Kamis, 05 November 2015

Besok Kamu Harus Datang ke Wisudaan Aku


“Eh, kamu harus datang ke wisudaan aku ya, awas kalo nggak”

Kutipan di atas merupakan bagian dari dialog sebuah pertemanan yang salah satunya akan diwisuda, dan satunya lagi belum diwisuda. Bukan hal yang aneh lagi kalau dalam suatu pertemanan ada yang wisuda duluan dan ada yang tidak duluan.

Namun, sebagai warga negara yang memegang dasar negara yang salah satu poinnya “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, itu jelas tidak adil. Mengapa?

Kejadian seperti ini menimbulkan rasa tanggung jawab akan janji seorang kawan terhadap kawan lainnya untuk hadir di wisudaan dan memberi kado berupa bunga atau yang lain, lalu berfoto yang menunjukkan turut bersuka cita. Dalam kebahagiaan ini tentu ada harapan, baik terucap atau tidak, kepada rekan yang diwisuda saat itu untuk hadir.

Kalau yang terucap, kira-kira nadanya begini:

“Nanti pas aku wisuda kamu juga harus hadir ya”
dan jawabnya begini:
“Iya tenang aja lah kapanpun kamu wisuda aku hadir, kabari aja”
Tapi tak jarang juga ada yang tidak menjawab karena ragu, atau setidaknya menjawab begini:
“Iyaa ayo cepat-cepaaat,” sebuah jawaban yang tidak menjawab dan suasana seakan menjadi aman.

Ini dikarenakan yang diwisuda saat itu tak yakin dia akan hadir di wisudaan temannya itu. Sementara teman itu terus menaruh harapan teman-temannya hadir di hari dia terpaksa diwisuda.

Hari berlalu, teman yang tadi hadir di wisuda temannya pun diwisuda. Ini sudah sangat jauh dari hari di mana dia menjadi orang yang membawa kebahagiaan di hari wisuda. Yang sangat disayangkan, teman yang dulu wisudaannya ia datangi, tidak hadi dalam wujud aslinya bukan berupa hadiah yang dititipkan atau ucapan selamat di media sosial.

Adilkah itu? Rekan-rekan bisa menjawab sendiri nanti.

Bahkan di kampus saya dulu (Universitas Padjadjaran), kemungkinan janji-janji dan harapan itu terjadi di masa periode wisuda yang sama. Saya jelaskan, wisuda di Unpad biasa terdiri atas 3 atau 4 hari yang masing-masing harinya menyertakan wisudaan beberapa fakultas. Dengan demikian, ada yang lebih dahulu diwisuda sehari atau dua hari.

Kasusnya begini, ada dua orang sekawan yang diwisuda pada periode yang sama namun beda hari. Si A wisuda pada hari Selasa, si B wisuda pada hari Rabu. Si A meminta si B untuk hadir di wisudaannya pada Selasa itu, si B memenuhinya karena hari Selasa itu dia tidak begitu sibuk dan (bisa jadi) karena orang tua serta keluarganya belum hadir ke tempatnya menginap (karena dia perantau) atau mungkin karena dia asli orang Bandung yang menyebabkannya fleksibel untuk hadir kemana-mana di H-1 wisudaan.

Namun, saat si B wisuda, si A tak dapat hadir karena dia menikmati hari-hari bahagianya sebagai sarjana bersama keluarga, entah itu di rumah atau keluar kota. Sebelumnya, si B telah meminta A untuk hadir, namun A tidak menjawab dngan jelas  Adilkah ini?

Ada lagi kasus begini. ini cerita si L dan si M. Si L wisuda pada hari Kamis, sementara si M wisuda pada hari Jumat. Saat si L wisuda, si M tidak hadir, padahal telah diminta oleh si L. Alasannya, si M menanti kedatangan orang tua atau mempersiapkan segala sesuatu untuk hari wisudanya. Esoknya, wisudaan si M dihadiri oleh si L yang beberapa hari juga diminta hadir oleh si M. Mereka saling meminta untuk meramaikan. Adilkah ini?

Ada lagi kasus-kasus lain yang terjadi pada prosesi wisuda seperti itu yang tak sempat dituliskan seperti ini. Kasus-kasus seperti yang saya ceritakan di atas juga bisa terjadi di kampus-kampus lain.

Dari hal-hal tersebut lantas saya berpikir. Haruskah seorang teman hadir meramaikan wisudaan temannya yang lain. Lalu siapa teman yang akan menghadiri dan meramaikan wisudaanya ketika ia wisuda di ujung masa batas perkuliahan, di mana kala itu rekan-rekan semasa kuliahnya entah di mana, kerja dengan karir yang terus menanjak sejak tiga tahun lalu atau tengah kuliah doktor di luar negeri?

Apakah sila ke-5 Pancasila berlaku pada hal seperti ini? Oh ya, mungkin ada yang ketika membaca tulisan ini lantas berkomentar “Ah itu doang, serius amat. Santai kalii, masa dikaitin sama Pancasila, kaku amat”.

Terserah mau komentar apa, tapi ini harusnya jadi suatu renungan. Renungan soal persahabatan, perkawanan, atau hubungan lainnya. Kita berkata kesetiaan, berkata kebahagiaan, tapi ternyata semua itu hanya untuk pribadi semata. Kita lupa kebahagiaan orang lain yang juga akan bahagia dengan kehadiran kita, yang telah dijanjikan, atau setidaknya diminta oleh orang tersebut.

Apa lagi sekarang, kebahagiaan bisa diukur dengan publikasi di media sosial masing-masing. Hampir semua pemuda atau sarjana kekinian, setidaknya ada satu foto ditampilkan sebagai bukti dia berbagaia. Yang paling menyenangkan tentu dengan kawan-kawan yang banyak, yang mungkin saat itu ada yang belum dapat melaksanakan wisuda.

Sedikit menyimpulkan, dari kasus terkait keadilan dan kebahagiaan tersebut, ada baiknya jika wisuda hanya dihadiri oleh orang tua dan keluarga. Atau, jika ingin diramaikan oleh kawan-kawan, tepati pulalah janji untuk hadir di wisudaan yang baru akan wisuda di masa akan datang. Bahkan, jika bersedia, jadilah orang yang mampu membantu meluapkan kebahagiaan kawan-kawan yang wisuda di masa “injury time”, walaupun anda tidak dekat, atau tidak saling mengenal.

Sekian, ini bukan satu hal yang menggurui, tapi hanya renungan bagi semua, terutama penulis sendiri. Apa lagi bagi kawan-kawan yang masih menikmati masa perkuliahan saat ini. Percayalah semua itu akan kawan-kawan hadapi. Faktanya, penulis telah gagal dalam menghadiri beberapa wisudaan rekan-rekan yang sebelumnya sangat berharap dihadiri untuk menambah rasa bahagiannya. Mohon maaf bagi semua kawan-kawan. Semoga kita sukses slalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger