Sabtu, 28 Januari 2017

Social Learning di Balik Ikan ‘Tongkol’


Video itu tak hentinya menjadi bahan pembicaraan netizen, tak sedikit pula yang berulang-ulang menontonnya dan kembali tertawa terbahak-bahak. Viral di media sosial, nama sebuah ikan pun menjadi tenar dan menjadi alat percandaan masyarakat hampir semua kalangan. 

Memang, tanpa memikirkan apa-apa terlalu berat dan mendalam, video anak yang salah menyebutkan nama ikan ketika ditanya oleh Presiden Joko Widodo di sebuah panggung tersebut sangat kocak. Apa lagi didukung oleh pembawaan Presiden RI yang sangat santai menanggapi apa yang disampaikan siswa sekolah dasar tersebut. 

Namun, jika kita sedikit ingin merenung dan berpikir, kata-kata yang tersampaikan itu sangat jauh dari nilai akhlak dan norma positif yang semestinya ditanamkan dalam proses pendidikan. Pertama, kata-kata tersebut sangat vulgar. Kedua, disampaikan di hadapan umum, bahkan kepada seorang presiden. Ketiga, disampaikan oleh seorang siswa sekolah dasar. 

Menurut Philip Atkinson (1969), moralitas adalah pemahaman dan keyakinan mengenai mana yang benar (apa yang sebaiknya dilakukan) dan mana yang salah (apa yang jangan dilakukan), sehingga dapat mengendalikan setiap tindakan yang dilakukan. 

Kemudian menurut Undang-undang no. 20 tahun 2003 pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Di samping itu pada pasal 31 ayat 3, dalam undang-undang yang telah diamandemen juga menuturkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 

Di sana jelas bahwa pendidikan bertujuan luhur membentuk dan memelihara akhlak atau moral mulia setiap manusia Indonesia, yang artinya ada keyakinan dan pemahaman untuk bertindak dengan pemilahan mana yang baik mana yang salah. Terkait video tersebut, dapat kita pahami bahwa kata-kata yang terlompat tidak sengaja oleh anak tersebut tidak pantas dan menyalahi akhlak mulia serta moralitas yang seharusnya dididik di sekolahnya. 

Namun mengapa bias terjadi hal yang mengejutkan tersebut? Mengapa anak seusianya dengan lancar dan lugas menyebutkan nama alat kelamin laki-laki tersebut ketimbang nama ikan yang semestinya menjadi bagian dari objek yang diajarkan di sekolahnya? Tentu saja, kata-kata ‘porno’ dan kasar tersebut tidak diajarkan oleh gurunya di sekolah. 

Pembangunan karakter anak tidaklah ampuh dengan cara tunggal di sekolahnya saja. Selain proses belajar mengajar di sekolah, dia juga menempuh banyak zona yang perlahan mengonstruksi kepribadian dan perilakunya. Dia punya lingkungan tempat tinggal, lingkungan pertemanan, hingga media yang dinikmatinya sejak dini, seperti televisi dan media sosial. Bahkan, orang tuanya sendiri pun menjadi faktor pembangunan karakternya. 

Albert Bandura dengan teori Pembelajaran Sosial yang dikemukakannya menyebutkan bahwa hampir semua manusia belajar dengan mengamati secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari teori ini adalah pemodelan, yang menjadi salah satu langkah penting dalam pembelajaran. 

Oleh karena itu, video yang mengundang tawa tersebut jika disaksikan secara cermat semestinya menyadarkan bahwa ada proses pembelajaran yang tidak tepat tengah menimpa anak yang menjawab pertanyaan presiden tersebut. Patut diduga bahwa dia sudah terbiasa menyebut kata-kata vulgar tersebut dalam kesehariannya. 

Tak dapat dipungkiri lagi, berbagai fenomena dunia nyata dan dunia maya dewasa ini memang sedang mengarahkan generasi seusianya kepada hal yang tak diharapkan. Sengaja atau tidak. 

Bisa kita lihat di media sosial seperti Instagram yang dapat diakses oleh orang usia berapapun, meskipun ada aturan usia yang ditetapkan oleh pengelolanya, yang dapat dengan mudah dikelabui oleh siapapun. Media sosial ini semakin liar menyajikan gambar-gambar serta kata-kata yang menjadi pembelajaran bagi generasi muda. 

Kalaupun tidak langsung menyerang pikiran anak-anak, ada proses lain yang terjadi di mana generasi remaja awal lah yang menjadi tak terkontrol dalam berpikir dan bertindak akibat terlalu sering menyimak konten-konten vulgar tersebut. Dalam interaksi langsung, merekalah yang memberi pengaruh buruk pada adik-adiknya.

Hendaknya video tersebut menyadarkan kita semua, dan tentu saja masih ada pesan lain yang dapat kita serap dan pahami jika mampu mencermatinya lebih baik lagi. Masih ingat slogan Presiden Joko Widodo? “Revolusi Mental!”, maka seharusnya kita berharap mental-mental pikiran porno pada anak usia dini juga dapat dimusnahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger