Sabtu, 15 Oktober 2016

Sederhananya Perihal Ahok

Akhirnya saya memutuskan untuk menulis di blog pribadi, karena menyimak banyaknya rekan-rekan yang mengeluhkan isi home facebook mereka, terkait sejumlah share-share-an berita yang katanya jauh dari kata ketenteraman. Salah satunya mungkin perihal Ahok, salah banyaknya ada juga.

Saya putuskan untuk menulis di blog saja, berharap teman-teman di Facebook bisa memilih, akan membaca tulisan saya ini atau tidak. Karena, nantinya akan saya share juga, tapi tentu yang muncul hanyalah judul dan paragraf awalnya. Jika ingin baca, persiapkan mental yang baik. Jika tak sengaja membuka, mungkin bisa belajar memahami sedikit demi sedikit. Jika benar-benar tak ingin membaca, ya silakan, asal jangan justru menebar ketidaksukaan pula pada orang yang dicap menebar ketidaksukaan.

Di sini saya hanya ingin membahas sedikit perihal Ahok yang sepekan ke belakang namanya semakin ramai disoraki warga sekampung Indonesia, karena omongannya yang tak terjaga. Lain kali mungkin saya bisa bahas sederhananya persoalan yang lain dari sudut pandang saya sendiri.

Persoalan terkait Ahok sebenarnya sangat sederhana, tapi banyak orang merumitkannya, terutama yang tidak mengerti dan tak mau mengerti. Pertama, hal ini disampaikan oleh Aa Gym dalam obrolannya di program Hitam Putih, yaitu Surat Al-Maidah 51 merupakan ayat yang menyerukan umat Islam untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin (sebagian orang memilih tafsiran awliya sebagai teman, tapi esensinya tak jauh beda jika dikaji lagi).

Karena ini bersumber dari Alquran, jelas ada hukum yang berlaku. Sejauh yang saya pelajari (saya tak akan cantumkan sumber referensinya, karena lupa dan malas mencari), apa yang tercantum di Al-Quran mengandung perintah dan larangan, yang artinya di sini ada perihal halal dan haram.

Dengan demikian, seluruh muslim harus paham dan sadar, larangan memakan babi yang tercantum dalam Al-Quran sama dengan larangan lainnya, statusnya sama-sama larangan. Yang berbeda ialah intensitas Allah menyebutkan larangan tersebut yang tercantum di dalam Al-Quran.

Jika dikaji lagi, larangan itu sama dengan perintah untuk tidak melakukan. Kesamaannya dengan shalat 5 waktu ialah sama-sama perintah. Yang satu perintah untuk shalat 5 waktu sehari semalam, yang kedua perintah untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin. Artinya, hal tersebut harus dipatuhi oleh umat Islam. Itu kuncinya.

Kondisinya sekarang, banyak orang yang seperti tidak mengetahui keberadaan ayat tersebut, saudara kita yang sesama muslim tersebut dengan senang hati mendukung dan ingin memilih Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Maka dari itu, banyak pihak yang mengingatkan perihal ayat tersebut. Dan ternyata, bukan hanya A-Maidah ayat 51 yang memerintahkan untuk tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin.

Seruan dari banyak pihak itulah yang diinterpretasikan oleh banyak orang yang sepertinya tidak mengetahui, bahkan Ahok sendiri sebagai sebuah cara-cara yang tidak menyenangkan untuk tidak memilih pria asal Belitung tersebut. Sehingga ada omongan yang tidak terkontrol, yang mengandung buruk sangka terhadap orang-orang yang menyerukan.

Perlu dipahami lagi, adalah penting bagi sesama muslim untuk saling mengingatkan. Dan, banyak yang mengingatkan perihal ayat tersebut. Sementara Ahok dengan sempit menginterpretasikan bahwa penyuaraan ayat tersebut hanyalah trik orang-orang tertentu untuk membohongi warga, agar tidak memilihnya menjadi gubernur kembali. Dia menggeneralisasikan sejumlah banyak individu, yang padahal banyak yang menyuarakan juga, tapi sama sekali tidak ingin ikut dalam Pemilu (Artinya dia tidak ada afiliasi partai atau calon tertentu).

