik: pencitraan. SBY merupakan pejabat dan kemudian presiden yang hadir dengan pencitraan yang mantap. Mulai dari penampilan, hingga sikap berkomunikasi dengan pihak lain: tegas, gagah, tapi tetap santun dan terkesan penyayang.
Demikian tertular pada masyarakat dengan mencoba berkomunikasi secara lembut tapi tegas agar menuai perhatian dan cinta dari orang lain terutama lawan jenis. Gaya SBY pun jelas dipakai juga oleh para pengisi jabatan kabinet. Tutur kata penuh sopan santun dan terjaga. Ini juga menular pada sejumlah elit yang berada pada posisi pemimpin, termasuk di kampus-kampus.
Beberapa waktu berlalu, kritik mulai menetas. Ada yang mulai tak suka, hingga muncullah terminologi "pencitraan doang". Meskipun kritik mulai bermunculan, ternyata susah untuk tidak mengadopsi gaya kepemimpinan SBY, sekalipun yang mengadopsi tak menyukai sosok tersebut. Karena, zamannya memang menjadi begitu. SBY merupakan 'sopirnya', meskipun penumpang tak suka, sopir bisa membuat penumpang memberatkan badannya ke arah kiri tanpa paksaan ketika sopir berkehendak.
Lihat pula beda gaya Jokowi. Lahir kontroversial dengan gaya yang sedikit nyeleneh dan simpel dari jabatan wali kota dan gubernur, sosok Jokowi menjadi sebuah panutan baru. Orang-orang yang benci dengan "pencitraan doang" menyukai perangai Jokowi yang langsung bertindak dan bekerja tanpa banyak obrol dan omongan santun penuh citra baik. Keluguan dan kelugasannya dicintai banyak orang. Masyarakat pun bangga mencontohnya, sekalipun itu pemimpin organisasi kemahasiswaan yang harusnya penuh kritik.
Layaknya SBY, aksi Jokowi pun tetap berpengaruh pada masyarakat kendati sudah mulai banyak yang sadar akan "pencitraan doang" dan mulai mengkritik. Banyak masyarakat yang masih mengadopsi gaya kepemimpnan semi-bebas gaya Jokowi. Mereka menilainya itu merakyat. Akhirnya gayanya diadopsi.
Namun, semua menjadi lucu ketika kebobrokan kebijakan pemerintahan Jokowi juga terjadi pada organisasi pemuda. Pernyataan yang tumpang tindih dan tidak bertanggung jawab banyak bermunculan pada pemuda sebagai penggerak perubahan. Senantiasa bekerja tapi minim diskusi ternyata banyak menyesatkan gaya kerja organisasi pemuda. Ini pun terasa menyusahkan bagi penumpang pemerintahan.
Sayangnya, banyak pemimpin termasuk presiden tidak sadar akan posisinya yang strategis dan berdampak pada pengaruh terhadap kebiasaan masyarakat. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia adalah 'sopir' yang membawa penumpang ke sana ke mari dengan berbagai ketentuan dan tetap tidak sombong. Selayaknya sopir, seorang pemimpin harus mampu mengemudi dengan baik dan menjaga komunikasi. JIka ingin kencang atau lambat, beri tanda-tanda dulu kepada penumpang.
Demikianlah, sopir memang tak pantas direndahkan. Bayangkan jika sopir nanti ternyata memberi dampak ynh buruk di perjalanan, penumpang pun mau tidak mau akan terlibat. Jadi, seorang sopir harus menjaga komunikai dan menjaga wibawanya agar tak serta merta menjadi contoh. Untuk itu, mari kita hargai sopir, karena hanya sopir yang berani menentukan dan mengendalikan mobil di mana penumpang mau. Hanya sopir SBY yang mampu membawa mantan presiden tersebut berkeliling-keliling hingga ke tempat yang tepat. Hanya sopir Jokowi yang dipatuhi oleh Jokowi sebagai pemimpin yang membawanya ke arah tempat yang diiminta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngomong aja..