Maka, ketika Ahok menggeneralisasikan satu persoalan dengan menujukannya pada orang lain, wajar ada banyak yang marah dan kemudian mengekspresikan kemarahannya yang mungkin tertahan selama ini kepada Ahok karena sikap-sikapnya yang lain (yang mungkin masih bisa dimaafkan dengan kesabaran).

Di samping perintah dan larangan yang merupakan landasan yang bersumber langsung pada azas Ketuhanan (Tauhid), ada landasan logis yang juga dipakai muslim lain untuk tidak memilihnya karena faktor agama. Sebagaimana yang juga disampaikan oleh Aa Gym, ada kekhawatiran bagi muslim mayoritas jika Ahok atau siapapun gubernur non-muslim yang terpilih tidak memahami kebutuhan umat muslim secara ritual dan spiritual.

Barangkali nanti memang ada bantuan berupa fasilitas, tapi warga menyangsikan bila ada kegiatan penting yang mendukung ketaqwaan mereka tidak mendapat ruang kebebasan oleh sang gubernur non-muslim. Hal ini sudah terbukti dengan dilarangnya pawai-pawai perayaan Hari Besar Islam dengan alasan-alasan tertentu, sementara acara hura-hura lain dipersilakan dengan segala kebijakan.

Wah, penjelasan sederhananya ternyata panjang. :D

Tapi sebenarnya memang sederhana, jika Ahok tidak melontarkan kata-kata yang blunder tersebut (yang katanya diedit untuk mempermainkan impression dan interpretation khalayak). Sederhana, karena orang-orang menyuarakan (mengingatkan) kepada sesama muslim, agar tidak memilih Ahok, karena faktor agamanya.

Ingat, dan perlu digarisbawahi, orang-orang baru mengingatkan untuk tidak mendukung dan memilih Ahok. Mereka belum menyerang dan menuntut Ahok untuk tidak mencalonkan diri, atau KPU untuk tidak menerima pencalonan Ahok, atau bahkan meneror muslim yang telah mendeklarasikan mendukung Ahok. Artinya, tidak ada pemaksaan di sana.

Ahok silakan mencalonkan diri, dan yang seiman dengannya silakan memilihnya. Itu wajar dan tak ada larangan. Tapi bagi muslim, ada satu perintah yang tersurat jelas. Dan, ini merupakan satu pengimplemntasian ajaran Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Tapi, mengapa banyak yang meneriakkan bahwa ada politisasi agama? Setelah dikaji, siapa yang sebenarnya mempolitisasi agama?

Warga justru hanya menuruti apa yang dimaknai oleh Pancasila sila pertama, yaitu perihal ketuhanan, dan mereka memutuskan untuk mengimplementasikannya dengan mematuhi ajaran agamanya, yakni tidak memilih Nasrani dan Yahudi sebagai muslim, dan mengingatkan sesama muslim Salahkah mereka? Adakah politisasi di sana?

Ketika ada orang yang mengkaji hal tersebut sebagai aksi yang bersifat politis, apakah orang itu bebas dari politisasi? Tentu tidak, dia telah mempolitisasi ketidakberagamaan untuk kepentingannya dan kelompoknya.

Demikianlah,tulisan ini dibuat hanya sambil bersiul, dan semoga bisa rutin menulis di sini saja. Meskipun pembacanya kemudian segmentatif, saya masih berharap ada banyak orang yang mau belajar, dan melihat sudut pandang yang dibagikan oleh saudaranya sebagai sebuah nasihat untuk kemudian dipelajarinya, serta mencari cara terbaik untuk kemudian dia ikut berbagi nasihat. Bukan justru ikut meredam semangat dengan menampilkan ketidaksukaan pada cara yang dilakukan saudaranya, tanpa menyerap esensi yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomong aja..

Powered By Blogger